View Full Version
Selasa, 16 Aug 2016

Menjawab Berbagai Syubhat 'PejuangPimpinan Beda Agama' (Bagian 4-Selesai)

Oleh: Zaqy Dafa (Peneliti Pemikiran Islam)

Melihat beberapa pernyataan sikap para khalifah Islam yang terkenal sebagai ulama diatas, maka jelas bahwa para pimpinan Islam tetap berkomitmen kuat untuk tidak melanggar larangan Syari’ah tentang mengangkat non-Muslim sebagai pengatur urusan umat Islam. Namun apabila ada pemimpin Muslim yang masih melanggar larangan Syari’ah ini, maka data sejarah tersebut tidak dapat menjadi landasan dalil hukum Islam karena jelas sekali berseberangan dengan nash Al-Quran Hadits dan qaul-qaul ulama.

Terkait hal ini, penulis kitab al-Ayyubiyyun ba’da Shalah al-Din menjelaskan, “Adapun pada masa pemerintahan Sultan Kamil maka pelaksanaan al-wala wa al-bara’ lemah sekali. Hal ini terlihat dari kebijakan menyerahkan al-Quds kepada Kaisar Frederick II dengan imbalan emas dan tanpa ada perlawanan sama sekali. Sontak hal ini menjadikan kaum Muslim sangat kecewa, menyesal, dan sedih tiada terkira. Sultan Kamil juga menjalin hubungan diplomasi dengan kaum Kristen untuk menyerang saudaranya Mu’azham yang menjalin diplomasi dengan kaum Khawarizm.

Seperti halnya juga Sultan Najmuddin Ismail yang menjalin hubungan bilateral dengan Pasukan Salib, menyerahkan salah satu benteng pertahanan kepada mereka, dan memenjarakan Syaikh Ibn Abdissalam dan Ibn Hajib selama beberapa waktu kemudian memberikan mereka status tahanan rumah. Sultan Najmuddin juga bekerjasama dengan Pasukan Salib memerangi Sultan Shalih Najmuddin Ayyub yang menentang penyerahan al-Quds…” (al-Ayyubiyyun ba’da Shalah al-Din, juz 2 hlm. 412)

Semestinya para pejuang pimpinan beda agama lebih teliti lagi dalam membuat justifikasi-justifikasi atas premis-premis yang mereka keluarkan. Jika mereka masih memakai data-data sejarah yang kabur semacam diatas, maka dimana letak keilmuan mereka tentang cara berdalil hukum?

Kedelapan: Non-Muslim Belum Tentu Kafir (?)

Para pejuang pimpinan beda agama tidak malu untuk membuat alasan-alasan aneh untuk membela ucapan mereka seperti alasan diatas. Mereka menolak larangan mengangkat non-Muslim sebagai pemimpin karena menurutnya non-Muslim belum tentu kafir (?). Menurut mereka, kufur harus dimaknai secara makna lughat yang berarti penyangkalan terhadap kebenaran. Kemudian mereka menulis:

“Jika seseorang tidak percaya kepada kebenaran tertentu, dalam hal ini kebenaran Islam, maka apa yang ia tutupi? Apa yang ia sangkal? Jika ini yang jadi ukurannya, maka nonmuslim yang tak percaya akan kebenaran Islam bukanlah kafir.”

“Non-Muslim yang tulus dalam memilih dan meyakini keyakinannya tidak serta-merta dapat disebut kafir, yakni menutupi keyakinannya akan kebenaran.”

Mereka juga mengambil dalil dari keterangan al-Ghazali bahwa non-Muslim yang tidak sampai dakwah Islam kepadanya maka tidak disebut kafir.

Selain itu, mereka berkata bahwa kekafiran itu hanyalah kategori moral, bukan teologi. Mereka mengutip ucapan Shahabat Ali, “Ada orang beragama tetapi tidak berakhlak, dan ada orang yang berakhlak tapi tidak bertuhan.” Setelah itu mereka menulis:

“Salat, misalnya, alih-alih mengundang pujian Allah, justru sebaliknya Allah sebut sebagai tindakan mendustakan agama jika tidak diikuti dengan kesadaran dan empati sosial yang riil.” (selasar.com)

Dari pernyataan diatas maka perlu ditandaskan beberapa hal. Pertama, banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang menganggap kafir orang-orang non-Muslim tanpa melihat mereka percaya Islam atau tidak. Dengan mereka tidak memeluk Islam, maka secara otomatis mereka telah kafir. Misalnya Firman Allah Ta’ala:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ [المائدة : 17]

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al-masih putera Maryam".” (QS. Al-Maidah: 17)

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ [المائدة : 73]

“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa.” (QS. Al-Maidah: 73)

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ [آل عمران : 85]

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran: 85)

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ [التوبة : 30]

“Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "Al-Masih itu putera Allah". Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah memerangi mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS. Al-Taubah: 30)

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ [آل عمران : 32]

“Katakanlah: "Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".” (QS. Ali Imran: 32)

Karena itu, maka kekafiran sudah memiliki makna terminologis yang berarti orang-orang yang tidak mau memeluk agama Islam, terlepas dari mereka percaya kebenaran Islam atau tidak. Kafir juga merupakan istilah teologis penentu selamat tidaknya seseorang di dunia dan akhirat, tidak hanya istilah moral seperti yang didengungkan pejuang pimpinan beda agama diatas.

Kedua, banyak para ilmuwan Islam yang membahas tentang status orang yang tidak mendapat dakwah Islam. Sampainya dakwah Islam memang termasuk salah satu syarat seseorang dibebani hukum-hukum Syari’ah. Syaikh Ahmad al-Syathiri menjelaskan bahwa jika ada orang yang tinggal di daerah terpencil dan tidak dimungkinkan mengenal Islam disana atau mengenal Islam namun dalam gambaran yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya, maka orang seperti ini tidak mendapat taklif Syari’ah.

Akan tetapi, hukum ini berlaku ketika memang tidak dimungkinkan ada media dakwah Islam masuk kesana. Apabila masih dimungkinkan namun orang tersebut tidak mau menerima atau mempelajari dakwah Islam tersebut, maka dia tetap mendapat taklif Syari’ah dan jika tidak mau masuk Islam maka statusnya kafir. (Ahmad al-Syathiri, Syarh al-Yaqut al-Nafis, hlm. 130)

Melihat keterangan ini, maka keliru jika mayoritas non-Muslim yang ada di sekitar umat Muslim sekarang ini tidak dikatakan kafir, karena banyak sekali media-media dakwah Islam berlalu lalang di depan mereka. Penggunaan dalil keterangan al-Ghazali diatas dalam konteks sekarang sangat tidak tepat dan tidak kontekstual.

Bagi pejuang pimpinan beda agama yang menulis pernyataan diatas, kami sarankan untuk belajar Islam lebih banyak lagi dan tidak membuat statement aneh yang berbeda dengan mayoritas umat Islam. Dari zaman dulu sampai sekarang tidak ada umat Islam yang tidak menganggap non-Muslim sebagai kafir, kecuali jika pikirannya sudah tidak mau lagi mengikuti mayoritas umat Islam.

 

Ikhtitam

Melihat beberapa keterangan ulama di atas, maka sudah seharusnya para pejuang pimpinan beda agama berhenti menebarkan syubhat yang membingungkan masyarakat Muslim NKRI dari ajaran Islam yang benar. Masih banyak calon pimpinan Muslim yang lebih adil, lebih santun dengan bertutur kata, lebih cerdas dalam membuat kebijakan, tanpa harus melanggar ajaran agamanya. Marilah kita semua umat Islam beragama yang sehat, memilih pemimpin umat dari orang-orang Muslim yang bertakwa dan profesional. Memilih pemimpin umat sepatutnya dilandasi niat liLlahi Ta’ala dan li i’lai KalimatiLlah, bukan karena iming-iming uang dan jabatan serta popularitas.

Marilah kita semua membangun toleransi antarumat beragama yang baik dan seimbang, dengan tetap mematuhi rambu-rambu Syari’ah Islam. Tetaplah waspada dengan berbagai upaya makar manusia-manusia yang ingin menjerumuskan umat Islam dari ajaran Islam yang benar. InsyaAllah, dengan semakin meneguhkan diri dalam upaya pengenalan dan pengamalan ajaran Islam, bangsa Indonesia akan menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, Amin Ya Rabbal ‘alamin. WaLlahu A’lam. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version