Oleh: Niswah Silmi Fatimah
(Mahasiswa Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya)
Beberapa waktu yang lalu tepatnya pada akhir April 2016, berita luar negeri ramai membicarakan tentang pengeboman yang terjadi di Aleppo, Suriah. Berita tentang pemboman pada suatu rumah sakit rujukan di Kota Aleppo tersebut mengabarkan telah menewaskan sedikitnya 60 orang, pada rangkaian penyerangan dalam sepekan totalnya telah menewaskan kurang lebih 200 orang.
Dalam pengeboman Rumah Sakit Al-Quds tersebut, tiga dokter juga turut kehilangan nyawanya. Ini bukanlah kali pertama sebuah fasilitas umum yang menjadi target penyerangan rezim Suriah yang dipimpin oleh Presiden Suriah, Bashar al Assad. Pada Bulan September 2015, rezim Assad juga telah melancarkan serangan bom ke pasar al-Shaar yang berada di wilayah utara Aleppo. Dalam insiden itu, tercatat 32 warga sipil tewas.
Perang saudara yang terjadi di Suriah, antara pihak oposisi yang tidak puas terhadap 4 tahun pemerintahan presiden Assad ini sudah terjadi sejak tahun 2011, dan hingga sekarang belum ada kontribusi nyata dari berbagai negara di dunia (termasuk Persarikatan Bangsa-Bangsa [PBB]) yang mampu mendamaikan kedua belah pihak. Sudah 5 tahun berlalu dan kontribusi yang mampu diberikan hanya sebatas pada kecaman-kecaman, kutukan, maupun bantuan kemanusiaan yang tak mampu menyelesaikan peperangan saudara tersebut.
Berbagai cara lain yang ditempuh seperti perundingan perdamaian antara kedua belah pihak, gencatan senjata, dan lain-lain juga belum membuahkan hasil. Pada Februari 2016, Dewan Keamanan PBB telah menyeru Rusia untuk menghentikan pengeboman pada kota Aleppo. Pada fakta yang satu ini, nampak bahwa simpati dan empati dunia tidaklah pada satu suara, yaitu untuk membela hak-hak kehidupan bagi warga sipil di Suriah yang sampai saat ini masih diabaikan oleh pemerintahnya sendiri.
Sebenarnya, konflik pelik pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) secara massif atau besar-besaran yang termanifestasi sebagai peperangan baik dalam suatu negara maupun antarnegara seperti pada konflik Suriah ini bukanlah satu-satunya benang merah dalam permasalahan perdamaian dunia. Konflik Israel-Palestina, yang juga telah berlangsung amat lama juga menjadi wajah buruk bagi kemampuan PBB dalam menjaga perdamaian antarberbagai negara di dunia. Perbedaan suara dalam berbagai negara adidaya dan non adidaya pun turut memberikan andil. Pada dasarnya, memang mewujudkan suatu dunia yang aman, tentram, dan damai tidak akan bisa bila hanya mengandalkan bantuan organisasi seperti PBB semata, yang anggota-anggotanya juga merupakan wakil dari berbagai negara dengan berbagai kepentingan.
Seringkali kepentingan-kepentingan tersebut layaknya benda dan refleksi bayangannya pada sebuah cermin datar, memang nampaknya sama namun sebenarnya bertolak belakang atau berkebalikan. Untuk itu, keterlibatan suatu negara yang mampu mengayomi dan memimpin suara negara-negara yang lain sangat diperlukan. Pada masa ini, yang menjadi negara adidaya ialah Amerika Serikat, dengan bantuan berbagai negara maju di Eropa, seperti Jerman, Inggris, Selandia Baru, dan lain-lain. “Memimpin” di atas bukanlah sekedar memimpin dalam pengambilan suara terbanyak, namun juga mampu bertindak tegas terhadap negara-negara yang melanggar aturan perdamaian yang telah disepakati, bukan hanya mengecam namun juga berani melancarkan serangan balasan sebagai sebuah peringatan, bukan hanya mengutuk, namun juga mampu untuk memaksa kedua belah pihak untuk saling bergencat senjata dan merundingkan perdamaian.
Tentunya, negara pemimpin yang mampu mewujudkan perdamaian bukanlah negara dengan ideologi sembarangan, bukanlah negara yang dalam mengurusi umat atau rakyatnya masih banyak keteledoran (kesejahterahan yang rendah, tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, tingginya angka kriminalitas, kurangnya moral masyarakatnya, dan segudang masalah lainnya). Negara pemimpin yang dimaksud adalah Khilafah Islamiyah, yang mungkin saat ini mulai marak disebarluaskan. Khilafah Islamiyah pasti (telah dikabarkan oleh Rasul dan Allah, Tuhan semesta alam) mampu menstabilkan keadaan dunia dengan kestabilan di bidang perekonomian (dari sini akan mencegah neo-imperialisme/penjajahan model baru dengan eksploitasi berbagai sumber daya alam negara lain), teknologi, politik, sosial, dan pendidikan.
Tentunya, pandangan tentang Khilafah Islamiyah sudah harus dibedakan dengan pandangan pragmatis yang mengkaitkannya dengan ISIS. Karena pada dasarnya kedua hal tersebut sangat berbeda. Untuk mengetahui apa saja yang mampu dicapai pada masa Khilafah Islamiyah, bisa dilihat pada sejarah ke-Khalifahan Bani Umayyah, Abbasiyah, dan lain-lain, atau yang dalam sejarah dunia dikatakan sebagai Kekaisaran Turki Usmaniyah. Sampai sini, keterbukaan pemikiran setiap pembaca sangat diperlukan, penilaian secara pragmatis pun untuk sementara perlu dikesampingkan.
Pada era yang sangat marak digembar-gemborkan berbagai upaya perlindungan HAM ini, ternyata masih banyak pelanggaran HAM yang justru masih belum dapat diselesaikan. Berbagai upaya sudah dilakukan, namun masih belum menuai hasil. Solusi yang dapat ditawarkan ialah dunia ini membutuhkan peran suatu negara “pemimpin” yang mampu mengatasi berbagai konflik pelik dunia, negara tersebut adalah Khilafah Islamiyah yang menggunakan syariat Islam sebagai dasar negara & rambu-rambu untuk mengatur seluruh urusan masyarakat. Wallah a’lam bi ash-shawab. [syahid/voa-islam.com]