Oleh: Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)
Hajatan tahunan Pilpres Amerika Serikat (AS) diuji kompetisikan pada tahun 2016 ini. Hillary dan Trump mencoba menarik simpati warga AS. Berjibun janji diumbar dan beragam skandal pun ditampilkan vulgar. Suatu fenomena demokratisasi di tengah ketidaktuntasan AS menjalankan demokrasi selama dua abad. Anehnya AS tetap memaksakan demokrasi dijalankan di seluruh negara di dunia. Pemandangan kontras dan perlu untuk diulik makna dibalik kampanye demokrasi oleh AS.
Perang ‘Dingin’ Kampanye
Hal lumrah yang terjadi di AS pada masa kampanye antar kandidat. Konflik internal di tubuh partai Demokrat dan Republik juga sering terjadi menjelang konvensi menentukan calon presiden yang akan diusung. Akan tetapi perpecahan besar tidak sejauh yang dibayangkan, sebab kalau partai sudah menetapkan calon presidennya maka semua warga dan anggota partai berkewajiban memberi dukungan meski ada juga yang kurang loyal. Kekacauan di tubuh partai ini mengindikasikan jika demokrasi dirancang bukan untuk kepentingan rakyat. Kuat dugaan demokrasi merupakan kepentingan elit politik untuk memuluskan jalan
Menurut A. James Reichley dalam buku ELECTION AMERICAN STYLE oleh Richard C. Schroeder (1989) bahwa saat ini ada keresahan dalam masyarakat AS yang menilai tentang sistem pemilu bermasalah. Pemilu AS memerlukan pembedahan politik yang ekstensif dalam melakukan perubahan struktur yang lebih luas. Para pengamat menilai bahwa sistem pemilu di AS memerlukan biaya kampanye yang besar, waktu yang panjang, serta dukungan media yang kuat terhadap pencitraan kandidat. Meskipun ada kecenderungan bahwa rakyat AS kelihatannya senang jika presiden berasal dari Demokrat, sementara kongres dikuasai oleh Republik. Hal ini diinginkan agar eksekutif yang dijalankan oleh presiden dan para anggota kabinetnya bisa saling kontrol dengan kongres dan senat.
Tampaknya sistem pilpres AS juga dijiplak penuh dalam pilpres di Indonesia. Rakyat Indonesia pun sudah merasakan buah dari pilpres langsung. Banyak masalah yang tak pernah usai dari sengketa terkait kemenangan pasangan calon. Biaya demokrasi pun terbilang mahal hanya demi suatu jabatan. Belum lagi konflik sosial yang terjadi di tengah masyakarat yang mengakibatkan kerugian materiil dan imateriil. Setali tiga uang, Indonesia dengan bangga menjalankan seruan dari AS.
Kandidat presiden AS tidak berlepas dari pengusaha. Baik kapitalis lokal ataupun global dengan melibatkan jaringan internasional. Loby Yahudi pun begitu berkuasa untuk mempengaruhi keputusan-keputusan politik AS. Tujuan dari pengusaha ingin memberi dukungan karena mengharapkan sesuatu terutama dalam mempermudah usaha mereka jika calon yang disponsori memenangkan pertarungan. Biaya yang besar itu selain digunakan untuk tim sukses, juga sebagian besar terserap untuk biaya kampanye, seperti pemasangan iklan di TV dan surat kabar, serta pembuatan media luar ruang.
Selain itu, perang dingin antar kandidat presiden AS, Hillary dan Trump, tampak menunjukkan kebobrokan dari masing-masing kandidat. Negera sebesar AS ternyata dipimpin oleh orang-orang bermasalah. Pemikirannya dipenuhi dengan kapital, syahwat kekuasaan, peperangan, dan kepentingan untuk menjadi ‘hero’ bagi AS di luar negeri. Ini merupakan konsekuensi logis dari Demokrasi bahwa siapa pun layak menjadi pemimpin, berlepas dari masa lalu yang kelam. Kebebasan yang menjadi dasar demokrasi inilah yang dijunjung tinggi oleh AS dan di negara yang mengadopsinya. Standar baik-buruk disesuaikan dengan selera manusia.
Etika dan budi pekerti tak dikenal dalam demokrasi. Saling menjatuhkan lawan, membuka aib sesama, dan meraih simpati menjadikan perang dingin yang siap mendidih. Jika ditilik dari latar belakang Hillary dan Trump, maka tak ada bedanya dalam segi keputusan politik. Yang berbeda adalah soal rasa dan gaya. Politik dalam negeri yang bertumpu pada demokrasi tampaknya akan semakin menyuburkan beragam kerusakan demi kerusakan dalam negeri AS. Mereka telah memetik ‘buah pahit’ dari demokratisasi yang dikampanyekannya. Sementara itu, politik luar negeri AS masih tetap sama, yaitu penjajahan.
Tanda Tanya Besar
Masihkah—khususnya bagi negeri muslim—mengambil demokrasi sebagai bagian dari sistem politiknya? Melihat kekacauan dan permasalahan dalam demokrasi yang telah dicontohkan AS dan sekutunya. Demokrasi menjadi suatu bencana baru politik di tengah AS menutupi penjajahannya di negeri-negeri kaum muslim.
Bagi Indonesia puja-puji demokrasi telah lama dilancarkan AS agar hubungan keduanya mesra dan bertambah mesra, meski menistakan penduduknya. Beberapa pernyataan itu telah disampaikan dalam beberapa kesempatan
“Konsul AS: Pilpres Indonesia Kalahkan AS”
...ada orang bilang masyarakat Indonesia tidak siap dengan demokrasi, bahkan ada yang bilang demokrasi tidak cocok untuk Indonesia, tapi buktinya ada 133 juta lebih suara yang setuju dengan demokrasi di sini,” Joaquin Monderrate (Jumat, 22 Agustus 2014 di www.antarajatim.com)
AS secara implisit menyatakan ‘tidak ikut campur’dalam PEMILU 2014 di Indonesia. Sinyal itu dinyatakan Jhon Kerry Menlu AS (Kamis, 20 Februari 2014 di www.beritajatim.com)
Selain itu, kerapnya diadakan forum demokrasi di Indonesia menjadikan daftar panjang bahwa Indonesia akan didaulat menjadi negera yang mampu menyandingkan “Islam dan Demokrasi”. Sungguh upaya ini akan semakin menjauhkan Indonesia dari Islam sesungguhnya yang termanifestasi dalam syariah Islam yang mulia.
Cukuplah bagi orang yang sadar untuk tidak mengambil sistem yang bermasalah. Pilpres AS menjadi pelajaran penting bahwa sistem bermasalah (demokrasi) akan dipimpin orang-orang bermasalah. Sebaliknya, manusia saat ini membutuhkan sistem yang solutif dan jauh dari beragam masalah. Karena saat ini umat manusia sudah tahu dibalik ‘topeng demokrasi’ ada “wajah penjajah”. [syahid/voa-islam.com]