View Full Version
Rabu, 04 Nov 2015

Putin Bukan Mencari Solusi, Tapi Hanya Memperpanjang Pertumpahan Darah di Suriah

MOSKOW (voa-islam.com) – Sejatinya, Presiden Rusia Vladimir Putin mencoba menipu dan mengelabui Arab Saudi dan Turki dengan mengajukan solusi damai, tetapi tawaran Putin itu sudah ditolak oleh rakyat Suriah, karena solusi yang ditawarkan Putin itu tetap mempertahankan Presiden Bashar al-Assad,  Selasa, 2/11/2015.

“Saya tidak percaya bahwa Putin mencari solusi atas krisis Suriah. Putin tahu aturan dengan baik. Namun, Putin mengambil sikap mendukung Bashar al-Assad, dan Rusia adalah negara adidaya yang tidak mau memberikan  solusi atas krisis Suriah", ujar seorang  pengamat politik  di Arab Saudi.

Rusia mengambil resiko dari beberapa pilihan menghadapi situasi regional di Timur Tengah, 'keengganan atau takut perubahan yang disebabkan oleh “Arab Spring”. Putin bersedia menerima rezim yang sangat brutal dan biadab, pro-Iran yang mengancam keamanan nasional negara-negara Arab, dan tidak mau menerima kekuatan demokrasi Islam yang pasti akan mengatur di Damaskus setelah rezim Bashar al-Assad jatuh.

Putin menggunakan taktik Machiavelli yang sudah usang dan teknik membuang-buang waktu melalui kontak degan para pemimipin Arab. Sembilan poin yang menjadi solusi Suriah, direduksi menjadi tujuh poin setelah berlangsung negosiasi.

Titik baru ditambahkan setelah putaran ketiga, sedangkan mesin pembunuh Rusia terus menghujani rudal yang sangat dahsyat, dan diarahkan kepada kelompok-kelompok oposisi yang menginginkan penggulingan Bashar al-Assad bekerjasama dengan rezim Syiah Iran, Irak, Hizbullah dan Suriah.

Menentang posisi Arab dan Turki

Putin tahu bahwa Saudi dan Turki tidak akan membiarkan Assad tetap berkuasa. Jika Assad tetap berkuasa, perang akan terus berlanjut. Jika Assad menang, begitu juga Iran, dan akan mengancam negara-negara tetangganya.

Mereka juga tidak menginginkan Rusia terlibat dalam perang, dan mengancam akan membekukan kepentingan mereka dalam hal perdagangan, minyak dan gas, juga tidak ingin Iran di Suriah. Ini bukan sikap politik terbuka untuk negosiasi, tetapi posisi strategis berubah dan konsisten.

Menurut pemerintah Arab Saudi dan Turki, bahwa Bashar al-Assad tidak memiliki masa depan di Mediterania, timur jika kemenangan revolusi Suriah. Dalam hal ini, mereka akan dilihat oleh orang-orang Suriah dengan cara yang sama Iran memandang Amerika Serikat setelah revolusi 1979, yang menjadi ideologi politik yang berlangsung 35 tahun sampai kesepakatan nuklir ditandatangani pada bulan Juni.

Perubahan sikap ini akan memakan waktu satu atau dua generasi untuk Suriah mengatasi kebencian mereka dari Rusia dan Iran. Tapi, waktu yang berlangsung sangat panjang, maka Suriah sudah tidak ada lagi yang bisa hidup.

Inilah sebabnya mengapa Rusia  bersikera perlu menghasilkan sebuah rezim baru yang mirip dengan Assad untuk memerintah Suriah di masa depan: “sektarian, tidak demokratis dan represif, tapi tanpa keluarga Assad.

aNamun, penataan ulang tersebut adalah sangat tidak realistik dalam enam bulan atau bahkan satu tahun, sebagai dikalangan pejabat Arab Saudi mengatakan kepada Rusia bahwa durasi maksimal tahap transisi hanya enam bulan.

Proposal Putin tidak bisa dijalankan

Putin tahu benar bahwa pejuang oposisi tidak pernah dapat disatukan  dengan tentara rezim Assad, sebagai yang disarankan kepada Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov. Untuk menambah keanehan proposal ini, Lavrov mengatakan: "Ini akan merupakan inti dari tentara nasional anti-terorisme."

Moskow menargetkan faksi revolusioner bukan Daulah Islam Irak dan Suriah (ISIS), yang telah memperluas pengaruhnya kontrol ISIS, berkat pemboman Rusia. Format baru tentara Suriah yang diinginkan oleh Rusia,  gabungan antara pejuang oposisi dengan  pasukan Suriah dan milisi Syiah?

Bagaimana mungkin pemimpin Ahrar al-Sham Muhanad al-Masri, dengan latar belakang Salafi dan bertujuan ingin menegakan Syariah Islam di Suriah, bergaul dengan kepala intelijen Baath dan mantan kepala penjara Ali Mamluk? Ada kesenjangan waktu yang sangat besar di antara mereka yang hanya akan diisi dengan lebih banyak pertumpahan darah.

Dengan demikian, Rusia memperkenalkan ide baru "melawan mereka yang menolak perjanjian damai yang dicapai," dan mencoba memasarkannya ke Saudi dan Turki di Wina. Anehnya, Menteri Luar Negeri AS John Kerry masuk perangkap dan mendukung proposal Lavrov saat konferensi pers.

Hal ini tidak mungkin bahwa semua kontak dan pertemuan akan menjdi solusi bagi masa depan Suriah. Pertama, Rusia harus merasakan sakitnya memasuki Suriah, dan akan menghadapi situasi yang lebih serius.

Tidak ada pejabat Saudi secara terbuka akan mengungkapkan berapa besar rudal anti tank yang didanai oleh Arab Saudi dan Qatar yang sudah dikirim ke pejuang oposisi, atau berbicara tentang pengiriman rudal permukaan-ke-udara rudal, dan akan menjadi ancaman pesawat tempur Rusia.

Posisi Arab Saudi sangat jelas bahwa Iran tidak memiliki tempat di Suriah. Ada diskusi akan diselenggarakan sebelum solusi untuk menghilangkan Iran dan milisi Syiah dari Suriah.

Tapi di bawah pengawasan Rusia, mobilisasi Iran di Suriah terus meningkat. Pasukan reguler, milisi, dan pasukan Garda Republik dan Garda Revolusi berdatangan ke Suriah. Inilah yang ditolak oleh Arab Saudi dan Turki, karena akan menjadi ancaman keamanan regional. Rusia hanya memperpanjang pertumpahan darah di Suriah. Bukan mencari solusi atas krisis di Suriah. (mashadi/aby/voa-islam.com)

 


latestnews

View Full Version