View Full Version
Senin, 18 Apr 2016

Kenaikan Premi BPJS Kesehatan, Problem Buruh dan Solusi Islam

Sahabat VOA-Islam...

Kenaikan premi lembaga asuransi BPJS kesehatan yang sudah ditetapkan berdasarkan Penpres Nomor 19 Tahun 2016 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo, 29 Februari 2016 dan diundangkan pada 1 Maret 2016 itu, terasa memberatkan dan menyisakan beberapa pertanyaan ada apa sebenarnya maksud di balik kebijakan ini. Rencana kenaikan tarif itu adalah berdasarkan kelas ruang perawatan kesehatan. Kelas I naik dari Rp 59.500 menjadi Rp 80 ribu. Kelas II yang semula Rp 42.500 naik menjadi Rp 51 ribu.

Sedangkan Kelas III naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 30 ribu. Dalih pengajuan kenaikan premi itu, diakui Direktur Perencanaan Pengembangan dan Manajemen Risiko BPJS Kesehatan Tono Rustiano, karena ketidakseimbangan iuran yang masuk dengan pengeluaran. Ia menyontohkan tahun 2015 lalu. Iuran yang diterima rata-rata hanya Rp 27 ribu, sedangkan biaya pelayanan yang harus dibayar Rp 32 ribu. BPJS Kesehatan mengalami defisit, sehingga harus menalangi dana sebesar Rp 5,85 triliun tahun lalu.

Namun penolakan atas  kenaikan premi itu datang baik dari pusat hingga daerah. Di Jawa Timur, kebijakan ini mendapatkan penolakan oleh Soekarwo, gubernur Jatim. Gubernur dengan julukan Pakde itu menegaskan bahwa layanan kesehatan adalah kewajiban pemerintah untuk pemenuhan hak kebutuhan dasar rakyat. Selanjutnya Soekarwo berharap bahwa BPJS tidak hanya berpikir kwuratif tetapi juga preventif.  Ironisnya, kebijakan ini dilakukan di tengah banyaknya keluhan atas layanan kesehatan bagi peserta BPJS. Selain karena prosedurnya yang berbelit-belit, jumlah rumah sakit yang memberikan layananpun terbatas hanya rumah sakit-rumah sakit pemerintah sejumlah 60 buah di Jatim, dan tidak semua jenis penyakit yang ditanggung.

Meski kalangan DPRD Jatim akan mengupayakan termasuk di beberapa rumah sakit swasta. Terdapat wacana juga untuk mengembangkan sistem kesehatan daerah yang mengacu pada SKN dan UU Kesehatan. Sebagai upaya untuk menutupi amburadulnya pelaksanaan BPJS sejak awal kemunculannya. Sementara di sisi lain implementasi program Jamkesmas dan Jamkesda yang lebih dulu dilaksanakan bersumber dari APBN dan APBD sudah terlanjur diintegrasikan ke dalam program asuransi BPJS. Pergub Jatim Nomer : 28 tahun 2014 tentang Mekanisme Pembayaran Premi Bagi Masyarakat Miskin Penerima Bantuan Iuran Daerah Kepada BPJS Kesehatan misalnya menjelaskan tentang bagaimana kewajiban pembayaran premi asuransi BPJS Kesehatan dilakukan oleh Pemprov Jatim.

Selain itu dijelaskan juga tentang penyakit apa saja yang ditanggung oleh BPJS atas PBI-D (Penerima Bantuan Iuran Daerah). Yakni masyarakat miskin yang menjadi anggota Jaminan Kesehatan Nasional pada BPJS yang pembayaran preminya ditanggung Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur melalui bantuan iuran daerah. Jenis penyakit itu antara lain : 1) Penderita Hemofilia 2) Penderita Thalasemia 3) Penderita Kongenital 4) Penderita gagal ginjal yang membutuhkan cuci darah dan 5) Penderita gangguan jiwa yang dipasung. Kendala layanan BPJS juga terkait sulitnya koordinasi di level daerah karena secara struktural pertanggung jawabannya langsung kepada Presiden.

Layaknya lembaga asuransi pada umumnya maka BPJS Kesehatan juga dikejar target kepesertaan maupun jumlah premi. Dalam kaitan itu, menggunakan segala cara untuk memenuhinya. Mulai dari edukasi, himbauan hingga sanksi. Seperti halnya BPJS Ketenagakerjaan yang diimplementasikan di Sulawesi Selatan yang diperkuat oleh PP No 86 tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif. Pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan "Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan setiap orang, selain pemberi kerja, pekerja dan penerima bantuan iuran yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dikenai sanksi administratif berupa; teguran tertulis; denda; dan/atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu.

"Sedang pasal 9 ayat (1) sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu yang dikenai kepada pemberi kerja selain penyelenggara negara meliputi : a) Perijinan terkait usaha; b) Ijin yang diperlukan dalam mengikuti tender proyek; c) Ijin mempekerjakan tenaga kerja asing; d) Ijin perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; atau e) Ijin mendirikan bangunan (IMB). Selain PP,  juga diperkuat oleh Pergub Sulsel Nomer 34 tahun 2014 tentang kewajiban Persyaratan Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan dalam Pemberian Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan di Propinsi Sulawesi Selatan. Dan yang terakhir Instruksi Walikota Makassar Nomor : 568/352/Disnaker/IX/2014 tentang Kewajiban Persyaratan BPJS Ketenagakerjaan. Sudah berlepas dari tanggung jawab pemenuhan kebutuhan pokok kesehatan, negara melakukan pemalakan kepada rakyat melalui pressure terhadap para pemberi kerja yang disertai dengan sanksi. Terjadilah tekanan struktural berlapis oleh negara kepada pengusaha menurun kemudian kepada pekerja (buruh).

Untuk menguak alasan sebenarnya di balik kenaikan premi kesehatan terdapat beberapa hal penting yang penting dipahami diantaranya sebagai berikut :

Pertama, kemunculan UU SJSN dan kemudian melahirkan UU BPJS diadvokasi secara khusus oleh Asia Development Bank pada tahun 2006 yang bertajuk "Financial Governance and Social Security Reform Program (FGSSR)". Disebutkan antara lain dalam sebuah dokumen "ADB Technical Assistance was provided to help develop the SJSN in the with key policies and priorities established by the drafting team and other agencies" (Bantuan teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain. Nilai bantuan programnya sebesar US Dollar 250 juta atau 2,25 trilliun dengan kurs Rp 9.000/US Dollar. Selain ADB juga ILO dan World Bank. Ini semua menunjukkan bahwa terjadinya liberalisasi sektor kesehatan yang sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat termasuk buruh.

Kedua, kerangka perundang-undangan di bidang kesehatan saling tumpang tindih baik kontrakdisi antar Perpres, undang-undang, maupun dengan Undang-Undang Dasar. Antara lain : 1) Perpres No 72/2012 tentang SKN dan UU No 36/2009 tentang Kesehatan berbeda semangat dengan Perpres No 24 tahun 2013 tentang JKN dan UU No 24 tahun 2011 tentang BPJS, meski tetap mengacu pada UU No 40/2004 tentang 2004. Tetapi tidak mengacu pada UU Kesehatan sebagai pertimbangan hukum. 2) Kebijakan JKN tidak menjadikan SKN sebagai pertimbangan hukum. 3) Implementasi UU BPJS dan JKN bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28H ayat 1, 2, 3, pasal 34 ayat 2, dan 3.

Dua hal tersebut cukup bisa menguak bahwa asuransi BPJS sejak kelahirannya adalah produk liberalisasi asing yang diperkuat melalui pintu perundang-undangan penuh kontradiksi dengan perundang-undangan lain dan bahkan konstitusi. Secara struktural, BPJS langsung dikendalikan oleh presiden yang memaksa dukungan produk legislasi di level daerah.

Kacaunya pengelolaan layanan kesehatan yang harusnya menjadi kewajiban negara ini berangkat dari kekeliruan prinsip dasar basis ideologi negara. Dimana negara, melalui penguasanya hanya memposisikan diri sebagai regulator atas layanan pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya termasuk bidang kesehatan. Dengan mengembalikan tanggung jawab pemenuhan kebutuhan pokok bidang kesehatan ke pundak rakyatnya sendiri melalui komersialisasi pengelolaan oleh lembaga asuransi BPJS Kesehatan.

Prinsip pengelolaan kesehatan ala kapitalis liberal ini meniru dengan yang dikembangkan oleh negara-negara barat liberal sekuler. Hal ini sangat bertentangan dengan Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas bangsa di negeri ini. Selain akar sejarah lahirnya BPJS yang sarat dengan intervensi asing dan kontradiksi diantara legal of frame bidang kesehatan, yang menarik ditanyakan adalah dimana sebenarnya aliran penggunaan uang premi yang dibayarkan oleh rakyat itu disalurkan, seberapa akuntabilitas publiknya dan adakah lembaga independen yang mengawasi kinerjanya.

 

Kenaikan premi BPJS Kesehatan, Problem Buruh dan Solusi Islam

Kehadiran kebijakan kenaikan premi BPJS Kesehatan jelas-jelas sangat merugikan bahkan menzalimi rakyat terutama buruh. Keberadaan Jamkesmas dan Jamkesda sebelum kelahiran BPJS saja dipertanyakan bentuknya apakah sebuah asuransi sosial ataukah bantuan sosial. Apalagi kini layanan kesehatan rakyat dikelola sepenuhnya oleh BPJS berbasis komersial dan ribawi. Dan Jamkesmas dan Jamkesda diintegrasikan di dalamnya.

Bagi buruh, kenaikan premi BPJS Kesehatan adalah tambahan problem baru dari sebelumnya meliputi problem gaji/UMR, problem kesejahteraan hidup, problem pemutusan hubungan kerja/PHK, problem tunjangan sosial, dan problem kelangkaan lapangan pekerjaan. Semua masalah tersebut berakar dari persoalan pokok "upaya pemenuhan kebutuhan hidup" serta upaya meningkatkan kesejahteraan hidup. Persoalan pemenuhan kebutuhan pokok, baik kebutuhan akan barang, seperti pangan, sandang dan papan, maupun jasa seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan adalah akar penyebab utama sekaligus pendorong terjadinya permasalahan ketenaga kerjaan. Diperlukan solusi praktis sekaligus integral-sistemik untuk menyelesaikan problem ketenagakerjaan termasuk pemenuhan kebutuhan pokok atas kesehatan.

Hal ini berkaitan dengan bagaimana politik buruh, politik industri dan kebijakan negara di bidang kesehatan ke dalam sistem pengelolaan negara komprehensif terkait dengan sistem ekonomi yang benar-benar memberikan layanan kebutuhan pokok rakyat dijamin kepastian pemenuhannya secara personal. Jauh dari dikte asing dan berakar dari aturan yang datang dari Sang Khalik. Itu hanya ada dalam ajaran Islam memuat syariat yang hanya bisa dijalankan oleh satu-satunya institusi diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya bernama Khilafah 'ala minhajin nubuwwah. Tidak ada keraguan dan ikhtilaf dalam perkara kewajiban mewujudkannya.

Di bidang kesehatan ditunjukkan oleh sejarah bagaimana tanggung jawab Rasullullah SAW dan para Sahabat-Nya sebagai kepala negara  memenuhi secara sepenuhnya antara lain :

Pertama, diriwayatkan bahwa Mauqiqis, Raja Mesir, pernah menugaskan (menghadiahkan) seorang dokter (ahli pengobatan) nya untuk Rasulullah SAW. Oleh Rasullullah SAW, hadiah dokter itu dimanfaatkan bukan hanya untuk pribadi melainkan juga untuk kaum muslimin. Hadiah adalah salah satu harta yang dikelola ke dalam Baitul Maal. Selain itu Rasullullah SAW pernah membangun suatu tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan membiayainya dengan harta benda Baitul Maal.

Kedua, pernah juga dalam suatu riwayat dijelaskan ada serombongan orang berjumlah delapan orang dari Urairah datang mengunjungi Rasullullah SAW di Madinah. Mereka kemudian menyatakan keimanan dan keislamannya kepada Rasullullah SAW, karena Allah. Di sana, mereka terserang penyakit dan menderita sakit limpa. Rasullullah SAW memerintahkan mereka beristirahat di pos penggembalaan ternak kaum muslim milik Baitul Maal, di sebelah Quba', di tempat bernama "Zhi Jadr". Mereka tinggal di sana hingga sembuh dan gemuk kembali. Mereka diizinkan meminum susu binatang-binatang ternak (unta), karena mereka memang berhak.

Ketiga, dalam buku "Tarikhul Islam as-Siyasi" diceritakan Umar r.a telah memberikan sesuatu dari Baitul Maal untuk membantu suatu kaum yang terserang penyakit lepra di jalan menuju Syam, ketika melewati daerah tersebut. Pelayanan kesehatan juga dilakukan oleh para khalifah dan wali-wali. Seperti halnya  khalifah Walid bin Abdul Malik telah khusus memberikan bantuan kepada orang-orang yang terserang penyakit lepra. Termasuk Bani Ibnu Thulun di Mesir, memiliki masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat mencuci tangan, lemari tempat menyimpan minuman-minuman dan obat-obatan, serta dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk memberikan pengobatan gratis kepada orang-orang sakit.

Riwayat-riwayat itu sesuai dengan sabda Rasullullah SAW yang artinya "Barang siapa yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya" (Al Hadits).

Dan tanggung jawab pemenuhan kebutuhan pokok termasuk kesehatan itu juga merupakan wujud pelaksanaan dari hadits Nabi SAW : “Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia akan diminta pertanggung jawaban terhadap urusan rakyatnya" (HR Bukhari - Muslim). Wallahu a'lam bis showab. [syahid/voa-islam.com]

Penulis : Abdus Salam (HTI DPD Jawa Timur)


latestnews

View Full Version