Oleh: Abdul Halim
Sahabat VOA-Islam...
Kabar penahanan pemimpin tertinggi Taliban Afghanistan, Mullah Mohammad Umar oleh pasukan keamanan Pakistan di kota pelabuhan Karachi (jika kabar ini benar), tentu sangat mengejutkan bahkan dapat memperlemah mujahidin Taliban dalam memerangi pemerintahan Presiden Ashraf Ghani yang didukung AS dan NATO. Pasalnya, Mullah Mohammad Umar adalah bapak pendiri Taliban dan sempat berkuasa di Afghanistan (1996-2001) sebelum diinvasi pasukan AS dengan dalih memburu pemimpin Al Qaeda, Usamah bin Ladin, yang dituduh sebagai dalang serangan 11/9 di AS.
Pasca penahanan Mullah Muhammad Umar yang terjadi di era Presiden Hamid Karzai tersebut, dikabarkan Taliban telah pecah menjadi tiga kelompok besar, dimana salah satunya dipimpin Mullah Akhtar Mohammad Mansur. Sehingga dikhawatirkan akan terjadi perselisihan diantara kelompok Taliban sebagaimana yang terjadi pada Mujahiddin pasca penarikan pasukan Uni Soviet dari Afghanistan (1989).
Padahal akhir Desember ini AS akan menarik sebagian besar pasukannya dari Afghanistan meski masih disisakan 10.000 pasukan untuk melatih Tentara Nasional Afghanistan (Afghanistan National Army) yang saat ini berkekuatan 134.000 pasukan. Pada masa puncak perang Afghanistan 2009-2010, AS pernah menempatkan 130.000 pasukan, sementara negara-negara NATO menyumbang 30.000 pasukan, sehingga 160.000 pasukan gabungan AS-NATO ini berusaha melibas gerilyawan Taliban, namun terbukti gagal.
Invasi Uni Soviet
Ketika menginvasi Afghanistan (1979), Uni Soviet tidak hanya kalah secara memalukan melawan gerilyawan Mujahiddin, tetapi juga mengalami kehancuran negaranya. Ini diakui oleh mantan bakal calon Presiden AS, intelektual sekaligus kolumnis terkemuka, Patrick J Buchanan. Menurutnya, banyak negara besar ambruk dimulai dari kekalahan perang, seperti Kesultanan Ottoman di Turki (1924) setelah kalah dalam PD I, Nazi Jerman dalam PD II (1945) dan Uni Soviet dalam Perang Afghanistan (1990), (Partick J Buchanan, dalam Day of Reckoning, Thomas Dunne Book, 2008).
Setelah perang mematikan selama 13 tahun, ternyata pasukan AS yang didukung NATO tidak mampu mengalahkan para pejuang Taliban meski dengan persenjatan sederhana. Apakah AS akan mengalami nasib sama seperti Uni Soviet dengan kalah secara memalukan di Afghanistan sebagaimana di Vietnam (1974). Tetapi yang jelas, kalau Uni Soviet hancur secara politik dan ekonomi dengan terpecah menjadi 17 negara, AS telah mengalami kehancuran secara ekonomi dengan munculnya krisis keuangan global (2008) yang berdampak di seluruh dunia. Biaya perang di Irak dan Afghanistan yang dikeluarkan pemerintahan mantan Presiden Bush totalnya mencapai 900 miliar dolar, turut mendorong terjadinya krisis keuangan global dengan kehancuran ekonomi AS bahkan dunia tahun 2008 lalu. Sedangkan biaya perang Afghanistan yang dikeluarkan Presiden Obama dalam 5 tahun ini diperkirakan melebihi 1 triliun dolar.
Maka tidaklah mengherankan jika Mullah Mohammad Omar melalui media online al-Somad (25/11/2009), berani memastikan AS dan NATO akan kalah dalam perang di Afghanistan, meski mengirim lebih banyak pasukan. “Kamu dan sekutu kamu pasti akan kalah dan tidak akan ada perubahan jika kamu mengirim banyak tentara, kami akan terus berjuang. Sebuah tirani akan ditolak oleh siapapun di muka bumi ini”. Pernyataan Mullah Mohammad Omar 5 tahun lalu itu sekarang telah terbukti dengan akan hengkangnya pasukan AS dari Afghanistan akhir tahun ini sebagaimana tentara Uni Soviet dulu.
Masa Depan Afghanistan
Selama perang 13 tahun sejak invasi pasukan AS ke Afghanistan, tercatat lebih dari 3.000 pasukan AS dan NATO terbunuh di Afghanistan. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana masa depan Afghanistan pasca penarikan pasukan AS dan NATO akhir tahun ini.
Pertama, Afghanistan akan semakin bergolak dan menjurus menjadi negara gagal. Pasalnya, 134.000 pasukan ANA tak akan mampu menghadapi gerilyawan Taliban, apalagi tahun lalu tercatat 9 persen pasukan ANA telah disersi dan menyeberang ke Taliban. Sebanyak 160.000 pasukan AS dan NATO saja tak mampu menghadapi Taliban, apalagi hanya 134.000 pasukan ANA, meski dikabarkan Mullah Mohammad Umar tertangkap pasukan Pakistan dan gerilyawan Taliban pecah menjadi tiga kelompok besar.
Kedua, meski tanpa kepemimpinan Mullah Mohammad Umar, namun Taliban akan tetap kuat apalagi sekarang mendapat dukungan dari mantan panglima perang Mujahiddin di masa invasi Uni Soviet, Gulbuddin Hekmatiyar dan Jalaluddin Haqqani serta putranya Sirajuddin Haqqani.
Ketiga, saya berani memprediksi setahun setelah pasukan AS keluar dari Afghanistan (2015), Taliban akan kembali menguasai Kabul. Kalau dulu Mujahiddin Afghanistan berhasil menumbangkan pemerintahan boneka Najibullah setelah tiga tahun pasukan Uni Soviet keluar dari Afghanistan (1992), kali ini cukup dibutuhkan waktu setahun Taliban kembali menguasai Kabul dan menumbangkan pemerintahan pro Barat Presiden Ashraf Ghani, apalagi kepemimpinan Ashhraf Ghani tidak sekuat mantan Presiden Hamid Karzai yang telah berkuasa selama dua periode di Afghanistan. Kemenangan Mujahiddin Sunni Iraq Suriah Islamic State (ISIS) baru-baru ini yang terus bergerak maju menuju Ibukota Iraq, Baghdad, tentu memberi semangat Taliban yang sama–sama Sunni untuk menguasai Kabul.
Keempat, karena Taliban tidak hanya ada di Afghanistan tetapi juga di Pakistan, maka kedua kelompok gerilyawan terlatih bertempur itu akan bekerjasama untuk merebut kekuasaan di Pakistan minimal di provinsi Miransyah yang berbatasan dengan Afghanistan. Sekarang saja kedua Taliban itu sudah menjalin kerjasama militer apalagi setelah nanti Kabul jatuh ke tangan Taliban. Militer AS dan Pakistan sudah berusaha menghancurkan Taliban Pakistan dengan pesawat Drone dan operasi militer gabungan, tetap selalu gagal.
Kelima, jika ibukota Kabul benat-benar jatuh ke gerilyawan Taliban, maka akan memaksa AS bekerjasama dengan Iran untuk menghadapi Taliban. Apalagi Iran memiliki perbatasan yang panjang dengan Afghanistan. Sekarang saja AS sudah menjalin kerjasama dengan Iran untuk menghadapi mujahiddin Sunni ISIS yang hampir menguasai Baghdad untuk menumbangkan pemerintahan pro Syiah di Iraq. Dengan demikian masa depan Afghanistan akan semakin suram dan sedang menuju negara gagal (failure state). [syahid/voa-islam.com]