View Full Version
Selasa, 11 Oct 2016

Sambut Hijrah dengan Perubahan!

Oleh: Enung Nurhayati

Tak terasa kaum muslim kembali memasuki bulan Muharram, yang menandai datangnya tahun baru 1438 H. Sayangnya, tahun demi tahun berlalu, namun belum ada perubahan pada kaum muslim di dunia ini, khususnya Indonesia. Umat Islam saat ini masih dalam kondisi lemah dan ada dalam eksploitasi negara-negara penjajah, dalam segala aspek kehidupannya. Pergantian tahun hijrah, yang akhir-akhir ini selalu diperingati oleh sebagian kaum Muslim, justru sama sekali jauh dari esensi (hakikat)-nya, yakni perubahan! Ya, esensi hijrah adalah perubahan; dari kejahilian menuju cahaya Islam; dari kekufuran dan kemusyrikan menuju tauhid dan keimanan; dari darul kufur ke Darul Islam; dari tatanan kehidupan yang rusak dan bobrok ke tatanan kehidupan yang baik dan diliputi keberkahan.

Kondisi terpuruk dalam segenap aspek ini membuat kita seperti kembali memasuki masa jahiliyah yang pernah dialami Rasulullah Saw. Akidah umat Islam saat ini banyak dikotori dengan kemusyrikan seperti masa jahiliyah dahulu. Berhalanya bukan lagi dalam bentuk patung tapi dalam bentuk uang atau jabatan yang menjadi tuhan-tuhan baru yang disembah. Hukum Allah pun dicampakkan, manusia menjadikan hawa nafsu manusia yang kemudian dipopulerkan dengan kedaulatan rakyat (demokrasi) menjadi sumber hukum. Sekulerisme, liberalisme, pluralisme, HAM pun menjadi standar baik dan buruk, bukan lagi bersumber pada al-Quran dan Sunah.

Momentum hijrah tahun ini hendaknya benar-benar kita maknai sebagai media perubahan diri yang maksimal dalam penyempurnaan iman dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Sebab, jika tidak, boleh jadi kita merasa biasa saja dalam hidup ini. Seolah telah menjadi baik, padahal belum

Esensi dan makna Hijrah

Hijrah secara bahasa berasal dari kata hajara yang berarti berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, dari suatu keadaan ke keadaan yang lain (Lisân al-‘Arab, V/250; Al-Qâmûs al-Muhîth, I/637). Dalam konteks ini, esensi hijrah menjadi sangat relevan kita renungkan. Sebab, tahun Hijriyah, dalam sejarahnya, bertitik tolak dari peristiwa Hijrah Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah. Secara bahasa, hijrah berarti berpindah tempat. Adapun secara syar‘i, para fukaha mendefinisikan hijrah sebagai: keluar dari darul kufur menuju Darul Islam. (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276).

Darul Islam adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariah Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan keamanannya secara penuh berada di tangan kaum Muslim. Sebaliknya, darul kufur adalah wilayah (negara) yang tidak menerapkan syariah Islam dan keamanannya tidak di tangan kaum Muslim sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Definisi hijrah semacam ini diambil dari fakta hijrah Nabi saw. sendiri dari Makkah (yang saat itu merupakan darul kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam). Karena itu para fukaha biasa menggunakan istilah Darul Islam dan darul kufur. Frasa Darul Islam, misalnya, terdapat dalam kitab-kitab fikih Syafi’iyah seperti: Rawdhah ath-Thâlibîn (I/129),  Al-Umm (III/30),  I‘ânah ath-Thâlibîn (IV/233),  Fath al-Wahhâb (I/112), dll.

Mereka yang berhijrah kala itu adalah Muslim yang tidak lagi memiliki tujuan apa-apa selain daripada rahmat Allah Ta’ala.

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَاجَرُواْ وَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أُوْلَـئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللّهِ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [2]: 218).

Pada ayat yang lain Allah tegaskan bahwa orang yang berhijrah itulah orang yang terbukti benar keimanannya.

وَالَّذِينَ آمَنُواْ وَهَاجَرُواْ وَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَالَّذِينَ آوَواْ وَّنَصَرُواْ أُولَـئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقّاً لَّهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia.” (QS. Al-Anfal [8]: 74).

Maka dari itu, mereka yang berhijrah di jalan Allah adalah orang yang tinggi derajatnya dan termasuk orang yang mendapat kemenangan besar.

الَّذِينَ آمَنُواْ وَهَاجَرُواْ وَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِندَ اللّهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS. At-Taubah [9]: 20).

Menafsirkan ayat tentang hijrah pada QS. 9: 20 Sayyid Qutb dalam tafsir Fi Dzilalil Qur’an mengatakan bahwa, Sesungguhnya tidak ada wujud hakiki (dari keimanan seorang Muslim) hanya semata-mata memeluk akidah, dan bukan pula dengan semata-mata melaksanakan ibadah-ibadah ritual.

Agama ini adalah manhaj kehidupan yang tidak tercermin wujud nyatanya kecuali dalam akumulasi gerakan, dalam bentuk masyarakat yang bekerja sama bahu-membahu. Adapun keberadannya dalam bentuk akidah hanyalah wujud hukmi (secara hukum) saja, bukan wujud riil, kecuali bila tercermin dalam bentuk gerakan nyata.

Dengan demikian makna hijrah dapat dipahami sebagai suatu gerakan perpindahan secara totalitas, mulai dari fikriyah hingga amaliyah, dari jahiliyah menuju Islamiyah dalam satu gerakan yang rapi, sistemik dan keseluruhan, baik dalam konteks pribadi maupun sosial.

Karena itu tentu penting bagi umat Islam untuk kembali merenungkan hakikat hijrah yang esensinya adalah perubahan.

 

Kondisi Masyarakat Sebelum Hijrah

Masyarakat Arab sebelum Rasulullah saw. hijrah adalah masyarakat Jahiliah. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah aspek. 

Pertama: Aspek akidah. Akidah masyarakat Arab saat itu penuh dengan kemusyrikan. Di antara mereka ada yang menyembah malaikat, jin, ruh terdahulu, binatang dan berhala.

Kedua: Aspek sosial. Kehidupan sosial Makkah saat itu dicirikan dengan kebobrokan moral yang luar biasa. Rata-rata dari mereka adalah peminum arak, tukang mabuk. Pelacuran dan perzinaan di Jazirah Arab saat itu adalah hal biasa. Kebiadaban bangsa Arab saat itu bahkan sampai melampau batas kemanusiaan. Anak-anak perempuan yang baru lahir dibenamkan hidup-hidup ke dalam tanah (Lihat: QS at-Takwir: 8-9).

Ketiga: Aspek ekonomi. Bisnis yang dilakukan bangsa Arab saat itu sangat kental dengan riba. Bahkan pinjaman dengan bunga yang berlipat ganda (riba fadhl) telah menjadi tradisi mereka.

Keempat: Aspek politik. Secara politis bangsa Arab saat itu bukanlah bangsa yang diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain. Dua negara adidaya saat itu, Persia dan Kristen Byzantium, sama sekali tidak melihat Arab sebagai sebuah kekuatan politik yang patut diperhitungkan.

 

Masyarakat Pasca Hijrah

Setelah Rasulullah saw. berhijrah dari Makkah ke Madinah, kemudian beliau membangun Daulah Islamiyah (Negara Islam) di sana, keadaan masyarakat Arab pasca hijrah berubah total. Negara Islam yang dibangun Baginda Nabi saw. berhasil menciptakan masyarakat Islam, dari sebelumnya masyarakat Jahiliah. Faktanya, masyarakat Madinah bentukan Nabi saw.—melalui institusi Negara Islam yang beliau dirikan—adalah masyarakat yang benar-benar berbeda karakternya dengan masyarakat Arab Jahiliah sebelum Hijrah. 

Pertama: Dari sisi akidah. Yang dominan saat itu adalah akidah Islam. Bahkan akidah Islam menjadi satu-satunya asas negara dan masyarakat. Karena itu meski saat itu terdapat kaum Yahudi dan Nasrani, aturan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat secara keseluruhan adalah aturan (syariah) Islam.

Kedua: Dari sisi sosial. Kehidupan sosial saat itu penuh dengan kedamaian dan ketenteraman serta jauh dari ragam kemaksiatan. Perjudian diperangi. Perzinaan diberantas. Segala bentuk kemaksiatan dan kriminalitas dibabat habis melalui penegakkan hukum Islam yang tegas.

Ketiga: Dari sisi ekonomi. Saat itu ekonomi berbasis riba benar-benar dihapus. Penipuan dan berbagai kecurangan diberantas. Sebaliknya, cara-cara yang diakui syariah dalam meraih kekayaan dibuka seluas-luasnya.

Keempat: Dari sisi politik. Pasca Hijrahlah sesungguhnya Islam dan kaum Muslim benar-benar mulai diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain. Negara Islam yang dibangun Nabi saw. benar-benar disegani, bahkan ditakuti oleh musuh-musuh Islam dan kaum Muslim. Bahkan sejarah telah membuktikan, pada akhirnya dua negara adidaya saat itu, Persia dan Byzantium, dapat ditaklukan oleh Daulah Islamiyah melalui jihad fi sabilillah. Dengan jihad yang dilancarkan oleh Daulah Islamiyah itulah hidayah Islam makin tersebar dan kekuasan Islam makin meluas.

 

Gerakan Perubahan Diri

Momentum hijrah tahun ini hendaknya benar-benar kita maknai sebagai media perubahan diri yang maksimal dalam penyempurnaan iman dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Sebab, jika tidak, boleh jadi kita merasa biasa saja dalam hidup ini. Seolah telah menjadi baik, padahal belum.

Momentum hijrah ini adalah media yang tepat untuk mendata secara mendetail siapa sebenarnya diri kita. Apakah yang paling kita cintai dalam hidup ini, apakah yang paling sering kita pikirkan dalam hidup ini, dan apa yang sebenarnya ingin kita raih dalam kehidupan dunia ini.

Menghadirkan pertanyaan semacam itu misalnya, akan sangat membantu setiap jiwa mengetahui siapa dirinya dan kemudian menetapkan tujuan dan posisi sebagai seorang Muslim secara tepat. Sebab, disadari atau tidak, kita evaluasi atau tidak diri kita, atau kita catat atau tidak amal perbuatan kita, Allah melalui malaikat-Nya tak pernah lengah mencatat amal kita sehari-hari.

بِقَوْمٍ سُوءاً فَلاَ مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَالٍ

“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.” (QS. Ar Rad [13]: 11).

Masyarakat saat ini sebenarnya sangat mirip dengan masyarakat Jahiliah sebelum Rasulullah saw. hijrah ke Madinah. Wajar jika sebagian ulama menyebut kondisi sekarang sebagai “Jahiliah Modern”

Menurut Ibn Katsir, setiap manusia dikelilingi empat malaikat, empat di siang hari dan empat di malam hari yang bertugas mengawasi setiap manusia secara bergiliran, dua sebagai penjaga dan lainnya sebagai pencatat amal perbuatannya.

Mungkin selama ini kita lupa tentang hal ini, maka di momentum hijrah ini kita harus benar-benar atur diri kita untuk sebisa mungkin melakukan amalan sholeh sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari. Karena sesungguhnya, akan bagaimana kita ke depan sangat ditentukan oleh bagaimana kita hari ini.

Artinya, semakin baik kita dalam keseharian, itu berarti Malaikat tidak menghadap Allah kecuali melaporkan kebaikan, insya Allah kebaikan di masa depan itu pasti menjadi kenyataan. Karena setiap kebaikan berbalas kebaikan (QS. 55: 60) dan setiap kebaikan yang kita lakukan kembali pada kita sendiri (QS. 17: 7).

Di sinilah setiap Muslim harus melakukan agenda perubahan. Dengan spirit hijrah, itu bukan suatu yang mustahil. Sebab, Allah tidak akan pernah merubah suatu kaum (termasuk pribadi kita) jika kita sendiri tidak mau merubahnya (QS. 13: 11).

Jika Rasulullah dan sahabat berhasil menjadi Muslim kaffah dengan berhijrah, mengapa kita tidak meneladaninya dengan target dan tujuan yang sama sebagai wujud nyata bahwa kita benar-benar ingin berubah?

 

Jahiliah Modern

Masyarakat saat ini sebenarnya sangat mirip dengan masyarakat Jahiliah sebelum Rasulullah saw. hijrah ke Madinah. Wajar jika sebagian ulama menyebut kondisi sekarang sebagai “Jahiliah Modern”. Dari sisi akidah, berbagai kemusyrikan dan ragam aliran sesat terus bermunculan. Di negeri ini, mencuatnya kasus Aa Gatot dan Kanjeng Dimas—melengkapi kasus-kasus sebelumnya seperti kasus Guntur Bumi, Eyang Subur, Lia Eden, dll—menunjukkan betapa sebagian umat ini masih percaya dengan orang-orang ‘aneh ‘ berbaju syaikh, wali (bahkan mengaku nabi), guru spiritual, orang pintar, ahli hikmah; dll. Padahal mereka menyatukan penyembahan terhadap jin dengan berbagai tindak kejahatan seperti penipuan, pelecehan wanita, bahkan pesta narkoba!

Dari sisi sosial, kebejatan moral (maraknya perzinaan, pornografi-pornoaksi, dll), tindakan kriminal (pencurian, perampokan, korupsi, pembunuhan, perjudian, narkoba, dll) terus menyeruak. Kalau di zaman dulu wanita dijadikan “alat” pelampiasan syahwat maka di zaman sekarang pun kebodohan itu juga ada. Bahkan lebih hebat lagi karena didukung oleh industri syahwat. Kontes kecantikan atau kontes ratu-ratuan adalah ajang untuk memperalat kaum wanita. Para peserta pamer aurat dihadapan jutaan mata, ini demi melariskan iklan-iklan yang tampil di mengiringi show tersebut.

Dari sisi ekonomi, riba masih menjadi basis kegiatan ekonomi. Demikian pula banyaknya transaksi-transaksi batil lainnya. Bahkan dalam hal riba, negara adalah pelaku utamanya dengan terus menumpuk utang luar negeri berbunga tinggi. Tahun ini utang negara kita sudah menembus angka Rp 4000 triliun lebih, dengan rata-rata bunga yang harus dibayar hanya dalam dua tahun (2016-2017) rata-rata Rp 200 triliun pertahun. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala jelas telah mengharamkan riba di dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an, diantaranya firman Allah Ta’ala:

الَّذِينَ  يَأْكُلُونَ  الرِّبَوٰا۟  لَا  يَقُومُونَ  إِلَّا  كَمَا  يَقُومُ  الَّذِى  يَتَخَبَّطُهُ  الشَّيْطٰنُ  مِنَ  الْمَسِّ  ۚ  ذٰلِكَ  بِأَنَّهُمْ  قَالُوٓا۟  إِنَّمَا  الْبَيْعُ  مِثْلُ  الرِّبَوٰا۟  ۗ  وَأَحَلَّ  اللّٰـهُ  الْبَيْعَ  وَحَرَّمَ  الرِّبَوٰا۟  ۚ  فَمَن  جَآءَهُۥ  مَوْعِظَةٌ  مِّن  رَّبِّهِۦ  فَانتَهَىٰ  فَلَهُۥ  مَا  سَلَفَ  وَأَمْرُهُۥٓ  إِلَى  اللّٰـهِ  ۖ  وَمَنْ  عَادَ  فَأُو۟لٰٓئِكَ  أَصْحٰبُ  النَّارِ  ۖ  هُمْ  فِيهَا  خٰلِدُونَ  ﴿البقرة:٢٧٥﴾

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Dan barang siapa yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-Baqarah: 275).

Di bidang politik, fenomena Pilkada DKI yang menyita energi sebagian umat pastinya juga tidak akan menghasilkan kondisi yang lebih baik. Sebagaimana Pemilu atau sejumlah Pilkada sebelum ini, jelas umat hanya diperalat untuk kemudian dijadikan korban oleh para elit politik. Mereka kembali ditipu, dikhianati dan dizalimi pasca Pemilu atau Pilkada usai. Sepanjang tahun ini, nasib umat tidak berubah sekalipun rezim berganti.

Dalam lingkup politik luar negeri, Dunia Islam tidak pernah diperhitungkan oleh negara-negara lain. Bahkan negeri-negeri Islam menjadi obyek penjajahan gaya baru oleh bangsa Barat. Irak, Afganistan Suriah porak-poranda oleh AS dan sekutunya. Palestina tetap dalam cengkeraman Zionis Israel. Konflik terjadi di berbagai negeri Islam karena campur tangan asing yang berkepentingan terhadap potensi-potensi strategisnya. Di negeri-negeri Barat diskriminasi atas umat Islam yang minoritas juga menjadi pemandangan saban hari.

 

Perubahan Menuju Khilafah

Karena itu saat ini sebetulnya kaum Muslim, bahkan dunia, perlu membangun kembali Daulah Islamiyah atau Khilafah Islam, yang akan mampu mewujudkan kembali masyarakat Islam, sebagaimana yang pernah dibangun Nabi saw. pasca Hijrah. Khilafah akan mengantarkan umat ini meraih kembali kemuliaan dan kejayaannya, sebagaimana pada masa lalu. Khilafah akan menjadikan dunia ini bisa hidup kembali dalam keamanan, kedamaian, kemakmuran, keadailan, kesejahteraan dan keberkahan. Khilafahlah yang akan menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan sekaligus menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.

Karena itu, pesan penting terkuat dari tahun baru Hijriyah ini adalah kesediaan umat Islam untuk hijrah dari sistem jahiliyah menuju sistem Islam, serta untuk terus menggelorakan kebangkitan Islam menuju perubahan hakiki. Perubahan yang hakiki adalah perubahan yang dapat menyelesaikan secara tuntas seluruh persoalan kaum Muslim di dunia saat ini. Perubahan semacam itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan dua hal sekaligus. 

Pertama: Membangun kekuatan politik internasional, yakni Khilafah Islam, yang menyatukan seluruh potensi kaum Muslim, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusianya. Kedua: Menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam Khilafah Islam tersebut. Hanya dengan cara inilah kaum Muslim akan mampu mengakhiri kondisi buruknya di bawah kekuasaan sistem Kapitalisme global menuju kehidupan mulia dan bermartabat di bawah institusi global: Khilafah Islam.

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Hukum Jahiliahkah yang kalian kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50). Wallahu’alam bisshowab. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version