Shahabat Voa Islam yang dimuliakan Alloh,
Melanjutkan renungan kita akan besarnya hikmah yang terdapat dalam peristiwa Hijrahnya Rasululloh sholallohu 'alaihi wa sallam, kita juga melihat bahwa semua Nabi 'alaihimussalam menjadikan hijrah sebagai pola permanen dalam perjuangan kenabian mereka. Maka tidak berlebihan jika kita menyatakan bahwa hijrah adalah strategi pokok dalam pergerakan Islam.
Berdasarkan substansinya, hijrah dibagi menjadi dua bahagian yang mana keduanya saling terkait satu sama lain. Yang pertama adalah hijrah yang mengandung sistem nilai sebagai wacana yang diarahkan untuk mendapatkan loyalitas setiap individu muslim secara total terhadap Islam. Sedangkan yang kedua adalah hijrah yang mengandung muatan pijakan dasar atau basis sebagai wahana yang diarahkan untuk memperoleh dukungan territorial.
Islam jika hanya dijadikan wacana (dalam bahasa arab disebut kalaamun atau mukaalamatun atau muhaadhorotun berarti pembicaraan atau bahan ceramah) tidak akan memberi manfaat dan maslahat apapun bagi kemanusiaan, karenanya perlu disiap-sediakan wahana untuk menumbuhkembangkan sistem nilai Islam dalam kemaujudan di segala aspek kehidupan manusia.
Maka dari itu kita bisa memahami tentang urgensitas penguasaan territorial yang menjadi syarat mutlak demi tegaknya kewajiban hijrah ini.Jadi dari sini pula, kita amat kesulitan untuk memberi pembenaran terhadap strategi bermain dalam sistem lawan. Karena itu sama artinya dengan meniadakan kewajiban hijrah itu sendiri.
Keberlangsungan Hijrah
Sesungguhnya hijrah dari negeri kufur ke negeri Islam adalah kekal, tidak pernah terputus. Sedangkan mengenai apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dari sabda Rasullulah SAW yang menyatakan,
“Tidak ada lagi hijrah selepas penaklukan kota Mekah”,
Juga sabda baginda, “Tidak ada lagi hijrah selepas terjadinya fathu (penaklukan)”,
Juga sabda baginda, “Sesungguhnya hijrah telah berhenti, tetapi jihad dan niat (tetap berterusan)”
Dan juga apa yang diriwayatkan oleh Sufyan bin Ummayyah, ketika telah memeluk Islam dan dikatakan kepadanya, “Tidak sempurna agama seseorang yang tidak berhijrah, lalu beliau pun datang (berhijrah) ke Madinah.’
Selepas itu, Nabi SAW bertanya kepadanya, ‘Gerangan apakah yang membawa kamu ke sini wahai Abu Wahab?’ Beliau menjawab, ‘Katanya, tidak sempurna agama bagi sesiapa yang tidak berhijrah.’ Baginda kemudian menjelaskan, ‘Kembalilah wahai Abu Wahab ke tengah-tengah Mekah. Tetaplah tinggal di rumah-rumah kamu. Sesungguhnya hijrah telah berhenti, tetapi jihad dan niat (tetap berterusan). Jika kamu diminta berperang, maka berperanglah.’
Memang benar kesemua hadits di atas menafikan adanya hijrah selepas penaklukan Mekah. Akan tetapi, mesti difahami bahwa penafikan ini disertai dengan illat (punca pensyariatan hukum) yang diistinbath (digali) dari hadis-hadis itu sendiri.
Apabila Rasulullah bersabda, “selepas penaklukan Mekah” ia berupa ungkapan yang mengandungi illat-ma’lul (sebab-akibat), sebagaimana sabda Nabi SAW, “Janganlah kamu campuradukkan tamar dan anggur semuanya agar menjadi khamar” [HR Ibn Hibban].
Perkataan jami’an (semuanya) dinyatakan dalam bentuk yang mengandungi illat-ma’lul (sebab-akibat), maka ia merupakan illat (punca pensyariatan) larangan membuat khamar, bukannya larangan mencampur-adukkan tamar dan anggur itu sendiri.
Ini membawa makna bahwa penaklukkan Mekah merupakan illat penafikan hijrah yang berarti bahwa illat ini akan berputar bersama ma’lulnya (yakni) ada dan tidaknya, dan tidak dikhususkan untuk Mekah saja, tetapi meliputi penaklukan mana-mana negeri sekalipun.
Dalilnya terdapat dalam riwayat lain, “Tiada hijrah selepas terjadinya penaklukan.” Ia dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Aisyah, apabila beliau ditanya mengenai hijrah, beliau berkata, “Hari ini tidak ada lagi hijrah. Orang Mukmin memang pernah berhijrah untuk melindungi agamanya menuju kepada Alloh dan RasulNya, kerana takutkan fitnah (ujian). Adapun ketika ini, Alloh benar-benar telah memenangkan Islam, di mana orang mukmin boleh menyembah Tuhannya dengan senang hati.”
Ini adalah antara hadits yang menerangkan bahawa hijrah orang Islam adalah (berlaku) sebelum terjadinya penaklukan untuk menyelamatkan agamanya kerana takut akan fitnah, dan kemudiannya dinafikan (tidak adanya hijrah) setelah terjadinya penaklukan, kerana orang Islam telah menjadi berkemampuan untuk menzahirkan agamanya dan melaksanakan hukum-hukum Islam.
... tujuan pergerakan Islam adalah mewujudkan, di suatu tempat di dunia ini, suatu masyarakat baru yang dengan sepenuh hati terikat pada keseluruhan ajaran Islam; untuk menegakkan ajaran Islam; untuk menegakkan ajaran isalam dalam bidang pemerintahan, organisasi politik, ekonomi dan sosial, hubungan luar-negri, sistem pendidikan, nilai-nilai moral dan semua aspek tujuannya ...
Oleh itu, ‘penaklukan’ yang membawa akibat kepada semua perkara di atas tadi merupakan illat penafian hijrah, dan bukan hanya ‘penaklukan Mekah’ sahaja. Oleh yang demikian, yang dimaksudkan dengan hadits di atas adalah tidak ada hijrah setelah terjadinya penaklukan (yakni) tidak berlaku penghijrahan dari suatu negeri yang telah ditakluki (dibuka).
Adapun mengenai sabda Rasulullah SAW kepada Sufyan bahwa hijrah telah berakhir (hijrah dari Mekah selepas ia ditakluki), ia bermakud bahwa apabila sesebuah negeri telah ditakluki, maka negeri tersebut telah (bertukar) menjadi Darul Islam, maka negeri kaum kuffar dan DarulKufur tadi sudah tidak ada lagi.
Oleh itu, tidak ada lagi hijrah. Demikianlah halnya dengan tiap-tiap negeri yang telah ditakluki, maka tidak ada lagi hijrah dari sana kerana ia telah (bertukar) menjadi Darul Islam.
Ini dikuatkan lagi oleh hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad melalui Mu’awiyah, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Hijrah tidak akan berakhir selama taubat masih lagi diterima, dan taubat masih terus diterima sehingga matahari terbit dari Barat.”
Ahmad juga telah meriwayatkan bahawa Nabi SAW bersabda, “Hijrah itu tidak akan berakhir, selama masih lagi ada jihad.”
Dalam riwayat yang lain, “Hijrah itu tidak akan berakhir, selama orang kafir masih lagi wajib diperangi.”
Kesemua hadits ini menunjukkan pengertian bahwa hijrah dari negeri kufur ke negeri Islam adalah kekal dan hukumnya masih lagi berjalan.
Pentingnya Membenahi Kandungan Hijrah
Substansi Hijrah yang pertama diarahkan pada perubahan nilai, yakni:
1. Keyakinan dan ideologi (aqidah wal fikroh). Hal ini juga bermakna pembrantasan segala biang hama aqidah, yaitu penyekutuan Alloh (syirk) dalam hal rubbubiyah, uluhiyah dan asma’ serta shifatNya. Sekaligus pemetaan baru bagi pola pemikiran (fikroh) mengenai hal-hal yang prinsipil dan ideal serta prosedural.
2. Kerohanian/ spiritual (ruhiyah), yaitu upaya pemurnian dan penguatan hubungan dengan alam metafisik (kegaiban) sebagai kebutuhan hidup yang tak kalah pentingnya dengan alam materiil. Bahkan alam gaib adalah alam yang tidak terukur dan dengan begitu mengandung banyak kemungkinan yang menyimpan peluang dan harapan.
3. Perilaku (suluk). Yakni perubahan secara radikal dan revolusioner segala tata sikap dan tata laku individual selaras keyakinan, pemikiran dan ideologinya.
4. Aktivitas (‘amal). Yaitu meningkatnya frekuensi dan kwalitas kerja-kerja Islami dengan menghilangkan segala aktivitas yang bertentangan dengan keyakinan, pemikiran dan ideologinya sampai tercipta totalitas amal untuk Islam (at tajarrud)
Sedangkan substansi hijrah yang kedua diarahkan pada pembentukan dan penguasaan basis yang terdiri dari empat hal juga, yaitu :
1. Konvensi dan budaya (tsaqofah), yaitu pengejawantahan sistem nilai dalam tataran praktek kebersamaan sekaligus untuk menjadi akar tongkat bagi komunitas muslim.
2. Struktur (tanzhim), yaitu pembentukan hirarki kekuasaan dan kewenangan dalam hidup bersama yang berketertiban, berketeraturan dan berkeadilan sebagai ciri masyarakat yang berperadaban (civil society/ masyarakat madani)
3. Masyarakat (ijtima’iyyah), yaitu bentuk mutual partisipatif (at takaful) alias gotong royong yang dibangun di atas kesadaran kolektif mengenai realitas sejarah, kekinian dan masa depan bersama.
4. Territorial (makaaniyah), yaitu suatu wilayah yang dapat diperoleh, dibangun dan dipertahankan bahkan diperluas dengan menerapkan nilai-nilai Islam di atas.
Substansi hijrah yang dibahas di atas adalah juga merupakan strategi gerakan dakwah dalam upaya mencapai tujuannya. Sedangkan tujuan pergerakan Islam adalah mewujudkan, di suatu tempat di dunia ini, suatu masyarakat baru yang dengan sepenuh hati terikat pada keseluruhan ajaran Islam; untuk menegakkan ajaran Islam; untuk menegakkan ajaran isalam dalam bidang pemerintahan, organisasi politik, ekonomi dan sosial, hubungan luar-negri, sistem pendidikan, nilai-nilai moral dan semua aspek tujuannya.
Upaya bertahap dan terorganisasi yang berakhir dengan perwujudan masyarakat seperti itulah yang disebut Islamisasi. Tercapainya tujuan Islam mutlak didahului dengan terwujudnya gerakan Islam yang penuh kesadaran dan tanggung jawab untuk menciptakan suasana, menanamkan pengertian kepada orang banyak tentang Islam untuk kemudian menerima konsep perjuangan, di samping mempersiapkan simpatisan dan pendukung gerakan.
Demikianlah pula, bahwa terwujudnya sebuah Negara yang tegak di atas fikrah dan akidah (ideologi); dengan kata lain tercapainya tujuan Islam, mutlak didahului dengan usaha jama’i yang teratur, rapi dan terencana. Sebagaimana yang tersimpul di dalam sejarah hijrah Rasululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam. (Abu Fatih/Voa Islam.com)