View Full Version
Sabtu, 28 May 2016

Kerjasama Kemitraan Inggris & Indonesia, Siapa Meraup Untung?

Oleh: Umar Syarifudin (Praktisi Politik-Ekonomi)

Di tangan negera-negara kapitalis, kerjasama investasi dan perdagangan luar negeri adalah alat dominasi. Di bawah globalisasi neoliberal, investasi dan perdagangan telah memelihara ketimpangan dan menjadi ruang penyelesaian sengketa antara negeri-negeri maju dalam upaya mereka mengontrol pasar pada saat ini maupun masa depan.

Alfred T. Mahan (1840-1914) Ahli strategi NAVY US menyatakan kenapa Inggris bisa menguasai separuh dunia pada abad XVII & XVIII.

a. Pendekatan Ekonomi dan konflik finansial:  Inggris merekayasa berbagai perang untuk profit dengan metode finansial


b. Menguasai Laut : Siapa menguasai laut maka menguasai perdagangan dunia dan  menguasai perdagangan maka menguasai dunia.

Inggris bagian dari penikmat kemitraan Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) antara Indonesia dan Uni Eropa, kini bersiap meraup untung dalam berbagai investasi di Indonesia. Indonesia dan Inggris terikat dalam tujuh bidang kemitraan. Dikatakan Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Inggris Rizal Sukma dalam pertemuan dengan Ratu Elizabeth II di London. Menurut Rizal, begitu banyak peluang dalam membangun hubungan yang kuat antara Indonesia dan Inggris untuk tingkat yang lebih tinggi. Sekarang, kedua negara juga telah berkomitmen dan terikat bersama-sama di tujuh bidang termasuk kemitraan ekonomi, global, maritim, politik, keamanan, dan budaya.

Dalam lawatan sebelumnya ke Eropa, kunjungan Jokowi waktu itu memang ditujukan untuk mengundang investor datang ke Indonesia. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengungkap rencana Inggris menanamkan modal besar-besaran di Indonesia setelah Presiden Joko Widodo berkunjung ke Uni Eropa bulan lalu. Presiden Jokowi menemui Perdana Menteri Kerajaan Inggris David Cameron di Kawasan Downing Street 10, London. Salah satu agenda dalam pertemuan tersebut adalah penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara pemerintah Indonesia dan Inggris. Kini, Inggris merupakan negara terbesar kelima yang berinvestasi di Indonesia.

Dari empat negara yang dikunjungi, tiga di antaranya, yakni Belanda, Inggris, dan Jerman, berminat menanam modal di Indonesia. "Inggris paling menonjol," ujar Kepala BKPM Franky Sibarani di kantor BKPM, Jakarta, 25/4/2016.

Menurut Franky, hasil kunjungan ke Inggris jauh lebih besar dan matang. Ada 10-13 negosiasi bisnis yang dihasilkan. Di antaranya Unilever yang akan berinvestasi di proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan perusahaan farmasi Glaxo Smithkline (GSK). Total nilainya sekitar US$ 19,02 miliar.

Franky memperkirakan, investasi yang bisa didapat Indonesia dari ketiga negara itu US$ 20,5 miliar. Selain US$ 19,02 miliar dari Inggris, Jerman akan menginvestasikan US$ 875 juta dan Belanda US$ 604,2 juta.

Pernyataan tertulis Tim Komunikasi Presiden (TKP) menyebutkan, pada kesempatan itu kedua pemimpin menyaksikan penandatanganan Nota Kesepahaman sebagai wujud komitmen kedua negara memperkokoh kerja sama di bidang industri kreatif. Dalam memperkokoh kerja sama kedua negara, telah ditandatangani MoU yang dilakukan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Kepala Bekraf Triawan Munaf, Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk dengan mitranya di Inggris.

Ada pun dokumen yang ditanda tangani terdiri atas MoU on Tertiary Education, MoU Concerning Information and Experience Sharing on Hosting Sports Events, MoU on Creative Industries, dan MoU Implementing Agreement on Marine Affair and Fisheries, serta MoU antara PT Garuda Indonesia Tbk dan Airbus.

 

Logika Jungkir Balik

Pemerintah berkeyakinan masuknya investasi asing termasuk Inggris akan membangkitkan ekonomi negara dan rakyat tambah sejahtera. Tapi anehnya, ketika hampir 70 persen kekayaan alam dikuasai asing, rakyat tak menikmati keuntungan dari pengelolaan alam itu.

Kekayaan negara ini di seluruh lininya itu memang sudah dikuasai penanaman modal asing.  Sehingga ekonomi Indonesia secara keseluruhan dari hulu sampai hilirnya adalah ekonomi bangsa lain. Dengan demikian PDB Indonesia, tidak lain adalah produk domestik bruto bangsa lain, bukan PDB riil rakyat.

Di bawah neoliberalisme, ekonomi dunia tidaklah berkembang lebih cepat dalam hal-hal yang riil; justru terjadi lebih banyak ketakstabilan, spekulasi, utang luar negeri dan pertukaran yang tidak adil. Begitu juga, terdapat kecenderungan lebih besar bagi lebih sering terjadinya krisis finansial, sementara kemiskinan, ketaksamaan dan jurang antara negeri Utara yang kaya dan negeri Selatan yang jadi korban penjarahan terus melebar.

Krisis, ketakstabilan, gejolak dan ketakpastian merupakan kata-kata yang paling umum digunakan pasca 1997 untuk menggambarkan tatanan ekonomi dunia. Deregulasi yang menyertai neoliberalisme dan liberalisasi rekening kapital memberikan dampak negatif yang mendalam terhadap ekonomi dunia di mana berkembang subur spekulasi mata-uang asing dan pasar derivativ; sementara transaksi harian yang kebanyakan spekulatif, besarnya tak kurang dari 3 trilyun dolar AS.

Bahayanya adalah secara ideologis, haluan ekonomi dan politik Negara ini sudah mengabdi kepada kepentingan bangsa lain. Tapi dengan keadaan sekarang, maka ekonomi kita itu mengabdi kepada kepentingan bangsa lain, seperti Inggris sekarang ini.

Sedangkan secara ekonomi adalah  ekonomi yang dihiitung tiada lain adalah ekonomi bangsa lain. Sehingga perhitungan PDB Indonesia sejatinya hanya menghitung dari produksinya orang-orang asing yang beroperasi di Indonesia. Tidak mencerminkan produksi bangsa sendiri.

Jadi secara bernegara, berkonstitusi hanya menyediakan suatu ruang, bahkan dalam bentuk yang paling asli, system kapitalisme di Indonesia menyediakan tanah, gedung, jalan, infrastruktur, dan segala macamnya yang ada di negeri ini, semata-mata untuk memfasilitasi bangsa lain untuk mengeruk kekayaan negara kita.

Sedangkan secara kebudayaan, kita semakin tenggelam, kehilangan identitas, semakin tidak mempunyai hak atas bumi yang kita pijak sendiri, terhadap tradisi kita sendiri. Dan lama-lama konsepsi dan ciri-ciri kita bernegara itu hilang, tidak ada.

Paradoks

Dalam atmosfir peradaban kapitalisme, pergerakan kapital jangka-pendek selalu terjebak dalam turbulensi membuat negeri-negeri berkembang , termasuk Indonesia rentan terhadap ancaman di kini dan masa depan. Dunia Ketiga dipaksa untuk menahan sumber daya finansialnya dan semakin banyak berhutang untuk mempertahankan cadangan devisa mata uang asing dengan harapan dapat digunakan untuk bertahan dari serangan spekulator. Sebesar 20% pemasukan kapital dalam beberapa tahun belakangan ditahan sebagai cadangan devisa tapi mereka tidak cukup untuk mempertahankan diri dari serangan-serangan tersebut sebagaimana dibuktikan dalam krisis finansial baru-baru ini di Asia Tenggara.

Saat ini, cadangan devisa Bank-bank Sentral di dunia sebesar 727 milyar dolar AS berada di Amerika Serikat. Ini menciptakan paradoks bahwa dengan cadangan devisanya, negeri-negeri miskin memberikan pendanaan murah berjangka-panjang kepada negeri terkaya dan terkuat di dunia, padahal cadangan devisa tersebut dapat diinvestasikan dalam pembangunan ekonomi dan sosial.

Sekarang, perusahaan-perusahaan asing, mendapatkan kontrak untuk melakukan eksploitasi kekayaan alam di Indonesia. mereka punya uang? Tidak. Lantas apa yang mereka lakukan? Kekayaan alam kita itu langsung mereka jaminkan kepada bank-bank internasional untuk mendapatkan uang.

Tanah kita digadaikan oleh perusahaan swasta dan asing. Masuknya modal besar-besaran adalah alasan palsu untuk menipu rakyat. Itulah konsekuensi kalau negeri ini menyerahkan sektor ekonomi kita kepada swasta khususnya swasta asing.

Berpuluh-puluh tahun kita diberikan janji manis demokrasi bahwa suatu hari nanti tidak akan ada lagi jurang antara negeri-negeri maju, terbelakang dan berkembang. Kita dijanjikan roti dan keadilan kapitalisme; tapi hari ini kita memiliki semakin sedikit roti dan semakin banyak penindasan. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version