Oleh: Muntaha Bulqini
Siapakah yang tidak mengenal Abrahah Al-Asyram tokoh legendaris asal Yaman yang terkenal dengan pasukan gajahnya. Masa kejayaannya ditandai satu hal: Bagaimana caranya memindahkan ibadah Haji bangsa Arab dari Ka’bah di Mekah menuju Al-Qalis, gereja megah di Shan’a, Yaman.
Kesombongannya membuat marah para pemuka Quraisy yang tidak terima bila rumah Tuhan mereka (Baitullah) diserupakan dengan Al-Qalis. Akibatnya, Al-Qalis pun dibakar dan diratakan dengan tanah oleh kaum Quraisy. Dari sanalah Abrahah diabadikan sebagai Asbabun Nuzul surat Al-Fiil.
Muqatil bin Sulaiman meriwayatkan dalam tafsir Ibnu Katsir, “Kemudian Abrahah menyiapkan diri dan pergi dengan membawa pasukan yang cukup banyak dan kuat dengan seekor gajah yang sangat besar, yang diberi nama Mahmud. Dan Najasyi, raja Habasyah juga mengirimkan pasukan untuk hal yang sama.” Kedua rezim itu berencana membalas dendam atas hancurnya Al-Qalis, dengan meluluhlantahkan Baitullah (Ka’bah) di Mekah.
Mentalitas Abdul Muthalib
Sebelum memasuki Mekah, Abarahah berhasil merampas 200 ekor ternak unta milik seorang rezim Quraisy Mekah, Abdul Muthalib. Maka terjadilah perundingan antara Abdul Muthalib dan Abrahah. Abrahah bertanya kepada Abdul Muthalib, “Ada perlu apa wahai Abdul Muthalib?” Abdul Muthalib menjawab, “Permintaanku adalah agar dikembalikannya 200 ekor unta yang telah engkau rampas.”
Padahal Abrahah mengira Abdul Muthalib akan menanyakan perihal Baitullah yang ingin ia hancurkan. Abrahah menjawab, “Ketika aku melihatmu, aku merasa takjub dan segan terhadapmu. Namun, setelah mendengar permintaanmu tadi, semua anggapanku tentangmu menjadi sirna. Engkau sekarang tidak lagi berharga di mataku.”
Abrahah sangat meremehkan Abdul Muthalib dan menganggapnya hina. Sebab ia hanya membicarakan perihal 200 untanya yang dirampas dan tidak menyinggung perihal Baitullah sedikit pun. Abrahah berkata, “Apakah engkau hanya sibuk memikirkan 200 ekor untamu yang dirampas? Sementara terhadap Baitullah yang menjadi simbol agamamu dan agama nenek moyangmu tidak engkau pedulikan. Sesungguhnya tujuanku ke sini adalah ingin menghancurkan dan meluluhlantahkannya.”
Abdul Muthalib menanggapinya, “Sesungguhnya aku hanya pemilik unta-unta itu, sedangkan Baitullah (Ka’bah) itu memunyai pemilik sendiri (Allah) yang akan selalu mempertahankannya.”
Tidak sedikit orang yang bermental seperti Abdul Muthalib dan masyarakatnya yang hidup di zaman ini. Mereka cemas dan tersiksa melihat musuh-musuh Allah menindas umat Islam. Lalu, hanya pasrah dan menyaksikan peristiwa itu dari kejauhan
Kemudian Abdul Muthalib kembali kepada kaum Quraisy dan memerintahkan mereka supaya keluar dari Mekah dan berlindung di puncak-puncak gunung karena khawatir akan terkena amukan bala tentara Abrahah.
Respon Abdul Muthalib terhadap Abrahah merupakan sikap pasif dan tidak wajar, menggambarkan seseorang yang hidupnya sekadar untuk sesuap nasi. Hanya karena ingin menyambung hidup diri, keluarga, anak-anak, unta dan kesenangannya, dia tidak memedulikan agama Allah dengan asumsi bahwa Allahlah yang akan menjaganya.
Tidak sedikit orang yang bermental seperti Abdul Muthalib dan masyarakatnya yang hidup di zaman ini. Mereka cemas dan tersiksa melihat musuh-musuh Allah menindas umat Islam. Sayangnya, mereka hanya pasrah menyaksikan peristiwa itu dari kejauhan. Padahal sunnah (ketentuan) yang ada sudah jelas, “Hai orang-orang yang beriman jika kamu menolong (agama) Allah niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7).
Bersambung...
Editor: RF