JAKARTA (voa-islam.com) - Dalam kajian Saturday Forum di Insists Jakarta, Sabtu kemarin (8/10), Dr Syamsuddin Arif membedakan antara politik Islam dan Islam Politik. Menurutnya, politik Islam adalah politik yang sesuai dengan ajaran Islam. “Mengingkari politik islam, berarti mengingkari adanya politisi muslim. As siyasatus syariyah itu adalah politik Islam,”terang ahli filsafat Islam ini.
Sedangkan Islam politik, menurutnya adalah istilah yang datang untuk melecehkan atau mengolok-olok Islam. Di situ akan dipisahkan dengan Islam teologis, Islam sufistik dan lain-lain. Islam politik dianggap sebagai Ideologi atau gerakan yang ingin mendirikan negara Islam atau menerapkan syariat islam dalam sebuah negara. Misalnya partai-partai Islam. Sebagian diantara mereka menyamakan antara Islamis dan islam politik.
Indonesianis Robert Hefner menyebut civil islam lawan dari political islam. Menurutnya yang perlu dikembangkan di negeri-negeri Islam adalah civil islam bukan political islam. Menurutnya agama itu di masjid, gereja dan tempat ibadah lainnya. Agama urusan privat atau dengan Tuhan bukan dengan publik.
Islam, menurut Dr Syamsuddin, mengurusi masalah politik, ekonomi, privat dan public. Tidak bias dipisah-pisahkan seenaknya. Makanya dalam politik Islam para ulama membahas hal-hal pokok yang berkaitan dengan ummat, imam ulul amr, khalifatur Rasulillah, amirul mukminin dan hukm.
Meskipun Islam dan politik telah menyatu sejak awal, dimana Nabi Muhammad SAW bukan sekadar utusan Allah dan pemimpin agama, tetapi juga pemimpin bangsa dan negara, sebagai leader and ruler –meminjam ungkapan Bernard Lewis, kajian politik Islam secara ilmiah, teoritis dan sistematis baru bermula pada kurun kedua Hijriah. Secara umum, pemikiran politik Islam merupakan sintesis dan amalgamasi dari konsep-konsep kepemimpinan yang dikenal dalam masyarakat Arab pra-Islam dan ajaran Islam itu sendiri (yakni al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muḥammad SAW) dengan tradisi bangsa-bangsa yang ditaklukan seperti Syria (Romawi), Mesir, Persia dan Mongol. Sejauh yang dapat dilacak, karya pertama yang secara sistematis membahas masalah-masalah tata negara dari perspektif Islam adalah bab politik dari Kitāb as-Siyar al-Kabīr yang ditulis oleh Muḥammad ibn al-Ḥasan as-Syaybānī (w. 189/804), seorang ulama besar yang lahir di Wāsiṭ dan dibesarkan di Kūfah, Iraq. Ini diikuti oleh bagian pertama (kitāb as-Sulṭān) dari ‘Uyūn al-Akhbār karya Ibn Qutaybah (w. 276/885)8 dan bagian pertama dari kitab al-‘Iqd al-Farīd karya Ibn ‘Abd Rabbih.
Kajian dan pemikiran politik Islam dapat dipetakan dalam tiga wilayah besar. Pertama, kajian tradisional-normatif, yakni pembahasan konsep-konsep dan norma-norma perpolitikan yang diuraikan oleh para ulama. Termasuk dalam kategori ini tiga kitab yang kita sebut di atas. Namun sebenarnya wilayah ini pun masih bisa dipilah lagi menjadi beberapa kategori: (i) ulama mutakallimūn baik dari golongan Ahlus Sunnah (Abu ’Ḥasan al-Asy‘arī, al-Bāqillānī, ‘Abd al-Qāhir alBaghdādī dan seterusnya), Syiah (Ibn Bābawayh, aṭ-Ṭūsī, al-Ḥillī), dan Mu‘tazilah (al-Jāḥiẓ, al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār) yang masing-masing menyediakan satu bab khusus dalam karyanya terhadap masalah ‘imāmah’ atau kepemimpinan, apakah ia wajib atau tidak, dengan proses pemilihan ataukah penunjukkan, dan sebagainya; (ii) ulama muḥadditsūn (seperti Imam al-Bukhārī, Muslim, at-Tirmidzī) yang juga menaruh perhatian kepada hadis-hadis politik (contohnya ‘kitāb al-imārah’ dalam Ṣaḥīḥ Muslim); (iii) ulama fuqahā’ (al-Māwardī, al-Farrā’, al-Juwaynī) yang menulis buku khusus untuk mengupas fikih politik dan pemerintahan; (iv) ulama udabā’ (Ibn al-Muqaffa‘, Ibn Qutaybah, Ibn ‘Abd Rabbih, al-Jaḥsyiyārī, at-Tsa‘ālabī, aṭ- Ṭarṭūsyī); (v) ulama falāsifah (al-Fārābī, Ibn Sīnā, Ibn Rusyd) yang mewakili tradisi pemikiran atau filsafat politik Yunani kuno (Plato dan Aristoteles). Ciri khas dari kajian jenis ini adalah banyaknya aturan dan anjuran yang perlu dipahami dan dilakukan oleh seorang pemimpin agar dihormati oleh bawahannya, dicintai oleh rakyatnya, dan disegani oleh musuh-musuhnya. Walaupun juga diselingi contoh-contoh kasus, namun kebanyakan merupakannya pernyataan-pernyataan induktifnormatif yang masih bisa dan perlu dikukuhkan oleh penelitian empiris atau bahkan uji-coba lapangan.
Kedua, kajian tekstual-historis yang merupakan pendekatan para sarjana Barat atau ahli ketimuran (orientalis). Politik Islam dikaji sebagai pusaka ilmiah (intellectual heritage) tak ubahnya seperti artifak kuno dikaji oleh ahli arkeologi. Politik Islam itu masa lalu, sudah lama mati, dan kini tinggal sejarah. Politik Islam sebagai aksi, proses, regulasi, maupun diskursus, semuanya menarik dikaji sebagai produk sejarah yang mungkin masih relevan dan mungkin tak relevan sama sekali dengan situasi sekarang ini. Kalau memang relevan, mengapa tak ada satupun negara Islam saat ini yang mengacu padanya? Namun jika tidak relevan sama sekali, lantas untuk apa semua itu dikaji? Jawaban para sarjana orientalis untuk pertanyaan ini tidak cukup beragam; dari sekadar memenuhi dahaga intelektual dan memperlihatkan wawasan budaya, hingga untuk mendapatkan cermin bagi merumuskan kebijakan luar negeri dalam hubungan dengan negara-negara Islam.
Sebagai contoh pendekatan tekstual-historis ini adalah kajian pemikiran politik Ibn Taymiyyah oleh Henri Laoust, kajian sistem administrasi negara zaman Abbasiyah ole Ann Lambton, kajian naskah kitab Ibn Rusyd yang menguraikan Politeia (Respublica) Plato oleh Erwin Rosenthal, kajian naskah kitab Ārā’ Ahl alMadīnah al-Fāḍilah karya al-Fārābī oleh Richard Walzer, dan masih banyak lagi. Pendekatan ala orientalis sebenarnya bermanfaat sekali untuk mengenalkan kita pada khazanah pemikiran politik yang dimiliki Umat Islam. Akan tetapi di sisi lain ia seringkali juga membawa orang menerawang jauh di alam utopia. Akibatnya timbul perasaan miris ketika melihat kenyataan tidak seindah pengharapan.
Ketiga, kajian sekular-modernis yang mulai muncul sejak Dunia Islam dijajah dan dikuasai oleh bangsa-bangsa Eropa. Pendekatan ini bertolak dari anggapan atau bahkan keyakinan –yang sesungguhnya boleh jadi keliru- bahwa ketidakmampuan Umat Islam menghadapi kolonialisme Eropa disebabkan oleh sistem politiknya yang lemah, dan ini disebabkan oleh ajaran Islam yang tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Maka maraklah gagasan sekularisasi sebagaimana dipopulerkan oleh Kemal Ataturk. Tokoh-tokoh cendekiawan pun hanyut dalam arus ini. Dapat kita sebut misalnya ‘Alī ‘Abd alRāziq yang menulis buku al-Islām wa Uṣūl al-Ḥukm (1967), Khālid Muḥammad Khālid, penulis Min Hunā Nabda’ dan ad-Dimuqrāṭiyyah Abadan (1953), Nāmik Kāmil dan ‘Abd al-Ghanī Sanī Bey yang menulis al-Khilāfah wa Sulṭat al-Ummah (1924). Mereka ini tanpa berpikir panjang menelan bulat-bulat aneka konsep dan sistem politik Barat modern seperti demokrasi dan sebagainya. Hanya dengan meniru sistem politik Barat, negara-negara Islam bisa maju dan kuat, begitulah bayangan mereka. Pendek kata, kelompok apologetik ini berupaya mencarikan pembenaran terhadap sistem demokrasi dan konsep negara sekuler agar dapat diterima dan diamalkan oleh Umat Islam.
Menurut Dr Syamsuddin, ada pula yang memaknai Islam politik adalah sikap dan perilaku politik Umat Islam yang didorong oleh keyakinan bahwa Islam perlu berperan di ruang publik dan perlu mempengaruhi kebijakan politik masa kini. Istilah kontroversial ini memang belum lama muncul, dan sengaja dibikin untuk membedakan antara sikap apatis atau pasif sebagian orang Islam dengan sikap sebagian lainnya yang sangat aktif berpolitik.
Menurutnya, dalam mengkaji Islam Politik ini pun kita dapat melihat adanya tiga paradigma berbeda, yaitu paradigma pesimis radikal, paradigma utopian radikal, dan paradigma optimis moderat.
Paradigma pesimis radikal diwakili oleh pengamat politik semacam Oliver Roy, penulis buku The Failure of Political Islam (Kegagalan Islam Politik). Menurutnya, aktivis Islam Politik sebenarnya tidak atau kurang memahami Islam, hanya mengikuti syahwat politik demi menggolkan agenda-agenda mereka sendiri. Artinya, mereka ini tanpa sadar mengkhianati umat Islam dan membelakangi para ulama (anti-clerical). Roy menjuluki mereka neo-fundamentalists yang tidak sama dengan kaum Islamists. Aktivis Islam Politik kalau pun mereka menang pemilu dan berkuasa dapat dipastikan akan gagal menjalankan pemerintahan yang adil dan berwibawa, sebaliknya justru bakal membunuh demokrasi, menindas rakyat, menghancurkan ekonomi, dan merusak hubungan internasional. Demikian ramalan suram dari Roy, yang diamini oleh dan mempengaruhi banyak pengamat termasuk Graham E. Fuller, Greg Fealy, Kikue Hamayotsu, Robert W. Hefner, William Liddle dan Saiful Mujani.
Dalam diskusi mingguan di Insists itu juga ramai didiskusikan tentang istilah demokrasi dan politik Islam di Indonesia. Menurut Dr Syamsuddin, istilah demokrasi sebenarnya sudah selesai dengan adanya Partai Masyumi di Indonesia. Dan yang menarik tokoh politik Islam Mohammad Natsir mengajukan konsep teistik demokrasi yang merupakan lawan ateistik demokrasi. [nuim/syahid/voa-islam.com]