Oleh: Prihandono Wibowo
(Pemerhati Hubungan Internasional di UPN Surabaya)
Pada tanggal 22 September 2015, diselenggarakan pertemuan antara Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi dengan Menlu Amerika Serikat (AS), John Kerry di Washington. Dalam pertemuan tersebut, menteri luar negeri AS memuji Indonesia sebagai negara muslim moderat dengan yang berperan sebagai generator toleransi dan pluaralisme umat beragama.
Dalam kesempatan tersebut, kedua menlu menyepakati mempromosikan toleransi dan pluralisme, serta bekerjasama dalam bidang tersebut.
Hal ini ditujukan untuk memerangi radikalisme global. John Kerry menambahkan bahwa Indonesia dengan jumlah muslim terbesar, memiliki posisi penting dalam penanganan radikalisme dan ekstrimisme di dunia. Pertemuan kedua menteri ini menarik untuk dikaji. Momen ini dapat dianalisis melalui level analisis sistem internasional dalam kajian hubungan internasional
Posisi Tawar Indonesia
Sebagai negara berdaulat dengan jumlah muslim yang besar, Indonesia tidak layak bangga dengan pujian semacam ini. Sebaliknya, Indonesia patut mewaspadai pujian semacam ini. Pasalnya, sebagai negara adidaya, AS berupaya menggunakan beragam cara untuk menjaga tatanan dunia sesuai dengan agenda nasionalnya.
William Blum, mantan pegawai departemen luar negeri AS, di dalam bukunya “Demokrasi: Ekspor Paling Mematikan AS”, menyatakan bahwa tindakan politik luar negeri AS adalah berkaitan dengan upaya memastikan berjalannya ideologi kapitalisme di tingkat global.
Tidak jarang AS menggunakan cara kekerasan, seperti invasi militer untuk menggulingkan rezim pemerintahan negara lain yang dipandang dapat mengganggu hegemoni global AS
Blum menambahkan bahwa kebijakan luar negeri AS bukan didorong untuk kebebasan, dunia yang adil, menghentikan kekerasan atau kemiskinan, dan planet yang layak hubi manusia, tetapi murni karena ideologi dan ekonomi. Beragam upaya dilakukan AS untuk mencapai tujuan ini. Upaya AS terebut dilakukan baik melalui dengan instrument hard power ataupun instrument soft power. Dalam konteks hard power, William Blum menjelaskan, AS tercatat berulangkali kali melakukan intervensi terhadap politik negara lain.
Tidak jarang AS menggunakan cara kekerasan, seperti invasi militer untuk menggulingkan rezim pemerintahan negara lain yang dipandang dapat mengganggu hegemoni global AS. Nikaragua, Panama, Vietnam, Afghanistan, Irak, adalah sebagian kecil contoh bagaimana AS berani “kurang ajar” terhadap kedaulatan sebuah negara dengan menggelar invasi militer. Upaya menjaga hegemoni tersebut juga dapat dilakukan melalui sabotase untuk membunuh pimpinan negara lain. Hal Ini bukan sekedar “teori konspirasi”, melainkan terbukti dalam beberapa kasus.
Dalam sejarahnya, Indonesia sendiri pernah menjadi “korban” dari kasus sabotase AS ini. Pada tahun 1958, AS pernah terlibat mendukung pemberontakan PRRI/Permesta. Pada tahun tersebut, agen CIA, Allen Pope menerbangkan pesawat tempur untuk menyerang posisi pasukan militer Indonesia. Namun pesawat yang diterbangkan agen CIA tersebut, berhasil ditembak jatuh, dan Allen Pope berhasil ditangkap sebelum dibebaskan dengan imbalan ditukar dengan alutsista modern pada era tersebut. William Blum menambahkan bahwa sejak perang Dunia II, AS menggulingkan lebih dari 50 pemerintah negara-negara lain.
Selain dengan instumen “hard power”, AS menjaga hegemoni ideologi kapitalismenya dengan instrument soft power. Dalam konsep instrumen ini, tidak digunakan cara-cara kekerasan seperti invasi militer atau sabotase, melainkan dengan cara memengaruhi pihak lawan agar dapat bertindak sesuai dengan keinginan pihak yang berkepentingan tersebut. Manifestasi dalam instrumen ini dapat digunakan dalam bentuk bantuan sosial-ekonomi ataupun infiltrasi budaya.
Indonesia pernah (dan masih) menjadi korban dari cara soft power negara adidaya ini. Sudah mahfum diketahui bahwa pasca jatuhnya rezim Orde Lama, Indonesia memliki hubungan dekat dengan AS. Ekonom-ekonom Indonesia lulusan perguruan tinggi AS menjadi tokoh kunci membangun ekonomi Indonesia. AS, Melalui lembaga-lembaga dunia ekonomi neoliberal , seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO AS berhasil “mengisntall” ekonomi neoliberal dalam struktur ekonomi Indonesia.
Dalam beberapa kajian dan sumber terpercaya, pihak asing bahkan terlibat dalam pembuatan UU di Indonesia yang sangat bersifat neoliberal. Akibatnya, hingga kini Indonesia terperangkap dalam jeratan ekonomi neoliberalisme. Dalam konteks ekonomi pula, pengakuan John Perkins dalam bukunya The Confession of Economic Hitman mengenai bagaimana cara AS menjebak sebuah negara dalam jeratan hutang juga patut menjadi refrensi.
AS Menjadi Ancaman
Dalam konteks permasalahan politik kontemporer, AS menghadapi masalah besar terkait isu terorisme. Sejak era Presiden Bush, AS membagi dunia menjadi dua kutub besar, “Ikut bersama AS, atau ikut bersama terorisme”. Beberapa negara yang “bermusuhan” dengan AS, seperti Irak, Korea Utara, dan Iran dikatakan sebagai negara “poros setan” oleh AS, bahkan kerap dicurigai sebagai pendukung terorisme internasional.
Dalam konteks Indonesia, meskipun tidak pernah terlihat secara formal bahwa Indonesia mendukung Global War on Terrorism yang diinisiasi oleh AS, namun politik luar neger Indonesia mengindikasikan kuat bahwa Indonesia tergabung dalam poros AS melawan terorisme.
Secara riil Indonesia terlibat penuh mendukung upaya AS dan koalisinya dalam menumpas gerakan “radikal” dan “teror”. Dalam sebuah film dokumenter televisi Australia tahun 2005, Kapolri periode tersebut, Da’i Bacthiar menyatakan bahwa Indonesia mendapat bantuan senilai 50 juta Dollar AS untuk pembentukan perangkat anti terorisme.
Dalam rekaman yang bertajuk Inside Indonesia’s War on Terror tersebut, Kapolri bahkan menyatakan bahwa dalam kunjungan ke AS, ia diterima di bagian West Wing dari Gedung Putih AS dan disambut tokoh-tokoh penting pemerintah AS, serta bertemu dengan pucuk pimpinan CIA dan FBI.
Selain melalui jalur aparat keamanan, AS juga aktif memberi bantuan pada isntitusi pendidikan di Indonesia. pada era Bush, pemerintah AS memberi bantuan sebesar 250 juta Dollar untuk institusi-institusi pendidikan di Indonesia, termasuk bagi institusi pendidikan pesantren dan madrasah. Secara resmi, bantuan ini ditujukan untuk peningkatan kualitas pendidikan dan membantu sosial-ekonomi masyarakat Indonesia.
Namun di balik bantuan, terdapat motif yang tersembunyi, yaitu memengaruhi persepsi masyarakat muslim Indonesia untuk tidak memusuhi AS. Melalui program pertukaran pelajar misalnya, AS bertujuan mengenalkan muslim Indonesia terhadap kebaikan, toleransi, dan pluralism warga AS.
Dengan hanya mengandalkan melihat realita, akhirnya dibentuk persepsi, bahwa tidak seluruh elemen AS adalah buruk, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak perlu memerangi AS. Sasaran strategi AS melalui sektor pendidikan ini termasuk kiai, ulama, dan santri. bantuan dari AS juga mengalir ke kelompok-kelompok “liberal” dan “moderat”.
Dalam kajian politik internasional, Indonesia patut waspada terhadap segala kebaikan dan pujian dari AS. Pasalnya, kebijakan luar negeri AS ditujukan untuk menjaga struktur hegemoni ideologi mereka secara global. Kebijakan luar negeri AS juga terbukti bukan didasari murni motif kemanusiaan, melainkan semata mencapai kepentingan nasionalnya.
dalam konteks Islam, Indonesia yang merupakan mayoritas muslim terbesar, tidak seharusnya bangga dengan pujian dan kebaikan AS. Negara ini dapat dikateogikan sebagai negara kafir harbi fi’lan, karena terang-terangan menunjukkan sikap permusuhan nyata terhadap Islam dan kaum muslim
Siapapun presiden AS, dari partai apapun mereka berkuasa, pasti mengeluarkan kebijakan dengan “rel” untuk menjaga hegemoni global AS. Hanya cara dan variasinya yang berbeda dari satu pemerintah ke pemerintah yang lain, apakah dengan titik tekan orientasi “hard” atau “soft”. Pujian yang diberikan John Kerry kepada Menlu RI dapat dipandang hanya kelanjutan dari upaya AS menjaga hegemoninya-melalui isu radikalisme, terorisme, dan fundamentalisme-dari serangkaian hal lainnya.
Dalam trend historis, Indonesia sebenarnya telah berulangkali menjadi “korban” dari upaya-upaya AS ini. Ironisnya, Indonesia justru kerap bangga dengan pujian dan kebaikan AS. Padahal pujian dan kebaikan AS ibarat “racun yang manis, tetapi mematikan.”
Sedangkan dalam konteks Islam, Indonesia yang merupakan mayoritas muslim terbesar, tidak seharusnya bangga dengan pujian dan kebaikan AS. Negara ini dapat dikateogikan sebagai negara kafir harbi fi’lan, karena terang-terangan menunjukkan sikap permusuhan nyata terhadap Islam dan kaum muslim.
Dukungan buta terhadap Israel, Global War on Terrorism, invasi militer ke negeri-negeri Islam, penguasaan sumber daya alam di negeri-negeri Islam, dan infiltrasi pemikiran liberal, adalah contoh nyata kebijakan AS yang merugikan Islam dan kaum muslim. Mengadakan dialog dan kerjasama, terlebih dengan agenda kepentingan AS, dapat dianggap sebagai pengkhianatan terhadap Islam dan muslim.