View Full Version
Kamis, 21 Jul 2016

Kekuatan Apa yang Mampu Membendung Imperialisme AS?

Oleh: Umar Syarifudin (Praktisi Politik)

Selain problem akan tegaknya Khilafah Islamiyah yang hakiki yang menyatukan kekuatan umat Islam, masalah-masalah yang juga menjadi problem strategis bagi Amerika Serikat dan seluruh Negara kapitalis barat dan Timur antara lain, konflik Laut Cina Selatan, ketidakstabilan politik di kawasan Timur Tengah dll (the influenced of USA at strategic problem (South China Sea, political uncertainty at Middle East etc).

Secara khusus, kekuatan yang dimiliki Amerika Serikat antara lain, AS memiliki Expeditionary Strike Group (ESG) dan Amphibious Ready Group (ARG) dalam rangka merespons situasi tidak stabil khususnya di kawasan Timur Indonesia, Papua (USA have a Expeditionary Strike Group (ESG) and Amphibious Ready Group (ARG) to quick responses instability situation specially at Eastern Indonesia, Freeport at Papua), dengan jumlah penduduk AS yang mencapai 5% dari total populasi penduduk dunia dan AS yang tetap memproduksi 25% dari total GDP dunia, maka AS masih tetap melanjutkan dominasinya dalam bidang politik, diplomasi, ekonomi, perdagangan, keuangan dan komunikasi di tingkat internasional (With 5 percent of the world’s population and still producing 25 percent of the world’s GDP, the US continues to dominate international standards in politics, diplomacy, economics, trade, finance and communications).

Ya, politik minyak masih menjadi jalan bagi imperialism AS secara soft power maupun hard power. Emily Spence, penulis “Massachusetts-based” yang juga aktif dalam gerakan hak asasi manusia, lingkungan, dan pelayanan sosial, meyakini seperti halnya banyak orang, bahwa AS mengincar minyak Irak ketika menyerang negara itu pada tahun 2003.“Militer AS … memiliki sekitar 1.000 pangkalan di seluruh dunia … yang biasanya terkait dengan kepentingan perusahaan minyak,” tulis Spence dalam sebuah artikel yang pernah dipublikasikan di situs Information Clearing House.

Minyak sebagaimana sumber energi lain, seperti hidrogen, misalnya, merupakan sumber energi yang terbatas. Manusia telah mengeksploitasi sumber energi minyak ini lebih dari seratus tahun. Namun ada sisi lain yang diungkap Guildford (1973) mengenai politik minyak Amerika Serikat, ia mengungkapkan, bahwa bila berbicara masalah dunia perminyakan maka nuansa politiknya sebesar 90%  sedang sisa 10% berbicara tentang minyak itu sendiri. Artinya, jika dibolehkan menafsir ungkapan Guildford tadi bahwa data dan informasi terkait hal-hal teknis perminyakan kemungkinan ditemui banyak dark number (penggelapan data) sesuai keinginan dan kepentingan politik di atasnya.

Buku berjudul The Geopolitics of Superpower-nya Colin S. Gray mengawali kajian “kapling-kapling dunia” berbasis geostrategi dalam politik global. Bermula abad ke 19 muncul Sir Halford Mackinder dari Inggris yang mengklasifikasikan dunia menjadi empat kawasan. Kawasan pertama Heartland atau World Island: mencakup Asia Tengah dan Timur Tengah (World Island); kawasan kedua disebut Marginal Lands: mencakup kawasan Eropa Barat, Asia Selatan, sebagian Asia Tenggara dan sebagian besar daratan Cina; kawasan ketiga dinamai Desert adalah wilayah Afrika Utara, dan kawasan terakhir adalah Island or Outer Continents: meliputi Benua Amerika, Afrika Selatan, Asia Tenggara dan Australia.

Mackinder di awal tesisnya menyebut sebagai Heartland yang meliputi kawasan Timur Tengah dan Asia Tengah nan kaya kandungan sumberdaya alam dan ragam mineral, maka siapapun menguasai kawasan tersebut bakal menuju “Global Imperium” sesuai rekomendasi dibuatnya. Negeri ini kebanyakan makmur lagi kaya raya karena faktor alam dan lingkungan. Berbagai kemudahan dalam dinamika global dipetik karena sejarah masa lalu.

Massifnya penjualan alat dan persenjataan militer oleh Barat di Timur Tengah dan kawasan sekitar, motivasi utamanya selain sebagai pembayaran impor minyak (oil bills) juga untuk mendukung industri pertahanannya. Henry Kissinger mengistilahkan recycle petrodollar. Menjual senjata untuk memberli minyak, lalu minyak guna kesinambungan industri senjata. Itulah kira-kira singkatnya. Dengan demikian, “cengkraman” kepada Timur Tengah oleh AS hingga kini, atau dominasi Uni Eropa (NATO) terhadap Afrika, baik melalui recycle petrodollar ataupun arm sales and security assistance dengan berbagai cara dan bentuk kemasan, semata-mata karena panggilan kepentingan nasional (minyak) yang teramat vital bagi kelangsungan kehidupan di Barat.

Selain itu demokrasi oleh Barat sebagai propaganda di segala lini agar rakyat suatu negara bergejolak. Euphoria demokrasi liberal ditabur, baik oleh individu (sosok pakar), melalui media massa, organisasi massa (ormas) maupun lembaga swadaya (LSM) mengabdi pada kepentingan asing. Mereka dipakai untuk mengokohkan imperialisme si majikan. Demokrasi yang selama ini dipercaya sebagai sistem politik terbaik, yang akan mewadahi aspirasi rakyat, pada kenyataannya bohong belaka.

Mulusnya intervensi asing ini tidak bisa dilepaskan dari sikap lemah pemerintah di negeri Islam, termasuk kasus Timor Timur dan Sudan, maupun ancaman disintegrasi Papua. Alih-alih menjaga diri dari intervensi asing, penguasa di negeri-negeri muslim justru memberikan andil besar dengan tunduknya mereka kepada pihak asing. Penguasa negeri Islam ini juga telah menciptakan kondisi awal (pretext) bagi Barat untuk melakukan intervensi asing. Sikap represif terhadap rakyat dan kegagalan mensejahterakan rakyat sering dijadikan oleh pihak asing sebagai bentuk pelanggaran HAM. Ketidakadilan ini juga membuat Barat untuk merekayasa tuntutan untuk memisahkan diri atau memberontak semakin membesar.

Ketiadaan Khilafah Islam lagi-lagi menjadi pangkal utama semua ini. Potensi pemberontakan atau pemisahkan diri akan kecil di bawah sistem Khilafah yang akan memperhatikan rakyatnya. Demikian juga non-Muslim, akan diperlakukan secara adil. Mereka berkedudukan sama dengan Muslim yang menjadi warga negara Daulah Khilafah Islam.

Negara wajib menjamin kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan papan) mereka; termasuk menjamin pendidikan, kesehatan dan keamanan gratis. Yang lebih penting lagi, negara Khilafah tidak akan memberikan peluang bagi asing walaupun sedikit untuk melakukan intervensi.Benar, khilafahlah yang akan sanggup membendung arus neoliberalisme dan imperialisme yang terbukti membahayakan semua negeri. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version