Oleh: Zaqy Dafa (Pemerhati Pemikiran Islam)
Kesahihan Riwayat
Ini merupakan alasan kedua yang digunakan pejuang pimpinan beda agama untuk menganalisa riwayat penolakan Khalifah Umar terhadap kepemimpinan non-Muslim diatas. Ia mengatakan bahwa riwayat tersebut bukanlah Hadits tapi Atsar shahabat, sehingga mungkin menurutnya tidak dapat menjadi sumber hukum. (nu.or id)
Benarkah Atsar Shahabat tidak dapat digunakan untuk menggali hukum Islam? Jika demikian, lalu bagaimana dengan kesunnahan Shalat Tarawih berjamaah di bulan Ramadhan yang merupakan kebijakan dari khalifah Umar? Bagaimana dengan kebijakan kodifikasi Al-Quran oleh khalifah Abu Bakr dan standardisasi Al-Quran oleh khalifah Utsman? Padahal kesemuanya ini tidak ada di zaman Rasulullah dan murni inovasi dari para shahabat. Menolak larangan mengangkat pimpinan non-Muslim hanya karena riwayatnya berupa Atsar Shahabat merupakan alasan yang tidak tepat dan mereduksi makna Ahlussunnah wal Jama’ah sendiri yang berarti “pengikut Sunnah Nabi dan Ijma’ Shahabat”.
Selanjutnya, anggapan bahwa tidak ada dalil Hadits Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama yang menunjukkan keharaman mengangkat non-Muslim sebagai pimpinan juga keliru. Banyak hadits-hadits yang menunjukkan hal ini, diantaranya:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه، أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «لَا تُصَاحِبْ إِلَّا مُؤْمِنًا، وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ» )رواه الترمذي(
Dari Abu Sa’id al-Khudri RadliyaLlahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama bersabda, “Janganlah berkawan kecuali dengan orang mukmin, dan janganlah memakan makananmu kecuali orang yang bertakwa.” (HR. al-Tirmidzi)
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم :« يَا عَبْدَ اللهِ أَىُّ عُرَى الإِسْلاَمِ أَوْثَقُ؟ ».قَالَ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ :« الْوَلاَيَةُ فِى اللهِ الْحُبُّ فِى اللهِ وَالْبُغْضُ فِى اللهِ ». (رواه البيهقي)
Dari Abdullah bin Mas’ud RadliyaLlahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama bersabda, “Wahai Abdullah, apa tali Islam yang paling kokoh?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Kemudian Rasulullah bersabda,“Yaitu kesetiaankarena Allah, cinta karena Allah, dan benci karena Allah.” (HR. al-Baihaqi)
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَباسْ -رضي الله عنهما- : قال: سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله -صلى الله عليه وسلم- اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا هَادِيْنَ مُهْتَدِيْنَ، غَيْرَ ضَالِّينَ وَلَا مُضِلِّينَ، سِلْمًا لِأَوْلِيَائِكَ، وَعَدُوًّا لِأَعْدَائِكَ، نُحِبُّ بِحُبِّكَ مَنْ أَحَبَّكَ، وَنُعَادِي بِعَدَاوَتِكَ مَنْ خَالَفَكَ (رواه الترمذي)
Dari Abdullah bin Abbas RadliyaLlahu ‘anhu, ia berkata:Aku mendengar Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallamaberdoa, “Ya Allah, jadikanlah kami sebagai orang-orang yang memberi petunjuk (kepada selain kami) dan dianugerahi petunjuk (dari Engkau), janganlah Engkau jadikan kami termasuk orang-orang tersesat lagi menyesatkan, dan jadikanlah kami sebagai orang-orang pendamai kepada setiap kekasih-Mu dan (sebagai) pemusuh kepada setiap musuh-Mu. Dengan dasar cinta-Mu kami dapat mencintai setiap orang yang mencintai-Mu, dan karena benci-Mu (pula) kami memusuhi setiap orang yang mendurhakai-Mu.”(HR. al-Tirmidzi)
Hadits-hadits di atas ketika ditinjau secara Ushul Fiqh menunjukkan bahwa berkawan dan berteman dengan orang-orang kafir saja dilarang oleh agama Islam, apalagi menjadikan mereka sebagai pimpinan umat Islam. Hal ini dalam tataran Ushul Fiqh dinamakan Qiyas Aulawiy.
عَنْ أَبِيْ بَكْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً )رواه البخاري(
Dari AbuBakrah RadliyaLlahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama bersabda:“Tidak akan berhasil (baik) suatu kaum yang menguasakan urusannya kepada seorang perempuan (menjadikannya pemimpin).” (HR. al-Bukhari).
Dari hadits diatas, Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama menjelaskan bahwa suatu kaum yang menjadikan wanita sebagai pimpinannya maka urusan mereka tidak akan pernah baik alias tidak akan memperoleh keberhasilan, apalagi menjadikan kafir yang notabenenya musuh Allah Ta’ala sebagai pimpinan. WaLlahu A’lam.
Dengan demikian, dapat semakin terkuak berbagai kesalahan yang dilakukan oleh pejuang pimpinan beda agama dalam membela mati-matian non-Muslim agar mendapatkan kedudukan politis dengan permainan dalil yang beraneka macam, entah kesalahan tersebut murni kealpaan atau memang sengaja ingin memutarbalikkan fakta dan membohongi umat Islam. Inna liLlahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Keputusan Khalifah Umar adalah Qaulus Shahabi
Ini adalah alasan ketiga dari pejuang pimpinan beda agama diatas untuk mengkritik kebijakan khalifah Umar. Ia mengatakan:
“Umar bin Khattab adalah sahabat Nabi. Abu Musa al-Asy’ari juga sahabat Nabi. Keduanya berbeda pandangan dalam hal ini. Pendapat keduanya dalam usul al-fiqh disebut sebagai qaulus shahabi. Singkatnya ini adalah ijtihad para sahabat Nabi yang tidak disandarkan kepada Nabi. Artinya murni pemahaman mereka sepeninggal Nabi SAW.”
“Itu kalau kita memahami dari sudut usul al-fiqh. Kalau kita melihatnya dari sudut Fiqh Siyasah, maka keputusan Umar lebih kuat karena ia memutuskan dalam posisi sebagai khalifah, dan suka atau tidak suka, sebagai Gubernur bawahan Khalifah, Abu Musa harus ikut keputusan Umar. Namun keputusan Khalifah itu tidak otomatis dianggap ijma’ (kesepakatan) karena jelas ada perbedaan pendapat dikalangan sahabat.
Adapun catatan sejarah tentang beberapa khalifah yang memberikan jabatan politik kepada non-Muslim, maka data sejarah tersebut tidak dapat menjadi landasan dalil hukum Islam karena jelas sekali berseberangan dengan nash Al-Quran Hadits dan perilaku para Shahabat
Dengan kata lain, sikap Umar itu adalah kebijaksanaan beliau saat itu, yang seperti dicatat oleh sejarah, berbeda dengan kebijakan para Khalifah lainnya yang mengangkat non-Muslim sebagai pejabat seperti yang dilakukan oleh Khalifah Mu’awiyah, Khalifah al-Mu’tadhid, Khalifah al-Mu’tamid, dan Khalifah al-Muqtadir.” (nu.or.id)
Memang ada khilaf antar madzhab tentang Qaul Shahabat. Akan tetapi, jika dikatakan bahwa masalah larangan mengangkat pemimpin non-Muslim bukan ijma’ maka ucapan ini keliru karena beberapa hal.
Pertama, keputusan khalifah Umar untuk tidak mengangkat non-Muslim sebagai pemimpin juga diikuti oleh khalifah Ali dalam surat peringatannya kepada gubernur Umar bin Maslamah (al-Ya’qubi, al-Tarikh, juz 1 hlm. 189), dan secara praksis kebijakan ini diikuti oleh seluruh Khulafa Rasyidun. Kedua, kebijakan hukum Khulafa Rasyidun tersebut sudah dianggap sebagai ijma’ dan dapat menjadi hujjah karena tidak ada shahabat yang menentang kebijakan tersebut. (lihat: Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, juz 1 hlm. 491) Ketiga, Abu Musa al-Asy’ari menerima keputusan khalifah Umar tersebut setelah mengetahui dalil yang jelas yakni dari QS. Al-Maidah: 51, bukan karena terpaksa sebagai seorang bawahan khalifah.
Oleh karena itu, klaim pejuang pimpinan beda agama bahwa tidak ada ijma’ tentang keharaman mengangkat pimpinan dari non-Muslim keliru dan tidak sesuai fakta.
Adapun catatan sejarah tentang beberapa khalifah yang memberikan jabatan politik kepada non-Muslim, maka data sejarah tersebut tidak dapat menjadi landasan dalil hukum Islam karena jelas sekali berseberangan dengan nash Al-Quran Hadits dan perilaku para Shahabat.
Terkait hal ini, penulis kitab al-Ayyubiyyun ba’da Shalah al-Din menjelaskan, “Adapun pada masa pemerintahan Sultan Kamil maka pelaksanaan al-wala wa al-bara’ lemah sekali. Hal ini terlihat dari kebijakan menyerahkan al-Quds kepada Kaisar Frederick II dengan imbalan emas dan tanpa ada perlawanan sama sekali. Sontak hal ini menjadikan kaum Muslim sangat kecewa, menyesal, dan sedih tiada terkira. Sultan Kamil juga menjalin hubungan diplomasi dengan kaum Kristen untuk menyerang saudaranya Mu’azham yang menjalin diplomasi dengan kaum Khawarizm.
Seperti halnya juga Sultan Najmuddin Ismail yang menjalin hubungan bilateral dengan Pasukan Salib, menyerahkan salah satu benteng pertahanan kepada mereka, dan memenjarakan Syaikh Ibn Abdissalam dan Ibn Hajib selama beberapa waktu kemudian memberikan mereka status tahanan rumah. Sultan Najmuddin juga bekerjasama dengan Pasukan Salib memerangi Sultan Shalih Najmuddin Ayyub yang menentang penyerahan al-Quds…” (al-Ayyubiyyun ba’da Shalah al-Din, juz 2 hlm. 412). Bersambung. [syahid/voa-islam.com]