View Full Version
Sabtu, 03 Dec 2016

Kasus Penistaan Agama, Bukan Soal Dikotomi Masalah

 

Sahabat VOA-Islam...

Sabtu, 19 November 2016, Pusat Studi Politik dan Keamanan UNPAD (PSPK UNPAD) menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Penistaan Agama dan Politik Keindonesiaan”.

Diskusi tersebut dihadiri beberapa narasumber diantaranya, Achyar Al Rasyid (Ketum HMI Badko Jabar), Dr. Leo Agustino (Akademisi UNTIRTA), Farid Wajdi (HTI), dan Dr. Muradi (Kaprodi Imu Politik Pasca Sarjana FISIP UNPAD). Dalam tema pembahasan diskusi kali ini tampaknya terdapat perbedaan pandangan dalam memandang persoalan, yang penulis simpulkan terdapat dua pandangan yang menjadi garis bersarnya.

Pertama, memandang bahwa persoalan Ahok menyoal penistaan agama merupakan satu lajur persoalan yang mesti dituntaskan. Kedua, Pandangan bahwa persoalan Ahok ini tidak datang satu lajur, akan tetapi terkoptasioleh Undang-Undang, hal ini sebagaimana disampaikan oleh Dr. Muradi yakni persoalan politik dan persoalan hukum. Untuk menelaah hasil daripada diskusi ini, tentu paparan dari Dr. Muradi menjadi pembuka atas kebuntuan diskusi yang tidak berkesimpulan akhir dalam menyamakan persepsi ini.

Dr. Muradi menyatakan bahwa dirinya bersepakat untuk mengawal ketika Ahok telah ditersangkakan dalam proses hukum. Namun demikian, tidak bisa diabaikan pula bahwa Ahok memiliki hak politiknya sebagai calon gubernur untuk maju ke Pilgub DKI Jakarta. Persoalan ini menjadi tumpang tindih, tatkala ada benturan menyoal persoalan politik dan persoalan hukum. Kiranya dua hal ini terdikotomi sehingga tidak menemukan titik temu kecuali harus diamini atas nama sebuah legitimasi undang undang.

Alasannya adalah, Ahok dan Djarot sudah ditetapkan oleh KPU sebagai Cagub dan Cawagub DKI sehingga berimplikasi seabgai hak politik bagi mereka. Aturan tersebut menurutnya tertuang dalam Pasal 88 Peraturan KPU No 9 Tahun 2016 tentang PILKADA. Anggapan ini tentu saja terlihat menjadi problem baru, dan mengganjal problem lama dalam upaya cepat penahanan Ahok akan tetapi terganjal dengan undang-undang itu sendiri. Terlhiat dari sini adalah hambatan dalam lajur berfikir Pak Muradi dengan mendiamkan ketumpangtindihan undang-undang itu.

Padahal, terganjalnya penahanan Ahok dengan dalih Undang-Undang semestinya mengarahkan kepada dua persoalan. (1) persoalan tumpang tindihnya hukum yang tidak sama sekali melucuti Ahok dikarenakan kecacatannya menistakan Agama namun masih tunggang-langgeng berjalan ketampuk kekuasaan, (2) Posisi hukum sebagai pihak tertinggi diatas politik untuk menjadikan rujukan keadilan.

Kiranya dikotomi antara politik dan hukum telah mengkerdilkan hukum sebagai panduan utama dalam pokok pembahasan ini, walaupun disaat yang sama Muradi melegitimasikan dua soal tersebut (Hak politik dan Proses Hukum) kepada Undang-Undang. Akan tetapi pendikotomian tersebut meruntuhkan keadilan hukum sebagai pihak tertinggi yang mengkoordinir kekuasaan (politik) dan upaya mengadili itu sendiri sebagai fungsi daripada Penegakan Hukum untuk memutuskan perkara dalam konteks ini adalah penistaan Agama yang dilakukan oleh Ahok.

Jika dikotomi itu dibenarkan dan terus untuk diamini atasnama undang-undang, hal yang terjadi adalah politik secara hirarki menjadi pihak tertinggi atas hukum. Hal ini tidak terlepas dari paradigma politik yang berprinsip kepada ‘jalan memperoleh kekuasaan’. Prinsip yang mendasari politik pun telah tercedrai oleh hegemoni kepentingan pribadi, oportunistik dan materialis yang tersandera oleh kepentingan sesaat. Akhirnya, politik semacam ini tidaklah menjadikan hukum sebagai panduan, akan tetapi politik tersebut menjadikan kepentingan pribadi sebagai panduan.

Apa jadinya jika politik bersandar pada kepentingan pribadi dan disaat yang sama Hukum berjalan dibawah politik secara hirarkis? Tentu saja hukum berada pada kontrol politik yang menghendaki adanya kesewenang-wenangan memperebutkan kekuasaan semata! Alhasil, Hukum yang digunakan untuk mengadili perkara bersandar kepada kepentingan individual tertentu, mungkin lebih melunak sedikit sebagai kepentingan hasil irisan yang mengakomodasi kelompok-kelompok tertentu.

Hal ini tidak terlepas dari pola sistemik lahirnya undang-undang yang berangkat pada ruang parlemen, Undang-undang diloloskan berdasarkan kesepaktan mayoritas yang tegak diantara minoritas rakyat yakni DPR itu. Dengan posisi seperti itu, sangat sulit menjamin kepastian hukum, sulit pula menjamin tafsiran hukum. Karena dalam penafsiran hukum ada beberapa tahap dalam olah penafsiran, sejak penafsiran otentik hingga penafsiran melalui ilmu hukum yang semuanya menuai keterbatasan dalam tata bahasa kita dewasa ini dalam upaya menafsirkan hukum.

Namun demikian, tidak heran ketidakpastian hukum ini dengan implikasinya hukum yang tumpang tindih tampak dilegitimasikan sebagai pembenaran atas dalih undang-undang yang mutlak. Sehingga walaupun hukum semerawut apapun, pada initnya harus ditaati dikarenakan inilah undang-undang sebagai titik yang dianggap sudah final walau ironisnya konstitusi diamandemen, merubah negara!

Selain dikotomi antara hukum dan politik yang berparadigma mencari kekuasaan semata, keterpisahan yang menyebabkan politik diatas hukum menghasilkan realitas lain dalam tatanan pemerintahan yang ada saat ini, dan kontraproduktif dengan konsepsi pemerintahan secara teoritis. Realitas lain itu adalah fenomena kelompok dominan yang mampu menggerakan hukum. Kelompok ini menjadi segmentasi yang dilindungi negara bahkan representasi dari negara.

Jika semua telah diatur oleh kelompok ini (kelompok yang memiliki wewenang sekehendak dirinya dalam makna politik mencari kekuasaan) akhirnya kelompok ini menggenggam kewenangan tertinggi atau kekuasaan tertinggi dalam memutuskan segala perkara atau menjadikan undang-undang sebagai kepanjangan tangan dalam merealisir kepentingannya. Hingga dapat disimpulkan secara sederhana, keadilan tegak diatas segmentasi kelompok ini, kelompok politik dengan paradigma materialis tadi.

Hukum yang bersandar kepada politik hasil dikotomi inilah yang digunakan dalam mengadili penistaan Al-Quran. Walaupun demikian terjadi kesalahan pula memposisikan ‘nista’ dalam perspektif ini. Memposisikan ‘nista’ bagi publik dewasa ini terjebak dengan akar rumput yang berangkat dari dikotomi antara agama dan politik, satu sisi dalam ranah pembentukan kesepakatan publik dipisahkan antara hukum dan politik.

Dua hal ini menjadi kekacauan yang begitu parah dalam mengetaskan masalah yang ada. Keterpisahan agama dan politik dalam hal ini (Islam) telah menjamin bahwa politik tidak bersandar pada Islam, namun bersandar kepada kesewenang-wenangan hegemoni yang dominan itu. Mereka yang berpolitik, Oportunis. Demikian pula dengan hukum yang mengikutinya. Alhasil, jelaslah pihak yang ditinggikan adalah aktor politik yang secara legal menduduki tampuk kekuasaan ini secara struktural pemerintahan yang berlaku, yakni aparatur pemerintahan dan segenap hukum yang ada dan diberlakukannya.

Dengan keterpisahan antara politik dan Agama, penempatan ‘nista’ hanya sampai pada ruang Agama dalam konteks identitas hidup. Inilah yang dimaksud oleh Ketua Umum HMI Jawa Barat, Achyar Al-Rasyid. Alhasil, penyematan ini terjebak dengan hirarki kekuasaan tertinggi yang ada, yakni kesewenang-wenangan penguasa yang menguasai dan memerintah secara sewenang-wenang dengan ketidakadilannya. Alhasil, Penistaan ini harus diadili tegak diatas ketidakadilan dimana hukum bersandar kepada sebuah kepentingan politik yang telah terdikotomi tadi.

Memang benar, ada konteks lain bagi Agama (Islam) sebagaimana disebutkan oleh Achyar menyoal Islam sebagai cara hidup tidak hanya identitas hidup. Namun demikian, dikotomi antara agama dan politik telah menghancurkan Islam dalam konteks yang kedua ini, yakni cara hidup. Sehingga, Nista hanya tersudut pada ruang identitas semata, jika identitas tersebut dihina maka kemarahan atas nama identitas dapatlah tersulut. Walaupun demikian (Bagi Muslim yang sadar) hal itu selaras dengan arahan Agama (Islam) sehingga dapat menahkodai emosional menjadi wujud kesadaran bahwa menetang penghinaan atas Agama adalah diwajibkan Agama.

Memandang kenistaan semata-mata karena direndahkannya secara identitas hidup tak ubahnya penghinaan yang sifatnya rasis, menghina kesukuan dan identitas lainnya. Itulah mengapa, kata ‘Nista’ dewasa ini telah terjebak dalam pusaran ucapan ahok semata dan digiring untuk kepentingan politik yang mempolitisir proses hukum yang ada.

Politik, Hukum dan Agama (Islam) dalam konteks ini semestinya tidak didikotomikan agar penuntasan problem menjadi jelas. Terlebih memenjarakan pembahasan dengan dalih kebhinekaan. Ust. Farid Wadji menegaskan tentang pembenturan antara kebhinekaan dan Islam (perspektif Agama) bahwa dirinya memandang alasan ini selalu digunakan sebagai pijakan menentang tuntutan keadilan hukum atas komunitas Muslim. Tentu saja hal ini rentan dalam menyelewengkan upaya mengetaskan problem dan memalingkan keadilan kepada sebuah ketidak adilan lagi. Dalih kebhinekaan seringkali disematkan dengan budaya dan keberagaman.

Namun soalnya adalah apa yang menjadikan kebiasaan itu eksis dan terbentuk? Bagaimana menjamin bahwa budaya tidak berubah? Tentusaja semuanya bermuara kepada Negara yang baginya mengemban sebuah misi dalam pembentukan karakter bangsa termasuk pembentuk atas sistem sosial, kebiasaan dan mengadatistiadatkan sebagai budaya. Walaupun kenampakan simbol, tari-tarian dan sebagainya ada, namun yang menjadi adat istiadat dewasa ini sebagai kebiasaan dan cara hidup tiadalain adalah arus globalisasi dan nilai-nilai asing yang terus menyerbu bangsa Indeonsia.

Namun, bila kondisi demikian dijadikan legitimasi atas diabsahkannya politik keindonesiaan, tentu menjadi terang eksistensi negara telah dirasuki politik oportunis yang membentuk tatanan masyarakat menjadi materialis secara mayoritas publik. Hingga membentuk pandangan publik yang materialis pula. Kondisi ini menceraiberaikan persatuan, merampaskan kedaulatan, merampas keadilan dan menghendaki kesejahteraan bagi kelompok tertentu semata, alih-alih menjadi bejana pembahasan yang benar justru telah menafikan cita-cita Bangsa yang disampaikan oleh Pak Leo, bahwa Visi Keindonesiaan adalah: Negara seahtera, Bersatu, Berdaulat dan menjadi negara Adil. Realitas itulah yang menjadi persoalan salah kaprah demi membatasi pandangan akan penistaan agama ini yang memperumit pembahasan yang dikotomis.

Tampaknya Hirarki ketiganya menyoal Hukum, Politik dan Agama harus keluar dari hegemoni kepentingan aktor politik oportunis dan penjara budaya yang sejatinya dibentuk oleh sistem. Dalam pengertian ini, haruslah kita mendudukan kembali realitas kedudukan tertinggi itu agar menjadi dasar tegaknya keadilan dalam mengadili problem penistaan Agama ini. Secara sederhana, jika yang hendak diadili adalah segenap rakyat dan apapun aktor itu terkategori rakyat dan rakyat adalah himpunan manusia, dengan sangat adil kita menilai bahwa pastilah keadilan itu tidak boleh datang diantara himpunan manusia itu barang seorang pun yang dijadikan alat mengadili segenap himpunan manusia itu.

Alhasil, sesuatu yang dari luar pun mesti ada dan pasti ada. Itulah mengapa adanya sang Pencipta. Konsekuensinya adalah memposisikan Al-Quran sebagai sumber hukum dikarenakan Al-Quranlah yang menjadi seruang dari sang Pencipta itu, Pencipta himpunan manusia yang ada dijagad dunia. Maka, dalam gambaran realitas kedudukan tertinggi ini yang ditempatkan dan semestinya tertempatkan kepada Pencipta, Kekuasaan (Politik) mestilah berangkat dari segmentasi masyarakat yang berkeyakinan akan Al-Quran, merekalah komunitas Muslim.

Jika Komunitas Muslim menjadi segmentasi yang teryakini keabsahannya, dan ide-idenya adalah kebenaran yang menjadi rujukan atas problem kehidupan, maka negara mestilah tegak diatas ini, mengemban politik diatas sumber hukum Al-Quran. Artinya, kekuasaan diemban dalam rangka memberlangsungkan hukum-hukum yang ada didalam Al-Quran sebagai upaya perealisasian dari kehendak Pencipta itu melalui entitas hukum yang mengoperasionalkannya, yakni Negara. Disinilah posisi Akhyar dalam menilai bahwa Agama dalam konteks Islam tidak hanya bicara konteks identitas hidup akan tetapi bicara tentang cara hidup.

Tentu saja, cara hidup Islam telah ditunjukan baik melalui Al-Quran maupun 3 sumber hukum lainnya yakni As-Sunnah, Ijma Sahabat dan Qias. Yang bilamana ini terimplementasikan oleh Negara, cara hidup Islam akan teralisasi. Islam sebagai metodologi kehidupan dalam mengentaskan problem lainnya.

Bila telah terang rupanya Islam bicara cara kehidupan, akan tetapi cara kehidupan yang dilangsungkan saat ini bukanlah bersumber dari dasar yang menegakan keadlian secara murni yakni dari sumber yang dikehendaki Pencipta, maka tentu saja cara hidup yang berlangsung memberangus eksistensi kebiasaan yang mesti diadopsi oleh komunitas Muslim. Cara Hidup itulah yang dibentuk oleh hegemoni politik oportunis hasil pendikotomian itu, yang semuanya menopang komunitas kapital, negara sebagai representasi kapital.

Akhirnya Negara memberangus, menistakan Muslim tidak hanya secara identitas, tapi menghinakan dengan mengubah tata aturan kehidupan bagi Muslim. Jika demikian, jelaslah telah ada upaya meruntuhkan kedudukan kekuasaan tertinggi dari lajur komunitas Muslim yakni menuju Pencipta untuk dipalingkan dan ditegakan atas kepentingan kelompok maupun individual dalam merampas kedaulatan.

Skema ini telah menjelaskan kepada kita mengenai integrasi Hukum, Politik dan Agama (Islam) dalam lajur yang mestinya saling menjadi kesatuan dan tidak dijadikan alat pembenaran demi kepentingan politik oportunis itu. Disinilah kiranya problem Nista diposisikan. Kenistaan itu adalah ketika komunitas Muslim tidak mulia dihadapan Penciptanya dikarenakan ada upaya untuk memalingkannya, memerintahnya dengan selain apa yang diturunkan oleh Pencipta sendiri.

Itulah kehinaan yang mutlak dan mesti ada upaya memuliakan komunitas Muslim ini dengan menerapkan Al-Quran sebagai sumber hukum bagi kehidupan bernegara yang hanya dapat diterapkan oleh Negara berbasis Ideologi Islam, yakni Khilafah Islamiyyah. [syahid/voa-islam.com]

 

Oleh: Muslim Analyze Institute


latestnews

View Full Version