View Full Version
Sabtu, 20 Jun 2015

Perang Ukraina, Awal Perang Dunia III?

Analysis: Perang Ukraina, Awal Perang Dunia III?

Tidak menutup kemungkinan Perang Dunia III akan kembali dimulai dari Eropa, sebagaimana Perang Dunia I dan II. Jadi Perang Dunia III tidak akan dimulai dari Timur Tengah sebagaimana prediksi para ahli politik selama ini.

Tanda-tanda kearah ini semakin nampak dengan adanya Perang Ukraina yang terjadi sejak awal tahun  2014 lalu dan sekarang semakin sengit.

Perang yang terjadi antara milisi Ukraina pro Rusia dengan dukungan militer Rusia melawan militer Ukraina yang didukung Barat itu, sampai sekarang sudah menelan 7.000 korban jiwa di kedua belah fihak.

Milisi Pro Rusia ingin agar Ukraina Timur yang mayoritas berbahasa Rusia merdeka dan bergabung dengan Rusia, sementara pemerintah Ukraina di Kiev tetap ingin mempertahankan kedaulatannya atas Ukraina Timur, jangan sampai terlepas seperti Semenanjung Crimea.

Secara tidak langsung sekarang tentara Rusia dan AS  sudah berhadap-hadapan, sebab, sebab ribuan marinir AS atas perintah Presiden Obama sudah didaratkan ke Polandia yang tak jauh dari wilayah konflik di Ukraina, sementara tentara Rusia sudah membanjiri Ukraina Timur untuk mendukung pemberontak pro Rusia atas perintah langsung Presiden Putin.    

Awal Perang

Perang Ukraina bermula dari protes massa di Ibukota Kiev terhadap pemerintaahan Presiden Ukraina pro Rusia, Viktor Yanukovych awal tahun 2014 lalu,  akhirnya Parlemen Ukraina pro Barat menyatakan Yanukovych tak dapat memenuhi kewajibannya sebagai Presiden Ukraina, sehingga sang Presiden terpaksa lari ke Moskow minta perlindungan sekutunya Presiden Rusia, Vladimir Putin.

Menyusul kudeta Parlemen terhadap pemerintahan Yanukovych, milisi pro Presiden yang dibantu militer Rusia berusaha menguasai wilayah Semenanjung Crimea di Laut Hitam yang berbatasan dengan negara beruang merah itu.

Pasalnya, 60 persen rakyat Crimea beretnis dan berbahasa Rusia apalagi negara bekas Uni Soviet itu memiliki Markas Besar Armada Laut Hitam di Sevastopol, Semenanjung Crimea, termasuk pangkalan kapal induk dan kapal selam bertenaga nuklir.

Akhirnya pada Ahad (16/3/2014) lalu, rakyat Crimea menyelenggarakan referendum dan hasilnya 97 persen pemilih ingin bergabung kembali dengan Rusia. Memang sebelum menjadi milik Ukraina, Crimea selama 300 tahun sejak direbut Kekaisaran Rusia dari Turki Utsmani menjadi milik Rusia.

Tetapi pada tahun 1954, Pemimpin Uni Soviet Nikolai Kruchev menghadiahkannya kepada rakyat Ukraina yang waktu itu masih menjadi bagian Uni Soviet, sehingga secara resmi Crimea menjadi wilayah kedaulatan Ukraina. 

Tentu saja Barat yang dipimpin AS dan pemerintahan sementara Ukraina dibawah  Presiden Olaksander Turchynov menolak hasil referendum tersebut. Bahkan Presiden AS Barack Obama segera menelpon Presiden Putin dengan menegaskan AS dan dunia tidak akan mengakui apapun hasil referendum itu karena bertentangan dengan konstitusi Ukraina dan hukum internasional.

Sebagaimana AS, pemerintahan baru di Kiev menganggap aneksasi Crimea sebagai bagian dari upaya Kremlin melanggengkan imperialisme Rusia seperti zaman Uni Soviet dulu yang akhirnya bubar tahun 1990.

Akhirnya Selasa (18/3/2014) lalu Presiden Rusia Vladimir Putin menandatangani perjanjian dengan pemimpin Crimea untuk menerima Republik Crimea dan kota Sevastopol menjadi bagian wilayah Rusia.

Perjanjian ini menyusul keputusan parlemen Crimea mendeklarasikan kemerdekaan dari Ukraina pada Senin (17/3/2014)  lalu setelah hasil resmi referendum Ahad (16/3/2014) menunjukkan 97 persen rakyat Crimea memilih bergabung kembali dengan Rusia.

Sanksi Barat

Menyusul pemisahan Crimea dari Ukraina dan bergabung dengan Rusia, akhirnya Eropa dan AS menyetujui paket sanksi terhadap Rusia. Sanksi berupa pembekuan visa dan aset terhadap 13 pejabat tinggi Rusia dan 8 Ukraina yang dinilai bertanggungjaawab atas terjadinya referendum di Crimea.

Diperkirakan nantinya sanksi Barat akan meluas menjadi sangsi ekonomi sebagaimana yang dialami Iran selama ini.

Jika sanksi ekonomi terhadap Rusia diberlakukan, maka dampaknya tidak akan mampu diprediksi. Pasalnya, Jerman sebagai sekutu AS dan anggota NATO sangat tergantung pada pasokan gas alam dari Rusia untuk menggerakkan industrinya.

Apalagi Rusia sebagai negara penghasil minyak dunia diluar OPEC, memiliki cadangan minyak bumi sebesar 80 miliar barrel  dan gas alam mencapai 48,8 miliar meter kubik, dengan konsentrasi pada wilayah Laut Kaspia, pedalaman Siberia Timur dan perairan Arktik.

Rusia menjadi salah satu negara dengan cadangan gas alam terbesar di dunia setelah Iran yang memiliki cadangan gas alam mencapai 32,9 triliun meter kubik (tcf).  

Memang diakui, cadangan minyak terbesar di dunai ada pada negara-negara Islam di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Iran, Irak, Kuwait, UEA, Qatar, Bahrain dan Libia saat ini menguasai 75 persen cadangan minyak dunia yang mencapai 685,6 miliar barrel.

Sedangkan cadangan minyak lainnya ada di negara-negara Amerika Tengah dan Selatan (98,6 miliar barrel), Eropa dan Eurasia (97,5 miliar barrel), Afrika (77,4 miliar barrel), Amerika Utara termasuk AS dan Kanada (49,9 miliar barrel) dan Asia Pasifik termasuk Indonesia (38,7 miliar barrel). 

Bahkan Majalah Fortune edisi Mei 2002 menulis, produksi minyak mentah Rusia pernah mencapai 12 juta barrel per hari pada akhir tahun 1980-an menjelang bubarnya Uni Soviet. Pasca Uni Soviet, muncullah para konglomerat minyak Rusia seperti Mikhail Khodorkovsky, Boris Berezovsky dan Roman Abramovish.

Sementara sejumlah perusahaan minyak Rusia mulai bermunculan ke tingkat dunia, seperti Yukos (Khodorkovsky), Surgutneftgaz, Lukoil, Sibneft (Abramovich), TNK, dan Tatneft. Berbagai perusahaan minya raksasa itu menguasai kawasan dengan cadangan minyak mentah mencapai 42,6 miliar barrel.

Menurut Majalah Fortuna, Yukos pada tahun 2001 mampu memproduksi 1,2 juta barrel per hari dari 11,8 miliar cadangan minyak mentah  yang dimilikinya. Surgutneftegaz 800.000 barrel per hari dari cadangan 6,8 miliar barrel, Lukoil 1,6 juta barrel per hari dari cadangan 12,9 miliar barrel, Sibneft 400.000 barrel per hari dari cadangan 4,6 miliar barrel, dan Tafneft 400.000 barrel per hari dari cadangan 6,5 miliar barrel. Sejak 2001, Rusia mampu mengekspor minyak mentahnya mencapai 5 juta barrel per hari ke pasaran dunia.

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, jika sanksi Barat terhadap Rusia semakin meluas, termasuk sanksi ekonomi yang mencakup ekspor minyak dan gas alam Rusia seperti diberlakukan terhadap Iran sekarang karena masalah nuklir,  maka dipastikan akan menimbulkan ketegangan internasional mengingat Rusia masih menyimpan kekuatan  militer dahsyat bekas Uni Soviet.

Jika demikian, apakah perang Ukraini ini sebagai pemicu terjadinya Perang Dunia III, antara  Barat dan AS melawan Rusia dan sekutuya termasuk China dan Korea Utara ?

Pertama, jika ketegangan antara Rusia vs Barat yang dipimpin AS terus meningkat, maka dapat dipastikan harga minyak dunia akan ikut terangkat secara tajam.

Terbukti sekarang harga minyak dunia sedikit demi sedikit mengalami kenaikan menyusul semakin sengitnya perang Ukraina dan setelah terdengar berita Rusia sedang memproduki 40 rudal nuklir antar benua (ICBM) baru untuk mengadapi AS dan sekutu Baratnya. Sebab Rusia tercatat sebagai salah satu Negara eksportir minyak di dunia.

Kedua, jika pasukan AS dan Rusia sudah berhadapan langsung di medan perang Ukraina, maka itulah pertanda Perang Dunia III sedang dimulai dari daratan Eropa, sebagaimana Perang Dunia I dan II yang juga dimulai dari Eropa. Kalau Perang Dinia II menelan korban 20 juta orang tewas, maka Perang Dunia III diprediksi akan menelan korban 200 juta orang tewas.

Ketiga, jika Perang Dunia III benar-benar terjadi, maka tidak akan ada pihak yang menang dan semuanya akan mengalami kehancuran sebagai dampak dari perang nuklir antara Rusia dan sekutunya melawan AS dan sekutunya.

Perekonomian dunia akan mengalami kebangkrutan sehingga akan menimbulkkan krisis yang jauh lebh hebat daripada krisis ekonomi tahun 1998 dan 2008 lalu. Indonesia pasti akan terkena dampaknya meski tidak menjadi negara peserta Perang Dunia III. (*)

Penulis: Abdul Halim

(Reporter  voa-islam.com


latestnews

View Full Version