Oleh
Harits Abu Ulya*
PASCA bom bunuh diri di Mapolresta Solo dan tewasnya Santoso alias Abu Wardah di Poso meresonansi dinamika pembahasan revisi UU terorisme. Baik anggota pansus DPR RI maupun publik dihadapkan salah satu wacana yaitu perlunya keterlibatan TNI dalam porsi yang lebih dibandingkan seperti hari ini.
Dari pihak Polri melalui statemen terbuka, Kapolri Jendral Tito Karnavian mengisyaratkan ketidaksetujuannya keterlibatan TNI lebih dari porsi sekarang. Dalihnya potensi pelanggaran HAM, abusse of power sampai soal tidak terakomodir dalam criminal justice system mengingat terorisme adalah tindakan pidana yang dikatagorikan ekstraordinari crime.
Disisi lain, TNI sudah sejak lama memiliki satuan-satuan anti teror bahkan di setiap matra hal tersebut ada. Soal kemampuan pasukan antiterornya tidak perlu diragukan lagi. Namun demikian hari ini dihadapkan pada realitas dilematis. Ibaratnya TNI punya akal, mata, telinga, kaki, dan tangan tapi ia diikat dan di "penjara" oleh UU hingga terjadi pengerdilan sedemikian rupa tanpa di sadari dalam konteks keamanan dan pertahanan.
Pertanyaan publik kerap muncul; teroris model apa yang harus ditangani Polri dengan Densusnya dan teroris macam apa yang harus ditangani TNI dengan unit gultor-nya? Publik dibuat ambigu. Apakah ada jenis keberagaman terorisme yang dianggap mengancam keamanan bangsa dan negara ini?
Tidak ada salahnya kita belajar spesifik pada realitas empirik kasus Poso. Harusnya publik bisa berpikir kenapa perburuan Santoso cs berlarut-larut? Penyelesaian Poso sangat terkesan ada ego sektoral yang begitu kuat. Komitmen demi negara tidak menjadi prioritas, menyelesaikan Poso lebih condong seperti mengelola proyek keamanan dengan segala keuntungannya.
Maka seperti kasus Poso operasi gerilya ke depan sebaiknya tidak gabungan TNI Polri. Tapi berikan porsi untuk TNI yang lebih, karena dalam operasi gerilya ada tahapan-tahapan khusus beda dengan operasi biasa.
Dikebiri Polisi
Operasi gerilya namanya oli organisasi lawan insurgensi, itu yang tahu teknik dan taktiknya TNI wabil khusus TNI AD. Ops Camar Maleo dan Ops Tinombala butuh waktu lama karena sinergitas yang solid tidak optimal. Apalagi kemampuan personil non TNI untuk ops gunung sangat rendah sehingga banyak lubang tikus yang bisa ditembus kelompok Santoso selama pelariannya.
TNI hari ini telah mengalami transformasi yang luar biasa, tidak perlu trauma dengan masa lalu. Perlu di pertimbangkan dan dicoba untuk memberikan porsi yang tepat dan dituangkan dalam UU terorisme tentang peran TNI dalam menanggulangi aksi terorisme yang saat ini cenderung dikebiri Polisi.
Hanya perlu ada dewan pengawas yang betul-betul independen dan berintegritas untuk mampu kontrol penuh mulai dari hulu sampai hilir dari proyek kontra terorisme di Indonesia. Dengan demikian bisa meminimalisir kekawatiran adanya pelanggaran HAM dan sebagainya.
(Baca juga: Karena Doktrin Kill or to be Killed, Kapolri Tolak TNI Dilibatkan Penuh dalam Penanganan Terorisme)
Perlu diingat dan dicatat bahwa upaya penindakan hukum oleh Polisi juga kerap terjadinya pelanggaran HAM meski selama ini berusaha di tutupi. Paling tidak, kasus Siyono-Klaten adalah kunci kotak pandora persoalan tersebut.
Cobalah jujur dan berkaca terhadap 10 tahun terakhir upaya penindakan terhadap orang-orang yang terkait terorisme; berapa yang tewas diluar proses peradilan? Sudah lebih dari 130 orang. Berapa yang mengalami kekerasan fisik dan verbal ketika penindakan dan penyidikan? Hampir 90% semua orang yang ditangkap terkait terorisme mengalami keadaan seperti itu, penggunaan kekuatan yang berlebihan sering dilakukan Polisi.
Belum lagi soal perlakuan tidak sehat terhadap keluarga orang yang ditindak, intimidasi dan pembunuhan karakater kerap terjadi. Yang dikemudian hari fenomena tersebut secara laten telah meradikalisasi banyak kelompok bahkan akhirnya melahirkan dendam menjadi ideologi dari spiral kekerasan yang terus menggeliat.
Jadi soal terorisme tidak perlu menjadi domain dari Polri saja, keterlibatan TNI hanya perlu dibuatkan regulasi yang tepat dan availible agar tidak kontraptoduktif kedepannya.*Pengamat terorisme dan Direktur CIIA