Oleh: Umar Syarifudin (Pengamat Politik Internasional)
Perkembangan terbaru di Suriah menyusul peran aktif Rusia, nampaknya tidak bisa dilepaskan dari pola perubahan dan pergerakan geopolitik Rusia. Sehingga pada gilirannya telah menciptakan transformasi Politik Luar Negeri yang cukup mendasar pada pasca Perang Dingin. permainan catur politik internasional Rusia, nampaknya dua tiga langkah lebih maju dibandingkan AS dan NATO.
Presiden Rusia Vladimir Putin secara taktis melancarkan kombinasi antara Perang Simetris (Militer) dan Perang Asimetris (Nir Militer) di Suriah, sebagai landasan awal menyusun aliansi strategis baru di Timur Tengah, seraya mematahkan sistem Unipolar AS yang dirancang sejak Pasca Perang Dingin, baik di Eropa maupun di berbagai kawasan lain.
Berbicara mengenai transformasi politik luar negeri Rusia, berarti kita bicara mengenai Doktrin Primakov, sebuah cetak biru politik luar negeri Rusia yang disusun oleh mantan Perdana Menteri Rusia Yevgeny Maksimovich Primakov. Menurut doktrin ini, aliansi strategis yang diperlukan agar Rusia bisa menjadi kekuatan penyeimbang dalam konstalasi global, terutama untuk mengimbangi pengaruh Amerika Serikat dan Eropa Barat, maka perlu dibentuk poros Moskwa, Beijing dan New Delhi (Rusia, Cina dan India). Oleh Primakov doktrin ini disebut Strategic Triangle.
Memang doktrin ini disusun dalam kerangka untuk membangun aliansi antara Rusia dan negara-negara di Asia Pasifik. Namun Doktrin Primakov ini juga sebagai landasan bagi Rusia untuk membangun aliansi strategis dengan negara-negara dari kawasan lain termasuk di Timur Tengah.
Lepas dari prioritas Rusia untuk membangun aliansi strategis dengan Cina dan India, namun gagasan strategis Rusia melalui Doktrin Primakov adalah bagaimana agar Rusia bersama-sama dengan sekutu-sekutu strategisnya, bisa melumpuhkan konservatisme trans-atlantik di masa depan.
Upaya yang dicanangkan Rusia untuk melumpuhkan konservatisme yang melandasi persekutuan antara AS dan negara-negara Eropa Barat yang tergabung dalam NATO, maka secara tersirat Rusia bermaksud mematahkan skema Kutub Tunggal/MonoPolar yang didominasi oleh AS dan Uni Eropa. Pada tataran inilah,maka persekutuan Rusia dengan Cina menjadi satu hal yang cukup strategis.
Itu sebabnya mengapa pada 2001 lalu Rusia kemudian menjalin komitmen bersama Cina melalui Shanghai Cooperation Organization (SCO). SCO dipandang Rusia sebagai saluran atau kran untuk mengeluarkan atau membebaskan Rusia dari kepungan negara-negara barat. Baik dari Amerika maupun Uni Eropa. Sebagaimana kita ketahui, dari arah barat, Rusia menghadapi rudal yang dipasang pihak Eropa Barat dari Polandia dan Chech.
Selain itu, Rusia memang punya visi Timur. Karena itu Cina harus jadi agenda pokok untuk membangun aliansi. Cina memang musuh masa lalu Rusia, tapi juga bisa jadi kawan masa kini. Inilah gunanya kesepakatan strategis Rusia-Cina melalui SCO.
Dalam kasus Suriah ini, terbukti bahwa dalam manuver Rusia menggempur basis-basis milisi ISIS di Suriah, Cina mendukung sepenuhnya langkah yang diambil oleh Rusia. Sehingga tercipta keseimbangan antar kekuatan-kekuatan global yang bermain di Suriah, sehingga Presiden Assad berhasil membendung skenario AS dan milisi-milisi anti-Assad yang bermaksud merebut kedaulatan nasional Suriah dengan dalih membantu penggulingan Assad dari tampuk kekuasaan. Sehingga solusi politik krisis Suriah tidak melibatkan Assad di dalamnya. Dengan terciptanya keseimbangan baru di Suriah, skenario AS dan NATO praktis berhasil digagalkan.
Sejak kepemimpinan Presiden Putin, nampaknya terlah terjadi revitalisasi politik luar negeri beruang merah tersebut. Sejak Vladimir Putin tampil sebagai presiden, Rusia berhasil merobah 180 derajat, dari keterpurukan pasca runtuhnya Uni Soviet pada 1989, kembali jadi negara adidaya. Sehingga Rusia secara tegas tak akan bersedia melepaskan negara Turkistan, Kazakhtan, Kirgistan, dan sebagainya, yang kita tahu berada di kawasan Asia Tengah. Rusia juga tidak mau melepaskan pengaruhnya di semua sektor, termasuk energi dan pangan, di kawasan Caucasus seperti Azerbaijan, Armenia dan Georgia. Itulah sebabnya Rusia tetap menjalin kedekatan dengan negara-negara mantan satelitnya, termasuk Cina.
Apalagi, Presiden Putin menekankan tiga pilar diplomasi Rusia. Pertama, Kekuatan militer. Kedua, Ilmu dan Teknologi, termasuk industri. Dan Ketiga adalah energi.
Dengan tiga pilar diplomasi ini, Putin yakin bisa kembali menjadi negara adidaya. Karena di era Perang Dingin, sebenarnya Rusia bukan negara superpower yang sebenarnya karena secara ekonomi Rusia masih lemah. Meski secara militer dan persenjataan Rusia memang termasuk negara superpower. Itulah sebabnya Rusia ingin mengembalikan kejayaannya seperti di masa silam. Tidak saja di sektor militer, melainkan juga di bidang industri dan Ilmu Pengetahuan.
Bagi Putin dan para “pemangku kepentingan” kebijakan luar negeri Rusia, sejak runtuhnya Tembok Berlin dan berakhirnya Perang Dingin yang ditandai dengan runtuhnyta rezim-rezim komunis di Eropa Timur sejak 189-1990, Rusia memang merasa terkepung oleh negara-negara Eropa Barat. Sehingga Rusia merasa AS dan sekutu-sekutu baratnya, sedang menggunakan momentum keruntuhan-keruntuhan Eropa Timur untuk membangun sebuah kutub tunggal atau Unipolar.
Pada bulan-bulan sesudah runtuhnya Tembok Berlin dan bersatunya kembali Jerman Barat dan Jerman Timur, Amerika Serikat dan Uni Soviet dan Jerman Barat terlibat dalam serangkaian perundingan tentang penarikan mundur pasukan Soviet dari wilayah Jerman Timur menysul penyatuan kembali Jerman.
Rusia mengklaim, pada waktu itu ada kesepakatan dengan pihak barat bahwa sebagai kompensasi atas penarikan pasukan Rusia, pihak barat berjanji tidak akan memperluas keanggotaan NATO. Bahkan para pejabat AS yang bekerjasama erat dengan para pemimpin Jerman Timur, mengisyaratkan tidak akan diperluas ke paruh bagian timur dari wilayah yang kemudian menjadi Jerman bersatu. Janji “tersirat” dari para pejabat AS dan Jerman Barat inilah yang oleh Rusia dipegang sebagai kompensasi. Sehingga waktu itu Rusia tidak menghambat reunifikasi Jerman.
Namun janji itu menurut Moskwa, kemudian dilanggar oleh pihak barat. NATO justru memperluas keanggotaannya dengan merangkul 12 negara Eropa Timur bekas komunis dalam tiga babak perluasan. Langkah ini tentu saja dipandang Moskwa sebagai upaya menyudutkan dan mengepung Rusia.
Pihak AS tentu saja membantah klaim Rusia ini. Namun seiring perkembanna waktu, dan dengan boleh dibukanya berbagai dokumen rahasia era 1989-1990 saat ini kepada publik, para sejarawan kiranya bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi waktu itu.
Yang jelas, tren ke ara Kutub Tunggal atau Unipolar yang dirancang oleh AS dan beberapa negara Eropa Barat, nampaknya memang dirasakan betul oleh Presiden Putin dan para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri Rusia.
Satu artikel yang diterbitkan harian Izvestia pada 4 Oktober 2011, Putin membuat gagasan politik kawasan yang baru. Mantan petinggi penting dinas rahasia Soviet, KGB, dan dinas rahasia Rusia, FSB, ini menyerukan pembentukan “Uni-Eurasia”. Dalam artikel tersebut, Putin menguraikan sebuah proyek besar untuk mengintegrasikan negara-negara pecahan Soviet menjadi sebuah kerja sama yang lebih erat. Gagasan itu, menurut Putin, bukan untuk menciptakan kembali Uni Soviet dalam bentuk lain. Tetapi, sebuah proyek untuk menggabungkan modal manusia dan ekonomi dari para anggotanya demi “menjamin stabilitas perkembangan global.”
Dalam pidatonya di depan peserta diskusi pada Konferensi Munich tentang Kebijakan Keamanan pada 10 Februari 2007, Putin berkata:
“Dunia unipolar yang dicanangkan Setelah Perang Dingin pun tidak terjadi. Sejarah kemanusiaan telah melewati periode unipolar dan melihat aspirasi-aspirasi menuju supremasi dunia. Lalu apa saja yang belum pernah terjadi ndalam sejarah manusia?" Namun, apakah yang dimaksud dengan dunia unipolar? Sebagus apapun istilah ini diperindah, pada akhirnya kata itu mengacu pada satu jenis situasi, yaitu satu pusat kewenangan, satu pusat kekuatan, dan satu pusat pengambilan keputusan.
Ini adalah dunia yang hanya ada satu penguasa, satu kedaulatan. Dan pada akhirnya hal ini jelas berbahaya tidak hanya bagi setiap pihak yang berada dalam sistem tersebut, tapi juga kedaulatan itu sendiri sebab ia merusak dari dalam. Dan hal semacam ini jelas tidak ada kesamaan apapun dengan demokrasi. Karena, seperti yang anda ketahui, demokrasi adalah kekuatan mayoritas dengan mempertimbangkan kepentingan dan pendapat minoritas.
Secara kebetulan, Rusia, kami, secara terus-menerus diajari tentang demokrasi. Tapi, entah kenapa mereka sendiri, yang mengajari kami, tidak mau mempelajarinya. Saya pikir model unipolar ini bukan hanya tidak dapat diterima namun juga mustahil di di dunia saat ini. “
Putin yang pernah menjadi direktur KGB pada saat Uni Soviet, merindukan kembali peran internasional yang menonjol yang dulu dimiliki oleh Uni Soviet bersama Amerika. Karena itu ia setuju melakukan peran permusuhan jahat di Suriah untuk kepentingan Amerika dengan mengokohkan pemerintahan Bashar sampai Amerika menemukan pengganti Bashar. Sebelumnya pemerintahan Bashar hampir tumbang. Amerika khawatir kekosongan pasca tumbangnya Bashar itu akan diisi oleh kekuaan islami yang mukhlis. Putin beranggapan bahwa dengan melayani Amerika di Suriah akan meredakan reaksi Amerika atas Rusia terkait problem perbatasan selatan Rusia di Crimea dan seputar Ukraina.
Peran aktif yang dimainkan Rusia baik secara militer maupun politik untuk menjadi pemenang dalam Krisis Suriah, bisa jadi momentum awal Rusia memotori gerakan untuk mematahkan skema Unipolar AS dan Eropa Barat. Tidak saja di kawasan Eropa, melainkan juga di kawasan-kawasan lain seperti Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara.
Yang perlu digarisbawahi, intervensi Rusia di Suriah dalam memerangi kaum Muslim, dengan pertolongan Allah SWT, akan membuat Rusia merasakan bencana dan malapetaka yang terjadi bersama dengan problem-problem Ukraina, ditambah titik di lautan kemarahan kaum Muslim terhadap Rusia. Sungguh, hari esok bagi orang yang menunggunya adalah dekat. Ini dari satu sisi. Apapun strategi yang dirancang terhadap umat Islam, Rusia kini sedang merajut tali kejahatan terhadap warga Syam. [syahid/voa-islam.com]