Sahabat VOA-Islam...
Pro kontra kafe jamban sempat mengemuka di Indonesia. Ide ‘gila dan unik’ untuk kampanye sanitasi, kebersihan, dan pentingnya BAB di tempatnya. Sayangnya, khalayak lupa bahwa negeri ini banyak daerah yang tak memiliki jamban. Aneh? Ternyata 71 tahun merdeka, masih ada derita warga yang tak berjamban. Maka layaklah negeri ini bisa disebut negeri tak berjamban. Karena banyak warga yang tak memiliki jamban. Padahal jamban erat kaitannya dengan sanitasi dan kesehatan masyarakat. Lantas, kenapa semua ini bisa terjadi? Dan warga pun tak punya pilihan lain, selain BABS (Buang Air Besar Sembarang) di tepian sungai.
Sebagaimana di Lamongan, perubahan APBD ini juga akan fokus pada pembangunan untuk meningkatkan kulaitas pembangunan manusia, yakni melalui Program Open Defecation Free (ODF/jambanisasi) atau bebas buang besar sembarangan, rumah sehat dan pengadaan mobil sehat. Fadeli mengungkapkan data BPS yang menyebutkan masih ada 23.143 rumah di Lamongan yang masih belum memiliki jamban. Dari jumlah tersebut, sebanyak 11.295 rumah termasuk dalam kriteria miskin dan sangat miskin, sedangkan kriteria rawan miskin dan hampir miskin sebanyak 11.848 rumah. Perubahan APBD Tahun 2016 telah dialokasikan anggaran untuk pembangunan plester untuk 9.365 rumah dan Pembangunan Rumah Tidak Layak Huni untuk 85 rumah. http://surabaya.tribunnews.com/2016/08/20/rumah-tanpa-jamban-di-lamongan-digerojok-dana-melalui-perubahan-apbd
Sebanyak 11.362 warga Batu masih buang air besar sembarangan (BABS), seperti di sungai. Mayoritas berada di Desa Pandanrejo, Gunungsari, dan Torongrejo. ”Kebanyakan buang air di sungai,” ujar Kasi Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Batu Esty Setya Windari. Esty mengatakan, ada dua faktor yang mengakibatkan warga di beberapa desa itu buang air di sungai. Yakni faktor kebiasaan dan tidak tersedianya jamban. Menurutnya, perilaku buang air besar sembarangan itu mencemari sungai. Padahal, sungai di Kota Batu dimanfaatkan untuk wisata arum jeram. Untuk mewujudkan pembangunan jamban, Dinkes memiliki program kredit pembangunan jamban dengan menggandeng Apsani (Asosiasi Pengusaha Sanitasi Indonesia). (http://radarmalang.co.id/tak-punya-jamban-11-362-warga-bab-di-sungai-41430.htm).
Tak ubahnya, Lamongan dan Batu. Dinas Kesehatan Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur merilis data, hanya ada sekitar 30% masyarakat yang bisa mengakses jamban. Kepala Dinas Kesehatan, memprogram Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). “Karena kultur, budaya dan adat masyarakat masih sangat tradisional maka masih banyak yang mandi, mencuci, BAB menggunakan air sungai. Kami beri pemahaman terkait dampak buruknya pada kesehatan. Masyarakat bisa terserang muntaber, hepatitis, diare akut dan typus,” paparnya, Rabu (10/02/2016).
Sebegitu Parahkah?
Beberapa faktor ketidaktersediaan jamban antara lain: kemiskinan, pemahaman pola hidup bersih dan sehat yang rendah, dan pola pembangunan penguasa yang buruk. Tigal hal itu pun menunjukan bahwa pembangunan dalam model Kapitalis-Demokrasi sering menjadi lipstik. Tampak megah di luar, namun tidak merata dan menyentuh warga yang membutuhkan. Pola komunikasi yang buruk oleh penguasa, mengakibatkan rakyat sekadar obyek pembenaran dalam segala keputusan yang jauh dari kenyataan.
Sesungguhnya Pekerjaan Rumah (PR) setiap rezim Kapitalis-Demokrasi, baik di tingkat daerah atau pusat adalah untuk mengentaskan kemiskinan. Cukup sulit memang, selama pembangunan dan model penganggaran yang ada dalam APBN dan APBD. Menginggat setiap penguasa ingin menaikan posisi masing-masing dan dipuji sebagai pemimpin yang pro rakyat. Padahal APBN dan APBD disusun oleh lembaga eksekutif dan legislatif yang jauh dari upaya penyejahteraan rakyat. Fokus dari pembangunan yang diambil dari dana APBD dan APBN pun rawan menguap. Lagi-lagi, rakyat menelan pil pahit.
Jika, penguasa saat ini mau memiliki kepedulian dan tidak kamuflase dalam kebijakan. Maka tengoklah model pembangunan dalam sistem Khilafah. Khususnya terkait sanitasi dan kesahatan masyarakat. Khilafah memahami bahwa rakyat yang sehat, negara akan kuat. Serta merupakan bagian dari pengurusan urusan umat.
Khilafah Lebih Maju
Model pembangunan kesehatan masyarakat yang dilakukan Khilafah meliputi: pertama, peraturan yang bersumber pada syariah Islam baik teknis ataupun administratif; kedua, sarana dan prasarana; ketiga, SDM sebagai pelaksana yang amanah dari penguasa, petugas lapangan, dan lainnya.
Kebijakan kesehatan dalam Khilafah akan memperhatikan terealisasinya beberapa prinsip. Pertama: pola baku sikap dan perilaku sehat. Kedua: Lingkungan sehat dan kondusif. Ketiga: pelayanan kesehatan yang memadai dan terjangkau. Keempat: kontrol efektif terhadap patologi sosial. Pembangunan kesehatan tersebut meliputi keseimbangan aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Promotif ditujukan untuk mendorong sikap dan perilaku sehat. Preventif diprioritaskan pada pencegahan perilaku distortif dan munculnya gangguan kesehatan. Kuratif ditujukan untuk menanggulangi kondisi patologis akibat penyimpangan perilaku dan munculnya gangguan kesehatan. Rehabilitatif diarahkan agar predikat sebagai makhluk bermartabat tetap melekat.
Syariah Islam sangat concern pada kebersihan dan sanitasi seperti yang dibahas dalam hukum-hukum thoharah. Untuk menghilangkan kemiskinan, Khilafah hanya mengadopsi ekonomi Islam yang mampu memberikan pemerataan pembangunan dan terpenuhinya kebutuhan rakyat. Sehingga tidak ada namanya rakyat yang tak memiliki jamban.
Kebijakan kesehatan Khilafah juga diarahkan bagi terciptanya lingkungan yang sehat dan kondusif.Tata kota dan perencanaan ruang akan dilaksanakan dengan senantiasa memperhatikan kesehatan, sanitasi, drainase, keasrian, dsb. Hal itu sudah diisyaratkan dalam berbagai hadis, seperti:
إِنَّاللهَطَيِّبٌيُحِبُّالطَّيِّبَ, نَظِيفٌيُحِبُّالنَّظَافَةَ, كَرِيمٌيُحِبُّالْكَرَمَ, جَوَادٌيُحِبُّالْجُودَ, فَنَظِّفُوابُيُوْتَكُمْوَأَفْنِيَتَكُمْوَلاَتَشَبَّهُوْابِالْيَهُودِ
Sesungguhnya Allah Mahaindah dan mencintai keindahan, Mahabersih dan mencintai kebersihan, Mahamulia dan mencintai kemuliaan. Karena itu, bersihkanlah rumah dan halaman kalian, dan janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi (HR at-Tirmidzi dan Abu Ya’la).
اتَّقُواالْمَلاَعِنَالثَّلاَثَةَالْبَرَازَفِيالْمَوَارِدِوَقَارِعَةِالطَّرِيقِوَالظِّلِّ
Jauhilah tiga hal yang dilaknat, yaitu buang air dan kotoran di sumber/saluran air, di pinggir atau tengah jalan dan di tempat berteduh (HR Abu Dawud).
Rasul saw. juga bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian buang air di air yang tergenang.” (HR Ashhab Sab’ah).
Tata kelola drainasi dan sanitasi lingkungan yang memenuhi standar kesehatan, dan pengelolaan tata kota yang higienis, nyaman sekaligus asri. Tentu saja itu hanya bisa direalisasikan melalui negara, bukan hanya melibatkan departemen kesehatan, tetapi juga departemen-departemen lainnya. Tata kota, sistem drainase dan sanitasi kota kaum Muslim dulu seperti Baghdad, Samara, Kordoba, dsb telah memenuhi kriteria itu dan menjadi model bagi tata kota seperti London, kota-kota di Perancis dan kota-kota lain di Eropa.
Negara bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar baik pembangunan jamban atau lainnya. Nabi saw. bersabda:
اْلإِمَامُرَاعٍوَهُوَمَسْؤُوْلٌعَنْرَعِيَّتِهِ
Imam (Khalifah) laksana penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari).
Tidak terpenuhi atau terjaminnya kesehatan dan ketersediaan jamban akan mendatangkan dharar bagi masyarakat. Dharar (kemadaratan) wajib dihilangkan. Nabi bersabda:
لاَضَرَرَوَلاَضِرَارً
Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri (HR Malik).
Dengan demikian, kesehatan, pengobatan, dan ketersediaan jamban merupakan kebutuhan dasar sekaligus hak rakyat dan menjadi kewajiban negara. Jika negeri ini banyak yang tak memiliki jamban. Maka tamparan keras bagi kekagagalan rezim ini. Malu lah dengan Khilafah yang lebih maju! [syahid/voa-islam.com]
Penulis: Kamal (Netter di Khilafah Community Lamongan)