Oleh: Dwi Endang Rosilawati, ST (Aktivis Dakwah Bandung)
Ketegangan yang terjadi antara tentara India dan Pakistan di perbatasan yang dipersengketakan di Khasmir sejak Senin (31/10) hingga awal November lalu, sedikitnya menewaskan 14 orang. Kerusuhan telah memperparah konflik dua negara yang memiliki senjata nuklir ini. Kedua negara berlomba memperkuat kekuatan militer, saling menarik diplomat masing-masing, saling memboikot aktris atau aktor yang berasal dari Pakistan atau sebaliknya, hingga saling melempar tuduhan siapa yang melanggar kesepakatan genjatan senjata 2003. Padahal, baru pada Juli lalu, Khasmir berdarah ketika 30 orang warga sipil terbunuh dan 350 lainnya terluka, saat memprotes pembunuhan Burhan Wani oleh rezim India.
Hal ini mendorong Menteri Luar Negeri Pakistan, Aizaz Ahmed Chaudhry, mendesak masyarakat internasional dan khususnya Anggota Tetap Dewan Keamanan untuk memperhatikan gravitasi dari situasi di Kashmir, memanggil India untuk menghormati hak asasi manusia rakyat Kashmir dan melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB pada Jammu dan Kashmir. Namun, apa yang terjadi awal November lalu merupakan jawaban bahwa resolusi-resolusi yang melibatkan Dewan Keamanan bukanlah solusi untuk menghilangkan ketakutan dan penderitaan rakyat Khasmir.
Paparan sejarah telah membuktikan bahwa jalan diplomasi yang menghasilkan resolusi-resolusi hanyalah mengokohkan hagemoni India terhadap kaum muslim. Sejak konflik Kashmir berkobar tahun 1947, telah berkali-kali dikeluarkan resolusi oleh Dewan Keamanan PBB. Pada tanggal 13 Agustus 1948, resolusi pertama tentang genjatan senjata dikeluarkan. Setahun berikutnya, tanggal 5 Januari 1949 India dan Pakistan menerima resolusi untuk menarik mundur pasukan. Namun, India menolak untuk menarik mundur. Pada tanggal 14 Februari 1957 resolusi lain dikeluarkan oleh Dewan Keamanan yang menegaskan perlunya penarikan tentara India dari provinsi itu. Namun, seperti biasa, negeri itu mengabaikan resolusi, dan berkolusi dengan Inggris. Kemudian, India mulai mempelajari gaya dan cara yang digunakan oleh kaum tiran untuk melemahkan Islam dan kaum Muslim.
Maka, pada tahun 1965 India mengirimkan sebuah delegasi yang terdiri dari para pakar ke Spanyol untuk belajar bagaimana kaum Muslim dienyahkan di Andalusia setelah jatuhnya Granada. India juga mengirim duta besarnya di Moskow, ibu kota negara telah berhasil melenyapkan karakter Islam pada sebagian besar diri kaum Muslimin di wilayah Uni Soviet. Kemudian, otoritas India mempererat kerjasamanya dengan negara Yahudi pasca keberhasilan mereka merampas Palestina, dan mulai mempelajari rencana-rencana orang-orang Yahudi yang digunakan untuk melakukan pembunuhan massal terhadap Muslim.
Upaya India menjauhkan kaum Muslim Khasmir dari Deen Islam, tidaklah membuahkan hasil. Setiap serangan ganas otoritas India baik secara fisik dan maupun pemikiran terhadap kaum muslim malah semakin meningkatkan ketaatan dan loyalitas kaum muslim semakin kuat. Hal ini memicu kejahatan India semakin ganas. Pada tahun 1989, otoritas India melakukan pembunuhan massal yang mengakibatkan syahidnya 25 ribu orang. Kejahatan otoritas India terus berlangsung, tercatat dalam data statistik yang dikeluarkan PBB tahun 1990-1998 total korban kaum Muslim sebagai berikut: 63.275 mati syahid setelah dibunuh dengan tembakan bersenjata; 775 orang politisi, ulama dan imam masjid dilenyapkan; 3370 mati syahid dengan cara disiksa sampai mati; 81.161 orang dijebloskan dalam penjara tanpa sidang pengadilan; ratusan ribu orang terluka dan hilang.
Laporan-laporan dari organisasi internasional dipenuhi dengan laporan kekejaman yang dilakukan India di Kashmir, seperti laporan dari Amnesty International yang dikeluarkan pada tanggal 6 Februari 1999. Perang pemikiran juga terus terjadi, penyesatan opini dan kampanye intensif melawan nilai-nilai Islam dilakukan dengan cara memperkenalkan alkohol, menghentikan pembelajaran Al Qur’an, penekanan angka kelahiran melalui program KB, dan digulirkannya undang-undang perkawinan campuran anatara Muslim dan Hindu.
Inilah Kashmir yang menderita dan masih menderita atas kekejaman barbar yang dilakukan oleh tentara India dan polisinya terhadap Muslim di sana. Masalah ini terlihat sama dengan masalah di Palestina. Orang-orang Hindu menduduki Kashmir, pada saat yang sama ketika orang-orang Yahudi dan Palestina menduduki Palestina dan mendirikan sebuah negara di sana. Penguasa-penguasa Pakistan telah mengabaikan Kashmir dari segi perlindungan dan kemerdekaan wilayah itu dengan cara yang sama yang dilakukan oleh para pemimpin Arab disekitar Palestina atas negeri Palestina.
Pakistan dalam waktu yang lama, semenjak tahun 1947, yang merupakan tahun pemecahan (anak benua India) dan kemerdekaan (Pakistan), sampai tahun 2003, menyerukan pelaksanaan resolusi-resolusi internasional dan memberikan masyarakat Kashmir hak untuk menentukan nasib mereka sendiri. Namun, India terus menolak resolusi-resolusi ini sebagaimana yang dilakukan Israel.
Nestapa yang menimpa kaum Muslimin saat ini pada dasarnya adalah karena hilangnya kepemimpinan global, Khilafah Rasyidah yang dapat meruntuhkan keangkuhan kaum tiran penjajah di seluruh dunia sebagaimana yang terjadi pada masa lalu. Inilah yang harus diperjuangkan kaum Muslimin di seluruh dunia. Dalam skala konflik Kashmir, secara mutlak pemerintahan Pakistan harus menghilangkan loyalitasnya pada antek penjajah, terlebih cara diplomasi telah gagal mencapai tujuan selama kurun waktu lebih dari setengah abad. Selain itu, diperlukan kesadaran dan tindakan aktif kaum Muslim di wilayah Pakistan untuk menegakkan kehidupan Islam dalam naungan Khilafah yang dapat menerapkan Islam secara sempurna. Ini bukan hal yang mustahil bagi kaum Muslim dengan adanya iman yang kuat, keteguhan, keyakinan serta kesadaran untuk membebaskan diri dari penjajahan.
Kashmir memang merupakan tanah Islam, sebagaimana seluruh wilayah India. Karena Khilafah Islam telah menaklukkan wilayah itu dalam abad pertama Hijriah. Maka, negeri itu dapat membawa Kashmir kembali dalam otoritas Islam dan anak benua India. Negara itu juga dapat menghapus penindasan, kesewenang-wenangan dan tindakan kejam dari orang Hindu dan pengikutnya terhadap kaum Muslim. Pakistan sendiri mampu melakukannya, saat seorang penguasa yang tulus, seorang khalifah yang lurus yang memerintah dengan hukum Allah, memimpin dan berjuang bersamanya melawan musuh-musuh Allah.
Pakistan mempunyai sumber daya yang diperlukan untuk berdirinya Khilafah Rasyidah yang akan dapat merebut kembali kekuasaan kaum Muslim dan membebaskan mereka dari bencana yang menimpa mereka siang dan malam, dan bukan dari tangan orang-orang kafir saja, tetapi juga dari tangan penguasa-penguasa boneka, yang menyia-nyiakan angkatan bersenjatanya untuk memerangi saudara-saudara Muslim sendiri di mana-mana, sehingga melindungi kepentingan Amerika dan India.
Inilah saat yang tepat bagi kaum Muslimin menyalakan obor kebangkitan, mengibarkan dengan tinggi panji Khilafah, panji la ilaha illa Allah, Muhammadun Rasulullah. Allah swt. berfirman,
وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa,” [QS 22:40]
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!”.(QS. Annisa: 75)
Wallahu’alam bi ashshawwab. [syahid/voa-islam.com]