Oleh: Umar Syarifudin (Pengamat Politik Internasional)
Konflik antara polisi dan warga berkulit hitam sering menjadi topik bahasan di AS. Sejumlah warga kulit putih masih kerap menaruh prasangka buruk terhadap warga hitam. Dalam hal ini, warga kulit hitam sering dicap sebagai pelaku kejahatan, di antaranya terlibat dalam jaringan peredaran narkoba dan kasus pencurian. Padahal, kejahatan yang sama juga dilakukan kulit putih dan warga lainnya.
Yang menjadi persoalan biasanya adalah bagaimana sistem peradilan di AS secara keseluruhan memperlakukan orang berkulit hitam. Sering kali polisi mencari setiap orang berkulit hitam dengan celana menggantung dan menganggap mereka tersangka. Polisi menghentikan mereka tanpa alasan.
Angka yang dirilis Bureau of Justice Statistics, sedikitnya 400 orang tewas setiap tahun ketika ditangkap polisi dan 6 dari 10 kematian itu karena pembunuhan. Tidak sedikit kasus yang menyisakan pertanyaan. Kasus-kasus rasial antara warga berkulit putih dan berkulit hitam masih terus terjadi di AS meskipun negara demokrasi ini dipimpin seorang presiden berkulit hitam. Kondisi ini menunjukkan bahwa perilaku diskriminasi masih belum dapat dihapuskan dari negeri ini.
Baru-baru ini Palang Merah Amerika mengeluarkan permintaan maaf atas poster yang dianggap rasial. Poster tersebut berisi keselamatan di kolam renang yang menampilkan anak kulit putih dan anak kulit hitam. "Kami sangat meminta maaf atas kesalahpahaman karena itu benar-benar bukan niat kamu untuk meyinggung siapa pun," kata kelompok bantuan itu dalam sebuah pernyataan, Senin (27/6) dilansir dari Anadolu Agency.
Poster kartun itu menggambarkan kolam renang dikelilingi anak-anak. Poster tersebut menjelaskan perilaku tidak aman sebagai 'tidak keren' dan sebaliknya. Hampir semua anak-anak kult putih diberi label 'keren' sementara anak-anak kulit hitam pada poster ditempatkan dalam kategori 'tidak keren'. Unggahan poster tersebut menyebabkan gelombang reaksi di media sosial. Beberapa pengguna media sosial menyebutnya rasial. Fakta ini sebagai fenomena gunung es tentang krisis rasial yang menjadi api dalam sekam di AS.
Sebuah fakta empiris di sebuah kampiun demokrasi, diskriminasi di pasar tenaga kerja AS berlangsung hampir secara sistematis. Tingkat pengangguran masyarakat kulit hitam sejak 50 tahun adalah dua kali lipat lebih tinggi ketimbang warga kulit putih. Mirisnya jumlah tersebut tidak berubah terlepas dari pertumbuhan ekonomi atau perubahan pada tingkat pengagguran secara umum.
Pengucilan adalah keseharian pada sistem pendidikan AS. Hampir 40 persen bocah kulit hitam menempuh pendidikan di sekolah-sekolah yang juga didominasi oleh murid Afro-Amerika. Jumlah ini banyak berkurang ketimbang tahun 1968 yang mencatat angka 68%. Tidak berubah adalah fakta bahwa tigaperempat bocah kulit hitam belajar di sekolah yang lebih dari 50% muridnya non kulit putih.
Lebih dari 50% warga kulit hitam Amerika Serikat menyebut empat hal sebagai ladang diskriminasi, yakni perlakuan aparat kepolisian, pekerjaan, pengadilan dan sekolah. Sementara pada warga kulit putih jumlahnya kurang dari 30 persen. Secara keseluruhan penduduk Afro-Amerika meyakini adanya praktik diskriminasi berbau rasisme terhadap mereka, entah itu di restoran atau rumah sakit.
Menurut catatan tahun 2012, cuma 21 persen warga Afro-Amerika yang memiliki ijazah universitas. Sementara warga kulit putih mencatat angka 34 persen. Secara ironis Departemen Pendidikan AS mengeluarkan statistik 2009 lalu, bahwa untuk pertamakalinya terdapat lebih banyak pemuda kulit hitam yang sedang berkuliah ketimbang mendekam di penjara.
Tak bisa disangkal prasangka ras telah membutakan pandangan dan pikiran seseorang terhadap fakta. Ditambah lagi ketimpangan secara ekonomi antara kedua ras memperparah hubungan antar ras di AS, khususnya antara warga kulit hitam dan putih. Ini membuat penyelesaian masalah rasisme menjadi tak mudah. AS yang dianggap sebagai pengekspor demokrasi dan gerakan hak-hak sipil pun tak kuasa menghadapi kasus diskriminasi di dalam negeri.
Walau Obama memberikan pidato tentang konflik antar ras. Maka ini sebuah pidato, yang tidak menyelesaikan masalah dalam sehari, juga tak bisa mengubah AS dan dunia. Pada intinya, selama masalah ketimpangan ekonomi dan sosial yang disuburkan demokrasi tak dihapuskan, konflik rasial tak akan pernah hilang. Kalau saat ini pemicunya adalah kasus di poster rasial, maka di masa depan, kasus-kasus serupa lainnya juga bisa kembali memicu ledakan konflik rasial yang bisa lebih parah. Seperti api dalam sekam, bisa terbakar kapan saja.