Oleh: Zaqy Dafa (Peneliti Pemikiran Islam)
Ketiga, al-Mawardi menjelaskan bahwa al-imarah al-khasshah atau kekuasaan khusus baik regional maupun sektoral disyaratkan harus memenuhi persyaratan wazir tanfidz, namun dengan dua tambahan syarat yakni harus Muslim dan merdeka. (al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 54) Dengan ini maka jelas bahwa pemerintahan eksekutif daerah tidak boleh dijabat oleh non-Muslim dan terkuaklah kekeliruan dalil para pejuang pimpinan beda agama.
Pernyataan ulama lain sama dengan keterangan diatas. Al-Nawawi mengatakan bahwa mengangkat pejabat penarik iuran wajib dari non-Muslim jika ditujukan untuk masyarakat Muslim hukumnya tidak boleh. (Muhammad Syaraf al-Nawawi, Raudlah al-Thalibin, juz 6 hlm. 367)
Sebagai penutup topik ini, kami menegaskan Firman Allah Ta’ala:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا [النساء : 141]
“Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Nisa: 141)
Dan keterangan yang telah lewat sesuai dengan semangat ayat Al-Quran diatas. WaLlahu A’lam.
Ketiga: Umat Islam Wajib Patuh dan Membela Pemerintahan Non-Muslim (?)
Demikian pernyataan salah satu pejuang pimpinan beda agama dalam sebuah artikel di situs nasional. Penulis artikel tersebut menggunakan justifikasi keputusan Muktamar NU di Banjarmasin pada tahun 1936 yang mendasarkan pada keterangan kitab Bughyah al-Mustarsyidin.
“Sejauh tidak menganjurkan kemunkaran dan menghalangi hak umat Islam menjalankan ibadah, umat Islam wajib patuh dan bahkan membela pemerintahan non-Muslim jika ada serangan dari pihak luar. Hal ini diputuskan oleh Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1936. Rujukannya, waktu itu, kitab Bughyatul Mustarsyidin, karya Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Ba’lawi,” katanya. (muslimedianews.com)
Perlu diketahui, bahwa pernyataan pejuang pimpinan beda agama diatas berangkat dari keputusan Muktamar NU ke-11 tahun 1935 bahwa mempertahankan kawasan Indonesia hukumnya wajib bagi umat Islam karena statusnya adalah darul Islam (negara Islam), meskipun saat itu dikuasai oleh kerajaan Kristen Hindia Belanda. Keputusan ini didasarkan pada pernyataan Sayyid Abdurrahman Ba’alawi dalam Bughyah al-Mustarsyidin yang menyatakan Tanah Jawa adalah negara Islam karena pernah dikuasai oleh pemerintahan Islam dan mampu bertahan dari imperialisme pemerintahan non-Muslim selama berabad-abad.
(مسألة : ي) : كل محل قدر مسلم ساكن به على الامتناع من الحربيين في زمن من الأزمان يصير دار إسلام ، تجري عليه أحكامه في ذلك الزمان وما بعده ، وإن انقطع امتناع المسلمين باستيلاء الكفار عليهم ومنعهم من دخوله وإخراجهم منه ، وحينئذ فتسميته دار حرب صورة لا حكماً ، فعلم أن أرض بتاوي بل وغالب أرض جاوة دار إسلام لاستيلاء المسلمين عليها سابقاً قبل الكفار.
(Soal): Setiap daerah dimana Muslim tinggal disitu dan mampu menolak serangan non-Muslim dalam zaman tertentu, maka daerah tersebut menjadi dar al-Islam (negara Islam) yang berlaku hukum-hukum Islam di dalamnya pada zaman tersebut dan zaman-zaman sesudahnya, meskipun pertahanan kaum Muslimin di sana terputus sebab mereka dikuasai non-Muslim, dilarang masuk kesana, dan diusir dari tanah tersebut. Pada saat itu maka daerah tersebut dinamai dar al-harb (daerah perang) namun hanya secara formalitas bukan secara hukum. Maka dipahami bahwa tanah Betawi bahkan kebanyakan daerah Jawa merupakan negara Islam karena kaum Muslimin telah berkuasa sebelum datangnya non-Muslim. (Sayyid Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, hlm. 541)
Akan tetapi, jika ibarat diatas digunakan sebagai alasan untuk mendukung kepemimpinan non-Muslim, maka akan menjadi sangat bermasalah. Pertama, ibarat diatas sama sekali tidak membahas tentang kebolehan ataupun kewajiban umat Islam memilih ataupun membela pimpinan non-Muslim baik secara eksplisit (manthuq sharih) maupun implisit (manthuq ghairu sharih dan mafhum). Meskipun Indonesia tetap dinamakan negara Islam yang wajib dibela meskipun dikuasai oleh pimpinan kafir, bukan berarti umat Islam boleh memilih non-Muslim sebagai pemimpinnya apalagi sampai mewajibkan patuh dan membela mereka. Kesimpulan pejuang pimpinan beda agama diatas mengada-ada dan tidak ada korelasi sama sekali.
Kedua, pejuang pimpinan beda agama mestinya menelaah kembali konteks Muktamar NU Banjarmasin tahun 1935 diatas yang berlangsung pada masa-masa Pergerakan Nasional untuk meraih kemerdekaan. Saat itu timbul ketegangan antar ormas Islam karena beberapa kalangan Muslim tidak ingin lagi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan alasan Indonesia bukan negara Islam (bandingkan dengan pernyataan kaum liberal-sekuler sekarang ini). Untuk menyatukan umat Islam dan meredam perpecahan yang terjadi di kalangan ormas dan tokoh Islam, pada Muktamar NU tersebut diputuskan bahwa segenap umat Islam di Indonesia wajib membela tanah air dan memperjuangkan kemerdekaannya karena wilayah Indonesia merupakan wilayah Islam warisan pemerintahan Islam yang pernah menguasai dan mempertahankannya selama berabad-abad. Digunakanlah keterangan Sayyid Ba’alawi dalam kitabnya Bughyah al-Mustarsyidin sebagai landasan dalil keputusan tersebut.
Dengan demikian, konteks Muktamar NU Banjarmasin diatas sangat berbeda dengan konteks kekinian dimana negara kita Indonesia tidak lagi dijajah oleh militer negara-negara non-Muslim, apalagi sekarang tiap kali menjelang pemilihan umum beberapa kalangan sok “Pancasilais” berlomba-lomba membuat tren bagaimana umat Islam mau terbuka untuk mendukung dan membela calon wakil rakyat Islam yang non-Muslim dengan beragam propaganda seakan tidak kenal kapok. Selain tidak nyambung, istinbath kebolehan memilih dan kewajiban patuh kepada pemimpin non-Muslim dengan ibarat diatas sangat rentan digunakan sebagai alat politik untuk memuluskan ‘penjajahan terselubung’.
Ketiga, jika mau menelaah keterangan Bughyah al-Mustarsyidin lebih lanjut, kita akan dapat sesuatu yang bertolak belakang dengan omongan pejuang pimpinan beda agama diatas. Sayyid Ba’alawi sendiri menegaskan bahwa umat Islam diperintahkan untuk melengserkan calon wakil rakyat non-Muslim yang membangkang dari ketaatan imam yang Muslim, tidak wajib taat kepadanya, BAHKAN TIDAK BOLEH MEMILIHNYA DALAM KEADAAN TIDAK DARURAT. (Bughyah al-Mustarsyidin, hlm. 527)
Ulama-ulama lain juga memberikan peringatan keras agar tidak memilih non-Muslim sebagai pemimpin umat Islam. Syihabuddin al-Qalyubi memperingatkan, “HARAM bagi imam mengangkat pimpinan yang bukan ahlinya padahal masih ada yang ahli, HARAM pula menerimanya sebagai pemimpin dan tidak diterima pengangkatannya!” (Syihabuddin al-Qalyubi, al-Hasyiyah ‘ala Syarh al-Mahalli, juz 4 hlm. 294) Ibn Hajar al-Haitami menulis, “Apabila ada seorang pemimpin menjadi kafir dan merubah aturan Syari’ah atau berbuat bid’ah, maka dia telah KELUAR dari kepemimpinannya dan gugur kewajiban menaatinya, wajib bagi kaum Muslimin bersikap dan melengserkannya lalu mengangkat imam yang adil.” (Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 38 hlm. 185)
Dengan demikian, semakin jelas terlihat bagaimana lihainya permainan dalil yang digunakan oleh para pejuang pimpinan beda agama. Memelintir dalil dari yang semestinya merupakan keahlian mereka yang mesti diwaspadai betul-betul oleh pembacanya dan tidak dimakan mentah-mentah.
Keempat: Indonesia Bukan Negara Islam
Banyak pejuang pimpinan beda agama yang beralasan bahwa Indonesia bukanlah negara Islam karena dasar negaranya bukanlah Al-Quran-Hadits. Contohnya, salah satu dari mereka menulis, “Indonesia bukan negara Islam, yang secara formal menjadikan Islam sebagai dasar negara. Indonesia adalah negara bangsa (nation-state) yang isinya (buat gampangnya saja) PBNU yaitu Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945. Hubungan Islam dan politik, agama dan negara, Islam dan nasionalisme telah tuntas dibahas dan diputuskan oleh Nahdlatul Ulama (NU) pada Munas dan Muktamar Situbondo tahun 1983-1984. NU menyatakan NKRI, dengan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, merupakan bentuk dan capaian final perjuangan umat Islam.
Oleh NU, NKRI disebut sebagai mu’ahadah wathaniyyah (perjanjian nasional) dan wajib bagi setiap Muslim memegang janji sebagaimana ditegaskan QS. Al-Isra’ ayat 34: ‘wa awfu bil ‘ahdi innal ‘ahda kana masula. Keputusan NU adalah ijma’ yang diperoleh dari ijtihad jama’I para ulama NU.
Konsekuensi dari ijma’ ini adalah menerima dan menjalankan konstitusi sebagai norma yang mengatur kehidupan publik. Publik maksudnya adalah sektor yang mengatur banyak orang, yang majemuk, yang berbhineka, yang tidak dibedakan berdasarkan latar belakang suku, agama, ras dan golongan.” (muslimedianews.com)
Dari pernyataan diatas perlu diklafirikasi beberapa hal. Pertama, Indonesia adalah dar al-Islam dan wajib melaksanakan hukum-hukum Islam di dalamnya seperti ibarat Bughyah al-Mustarsyidin dan keputusan Muktamar NU Banjarmasin 1935 yang telah lewat. Menolak Indonesia sebagai negara Islam berarti mengkhianati keputusan dan amanah para ulama sesepuh NU khususnya dan umumnya para ulama pejuang kemerdekaan.
Kedua, larangan memilih pemimpin non-Muslim oleh Islam merupakan kewajiban personal yang mengikat kepada setiap individu Muslim. Akan terasa aneh jika kewajiban personal ini dipertentangkan dengan Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945. Apakah Muslim yang tidak memilih pimpinan non-Muslim berarti tidak Bhineka Tunggal Ika? Apakah Pancasila dan UUD ’45 dapat menanggung dosa Muslim yang melanggar kewajiban agamanya? Apakah Muslim yang taat dengan ajaran agamanya ini mengganggu ketertiban dan kedaulatan NKRI?
Ketiga, NKRI dan Pancasila adalah mu’ahadah wathaniyyah menurut NU dan gentlement’s agreement menurut Soekarno. Namun, sekali lagi, apakah layak perjanjian manusia dengan manusia dapat menggugurkan perjanjian manusia dengan Tuhan? Apa benar NU mengharapkan para warganya untuk mengkultuskan NKRI dan Pancasila di atas hukum-hukum Syari’ah?
Keempat, banyak ‘ayat-ayat’ konstitusi NKRI yang melindungi hak-hak umat Islam melaksanakan ajaran agamanya. Contohnya:
Meskipun konstitusi menjamin semua warga negara memiliki hak yang sama di dalam hukum negara dan pemerintahan (UUD 1945 Pasal 27 Ayat 1;Pasal 28D Ayat 3), namun hal tersebut tidak dapat merusak hak-hak umat Islam mengamalkan ajaran-ajaran agamanya. Silahkan saja non-Muslim mencalonkan diri sebagai wakil rakyat, namun umat Islam juga berhak tidak memilih dan tidak membelanya karena patuh dengan larangan agamanya memilih non-Muslim sebagai pemimpin. Keduanya dilindungi oleh undang-undang. Yang salah dan amat disayangkan mestinya adalah Muslim yang memilih non-Muslim tersebut, apalagi ngotot memperjuangkan mereka tanpa kenal batas-batas agama.
Melihat beberapa pertimbangan diatas, masihkah para pejuang pimpinan beda agama menolak larangan Syari’ah Islam dalam memilih pemimpin dari non-Muslim yang jelas-jelas dilindungi oleh hukum positif negara? Masih tidak malu berdalil dengan Pancasila dan UUD 1945? Bersambung. [syahid/voa-islam.com]
Baca juga artikel:
Menjawab Berbagai Syubhat 'Pejuang Pimpinan Beda Agama (Bagian-1)