View Full Version
Selasa, 08 Sep 2015

Menyoroti Kunjungan Al Sisi ke Indonesia

Oleh: Prihandono Wibowo (Pemerhati Hubungan Internasional di Surabaya)

Sahabat VOA-Islam...

Presiden Mesir, Abdul Fatah Al-Sisi, mengadakan kunjungan diplomatik ke Indonesia pada Jumat 4 September 2015. Kunjungan ini merupakan salah satu dari rangkaian tour diplomatic presiden Mesir ke beberapa negara di Asia. Bagi Indonesia, kunjungan diplomatik dari Al Sisi merupakan kunjungan pertama sejak kunjungan Presiden Hosni Mubarak ke Indonesia sekitar 32 tahun yang lalu. Secara umum, kunjungan Al Sisi ke beberapa negara dilakukan untuk agenda mempromosikan perluasan proyek Terusan Suez serta peningkatan kerjasama ekonomi dan investasi.

Dalam kunjungan ke Indonesia, Al Sisi membawa beberapa agenda bilateral kedua negara. Diantaranya penguatan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan sosial. Tercatat kedua negara memiliki volume perdagangan mencapai 1,4 juta Dollar. Indonesia memiliki komoditas ekspor utama ke Mesir berupa bahan makanan dan tekstil. Indonesia membicarakan permasalahan hambatan perdagangan seperti tarif.

Selain kedua isu tersebut, dibicarakan pula isu demokrasi, radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme. Dalam kunjungan tersebut, presiden Joko Widodo menceritkan kepada Al Sisi bahwa Indonesia mampu mengembangkan keselarasan antara Islam dan demokrasi. Al Sisi memuji keberhasilan Indonesia mengembangkan demokrasi serta memuji dalam upaya pemberantasan terorisme. Pemerintah Indonesia, melalui menteri luar negeri-Retno Marsudi- dengan bangga menyatakan bahwa Presiden Mesir ingin belajar dari Indonesia bagaimana mengembangkan demokrasi di Indonesia dikarenakan Indonesia berpenduduk Muslim terbesar.  Pada saat yang sama merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.  

baik Mesir maupun Indonesia merupakan negara yang sama-sama belum dapat bersikap mandiri. Kedua negara ini berada dalam bayang-bayang dominasi AS pada panggung politik internasional

Kunjungan Al Sisi ke Indonesia memantik protes dari beragam elemen masyarakat. Pada umumnya, para pemrotes mempermasalahkan catatan buruk kebijakan dan sejarah kepemimpinan presiden berlatar belakang militer tersebut.  Pada Agustus 2015, tercatat Al Sisi mengesahkan UU anti terorisme yang dianggap banyak pihak dapat mengancam hak asasi manusia dan membungkam kebebasan pers. Poin kebijakan kontroversial tersebut adalah penetapan seseorang yang dituduh sebagai teroris tanpa perlu persidangan.

Dalam aturan ini juga ditetapkan denda sebesar 200.000 pon sampai 500.000 pon Mesir terhadap berita yang bertentangan dengan laporan Departemen Pertahanan Mesir. Dengan ketentuan-ketentuan tersebut, pemerintah Mesir dapat memberangus setiap kelompok atau individu yang bertentangan dengan pemerintah dengan alasan terorisme. Selain itu, pihak pemerintah juga dicurigai dapat menutupi keboborokannya dengan membatasi gerak pers.

Sejarah Al Sisi ke tampuk kekuasaan kepresidenan juga menjadi titik kritik tajam. Al Sisi menjabat presiden setelah menggulingkan kekuasaan presiden Mursi yang dipilih secara “demokratis.” Tercatat pula aparat Al Sisi menewaskan 1400 pendukung Mursi dalam mendukung mantan presiden tersebut. Ratusan pendukung Mursi dari dari kelompok Ikhwanul Muslimin dijatuhi hukuman mati atau penjara melalui sidang kilat dengan tuduhan yang tidak jelas. Al Sisi telah terbukti memerintahkan berbagai “pembantian” rakyat Mesir.

Dalam masa Al Sisi, eksistensi Ikhwanul Muslimin (IM) kembali dilarang. Jajaran pimpinan IM divonis mati dan dipenjara minimal 25 tahun. Buku-buku yang berisi ajaran IM dilarang terbit. Pemerintah memastikan koleksi perpustakaan tidak bertentangan dengan semangat “toleransi Islam.” Karena itu, Al Sisi dinilai banyak pihak menciderai “demokrasi rakyat” dan melanggar hak asasi manusia.  Hal yang menarik, pasca penggulingan Mursi oleh Al Sisi, banyak negara yang menyerukan demokratisasi di Mesir. Namun di satu sisi, banyak negara yang bersifat pragmatis dengan tidak mengutuk penggulingan Mursi oleh militer di bawah Al Sisi (Syukur 2013).

Dalam politik luar negeri Mesir, Al Sisi mempertahankan hubungan dengan Israel. Al Sisi menyatakan menghargai perjanjian damai dengan Israel sejak ditandatangani di Camp David. Selain itu, Al Sisi menyatakan  siap membantu Israel dalam melawan “terorisme”. Hubungan dekat dengan Israel digambarkan dalam kalimat satir “Al-Sisi is not Israel's friend, he's a partner.” Selain dengan Israel, Al Sisi juga mempertahankan hubungan dengan Amerika Serikat dengan menerima bantuan ekonomi dan militer.

Terdapat beberapa hal yang patut dicermati dalam kunjungan ke Indonesia.

Pertama, penerimaan Presiden Al Sisi oleh negara telah menyakiti perasaan muslim. Ironisnya pemerintah Indonesia abai terhadap perasaan dan solidaritas umat Islam. Al Sisi terbukti menumpahkan darah sesama muslim dan berkolaborasi dengan negara-negara musuh umat seperti Israel dan AS. Dalam khazanah sebagian gerakan Islam, rezim Al Sisi tidak ubahnya adalah kelanjutan dari  rezim “thaghut” atau “near enemy”-sebagaimana rezim presiden  Husni Mubarak- yang wajib diperangi sebelum memerangi “far enemy” seperti AS. Hal ini seakan terkonfirmasi dengan kemunculan kelompok-kelompok jihadis di kawasan Sinai Mesir yang berafiliasi dengan ISIS. Fokus perlawanan kelompok-kelompok jihadis ini adalah rezim tentara Mesir. Dalam berbagai kesempatan serangan, kelompok jihadis Mesir berhasil menewaskan tentara Mesir.

Kedua, pemerintah Indonesia abai terhadap konsistensi prinsip politik luar negeri yang berlandaskan kemanusiaan dan perdamaian. Dalam hal ini, terbukti dasar pengambilan kebijakan luar negeri pemerintah Indonesia hanya didasarkan atas azas manfaat. Dalam menyambut Al Sisi, pemerintah sama sekali tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip agama dan kemanusiaan, melainkan murni semata karena pertimbangan kepentingan nasional. Bahkan salah satu kepentingan nasional dari kedua rezim tersebut sama, yaitu memerangi “ekstimisme”, “radikalisme”, dan “terorisme; serta memastikan “Islam yang rahmatan lil ‘alamin”. Agenda ini patut dicurigai sebagai bagian dari upaya sistematis “membonsai” gerakan Islam yang dianggap sebagai “fundamentalis” di kedua negara. Hal ini mengingat kedua negara sama-sama berpengalaman dalam memerangi “fundamentalisme”, “ekstrimisme” , dan “terorisme”.

Ketiga, baik Mesir maupun Indonesia merupakan negara yang sama-sama belum dapat bersikap mandiri. Kedua negara ini berada dalam bayang-bayang dominasi AS pada panggung politik internasional. Kerjasama kedua negara dapat dipandang sebagai bagian dari upaya melanggengkan struktur dominasi AS.

Keempat, hubungan Indonesia-Mesir memberi gambaran nyata bahwa sistem internasional yang sekuler saat ini tidak memungkinkan digunakan untuk mewujudkan Islam yang kaffah. Sistem internasional yang kapitalis, sekuleristik, dan didominasi asing tidak memungkinkan muslim menerapkan ajaran agamanya secara utuh. Dalam sistem saat ini, musuh-musuh Islam akan terus berupaya melanggengkan sistem yang ada dengan beragam cara, hatta dengan menumpahkan darah kaum muslim sekalipun. Karena itu, Sayyid Quthb menggambarkan sistem ini sebagai jahiliyah modern. Bergabung dengan sistem saat ini adalah kebodohan yang nyata.

Sebagai contoh, memperjuangkan Islam melalui instrumen demokrasi hanya akan menimbulkan kekecewaan. Karena tidak mungkin mewujudkan idealisme Islam kaffah tetapi pada saat yang sama mengadopsi sistem jahiliyah. Saatnya umat Islam menyadari hal ini dan berhenti mendukung sistem saat ini.

Kepekaan politik umat perlu ditingkatkan dengan terus membongkar makar musuh-musuh Islam melalui rezim boneka. Baik rezim Jokowi-JK ataupun Al Sisi harus waspada. Jika mereka terus membonsai Islam dan menyerukan selain Islam, maka Allah akan menjungkirbalikkan kekuasaan Anda. Bagi Allah hal itu begitu mudah. Karena kekuasaan Anda seperti jaring laba-laba. Umat pun akan berdiri dan membela Khalifah yang mulia di bawah naungan Khilafah. Insya Allah. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version