Oleh: Zaqy Dafa (Pemerhati Pemikiran Islam)
Dalam pembahasan Sejarah Kebudayaan Islam yang beredar di dunia akademik kita dapat dengan mudah menemukan catatan sejarah tentang peristiwa Tahkim (diplomasi) antara Abu Musa al-Asy’ari sebagai perwakilan pemerintah Islam di bawah pimpinan Khalifah Ali, dengan Amr bin Ash sebagai perwakilan dari kelompok oposisi dimana Muawiyah termasuk di dalamnya.
Dalam pandangan sejarah kita, seringkali dikesankan bahwa peristiwa tahkim tersebut merupakan pelengseran kekuasaan Khalifah Ali dari jabatannya dan pengangkatan Muawiyah sebagai Khalifah umat Islam, sehingga timbul kesan seakan-akan Muawiyah merupakan sosok yang haus kekuasaan dan menggelorakan perang Shiffin hanya untuk berkuasa. Sering juga disebutkan bahwa Abu Musa al-Asy’ari sebagai perwakilan Khalifah Ali hanyalah seorang ahli ibadah dan bukanlah orang yang cakap dalam berpolitik, sehingga mudah saja dia ditipu oleh Amr bin Ash yang memiliki watak licik dan pandai berdiplomasi.
Akibatnya, kesan-kesan diatas menimbulkan berbagai persepsi negatif terhadap para shahabat Nabi, dimana tergambarkan bahwa para shahabat saling serang dan menipu untuk mendapatkan kekuasaan.
Banyak tertulis dalam buku-buku Sejarah Kebudayaan Islam yang beredar baik di kalangan sekolah maupun perguruan tinggi. Padahal, penceritaan sejarah shahabat semacam ini dapat menimbulkan persepsi negatif kepada pembaca terhadap para shahabat yang secara akidah Islam Ahlussunnah wa Jamaah dijamin kemuliaannya oleh Allah Ta’ala.
Penafsiran sejarah diatas sebenarnya merupakan pembodohan besar terhadap sejarah Islam dan perusakan yang nyata terhadap kemuliaan para shahabat Alaihim al-Salam. Jika mau menelaah lebih lanjut dalam berbagai literatur kitab-kitab sejarah Islam, maka kita akan menemukan fakta yang sangat berbeda.
Dilengser karena Melindungi Darah Umat Islam
Kita mulai dengan meneliti sosok Abu Musa al-Asy’ari. Dalam al-‘Awashim min al-Qawashim, Qadli Abu Bakr Ibn Arabi menyebutkan bahwa Abu Musa al-Asy’ari merupakan figur shahabat Rasulullah yang sangat bertakwa, cerdas, ahli hukum Islam, dan berwawasan luas. Karena kecerdasannya tersebut Khalifah Ali menunjuknya sebagai gubernur Kufah sebagai salah satu daerah metropolitan Khilafah Islam saat itu.
Akan tetapi, setelah peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman oleh para pemberontak, kota Kufah pun menjadi basis pertahanan kaum pemberontak dan masyarakatnya ditekan dengan berbagai propaganda agar bersedia ikut dalam kudeta militer yang telah direncanakan. Pada waktu itulah Abu Musa al-Asy’ari tampil untuk meredam ketegangan tersebut dan melarang warganya mengikuti propaganda kelompok pemberontak agar tidak terjadi pertumpahan darah antar umat Islam sendiri. Kebijakannya ini terinspirasi dari sikap Khalifah Utsman yang rela dirinya sendiri yang dibunuh oleh pemberontak dan tidak mau mengerahkan militer untuk menumpas mereka, karena tidak ingin umat Islam saling bunuh satu sama lain.
Keyakinan bahwa shahabat merupakan pribad-pribadi yang baik dan patut menjadi teladan umat Islam harus tetap ditanamkan dalam hati, selain karena Allah Ta’ala telah menetapkan fakta sejarah yang memang demikian adanya
Karena Abu Musa al-Asy’ari merupakan tokoh utama penentang propaganda kaum pemberontak, akhirnya mereka mengambil alih pemerintahannya dan mengusirnya dari Kufah. Akhirnya beliau pun pindah ke sebuah desa terpencil bernama Aradh yang jauh dari hiruk pikuk fitnah dan pertumpahan darah. Karena sikapnya yang sangat peduli terhadap keselamatan umat Islam ini, maka Khalifah Ali menugaskan kembali Abu Musa al-Asy’ari sebagai wakil pemerintah dalam perundingan tersebut. (Muhibuddin Khathib, Hamisy al-‘Awashim min al-Qawashim, hlm. 176)
Dari sini terlihat bahwa Abu Musa merupakan sosok yang sangat bijaksana dalam mengambil keputusan yang pro terhadap kehidupan umat Islam. Maka dari itu pernyataan sebagian sejarawan bahwa Abu Musa adalah orang yang bodoh dan tidak cakap berdiplomasi merupakan pernyataan yang tidak sesuai fakta dan tidak beradab.
Pengeliruan Sejarah Peristiwa Tahkim
Setelah mengenal sedikit profil dari Abu Musa al-Asy’ari, kita alihkan fokus kepada peristiwa Tahkim. Kisah tahkim yang seringkali ditulis dalam buku-buku sejarah di sekolah dan perguruan tinggi, bahwa setelah kekalahan kelompok pemberontak dalam perang Shiffin melawan militer pemerintahan Khalifah Ali, para pemberontak mengajukan jalur diplomasi untuk menyelesaikan tuntutan mereka dan akhirnya diterima oleh Khalifah Ali. Maka terjadilah perundingan antara dua kubu yang dinamakan Tahkim dan dilaksanakan di kota Daumatul Jandal, dengan Abu Musa al-Asy’ari sebagai wakil Khalifah Ali dan Amr bin Ash sebagai wakil pemberontak.
Setelah melalui berbagai perundingan, keduanya bersepakat untuk mencopot dua orang yakni Ali dan Muawiyah dari jabatannya. Amr bin Ash mempersilahkan Abu Musa untuk mendeklarasikan pencopotan Ali terlebih dahulu. Akhirnya beliau berkata, “Saya telah memutuskan untuk melepas Khalifah Ali dari perkara ini, dan agar kaum Muslimin dapat menyelesaikan ini, bersamaan dengan saya melepas pedangku ini dari sarungnya.” Akan tetapi, Amr bin Ash malah membalasnya dengan berkata, “Saya memutuskan untuk menetapkan Muawiyah dalam perkara ini, seperti halnya pedang ini tetap berada di dalam sarungnya.” Abu Musa pun tidak setuju dengan keputusan tersebut, namun Amr hanya berkata, “Ingat, kita sudah sepakat lho!” Karena peristiwa inilah maka terjadi perpecahan yang besar antar kaum Muslimin. (Abu Bakr Ibn ‘Arabi, al-‘Awashim min al-Qawashim, hlm. 177-178)
Melihat catatan sejarah diatas, ada yang perlu dikritisi lebih lanjut. Apabila dari kisah diatas lalu sebagian sejarawan menyimpulkan bahwa Muawiyah ‘menggarong’ jabatan kekhalifahan dari Ali maka akan sangat aneh karena beberapa hal. Pertama, jabatan khalifah tidak dapat diberikan begitu saja oleh satu orang dan harus melalui proses pemilihan umum secara kolektif. Maka dari itu, ucapan Amr bin Ash diatas tidak serta merta menjadikannya sebagai khalifah.
Kedua, setelah peristiwa Tahkim Sayyidina Ali tetap menjadi khalifah hingga beliau dibunuh oleh oknum pemberontak, lalu khilafah dijabat oleh putranya Sayyidina Hasan. Ketiga, tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan bahwa Muawiyah mendeklarasikan dirinya menjadi khalifah setelah peristiwa Tahkim. Beliau menjadi khalifah setelah diberi mandat kekhalifahan oleh Sayyidina Hasan.
Keempat, Muawiyah ikut dalam pasukan pemberontak dalam perang Shiffin bukan karena motif mencari kekuasaan, namun untuk membicarakan soal tuntutan shahabat terhadap darah komplotan pembunuh Khalifah Utsman. Karena itu kesimpulan bahwa tahkim merupakan upaya Muawiyah merebut kekuasaan politik merupakan kesimpulan yang mengada-ada dan akibatnya adalah pengeliruan sejarah serta pemburukan citra shahabat.
Kami meyakini bahwa Muawiyah memang tidak ada niatan untuk menggulingkan pemerintahan sah pada waktu perang Shiffin. Akan tetapi dukungannya terhadap kelompok kudeta merupakan kebijakan yang keliru, karena perang tersebut telah menimbulkan instabilitas negara dan banyaknya umat Islam yang terbunuh karena alasan yang sebenarnya dapat ditempuh penyelesaiannya melalui jalur diplomasi dan kerjasama. Memang diakui, propaganda para pemberontak yang didalangi Yahudi ini berhasil mempengaruhi pikiran banyak shahabat.
Selanjutnya, kita akan melihat komentar ulama mengenai peristiwa tahkim tersebut. Menurut pakar sejarah Islam, Abu Bakr Ibn Arabi, kisah sejarah tentang Abu Musa al-Asy’ari dibodohi oleh Amr bin Ash dalam peristiwa tahkim adalah cerita bohong yang dibuat-buat oleh orang-orang yang ingin menyelewengkan sejarah Islam. Beberapa riwayat dari ulama-ulama terpercaya berikut akan memberikan kesimpulan yang dapat menjawab kesan miring terhadap shahabat diatas.
Pakar Hadits ternama al-Daraquthni meriwayatkan pengakuan seorang shahabat bernama Hushain bin Mundzir, bahwa ketika Amr bin Ash melepas tuntutan Muawiyah (dan menyerahkan masalah kepemimpinan umat bersama Abu Musa kepada kebijakan kaum Muslimin, lihat: Muhibuddin Khathib, Hamisy al-‘Awashim min al-Qawashim, hlm. 180), Hushain bin Mundzir datang dan membuat tenda di dekat tenda milik Muawiyah. Ketika mendengar informasi tentang keputusan tahkim, Muawiyah lalu mengirim surat kepada Hushain untuk melaporkan apa yang sebenarnya terjadi.
Akhirnya Hushain mendatangi Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy’ari untuk mengkonfirmasi berita tersebut. Ia bertanya kepada Amr, “Ceritakan kepada saya, apa yang Anda dan Abu Musa lakukan kemarin?” Amr bin Ash menjawab, “Masyarakat ramai membincangkan hal ini. Demi Allah, yang terjadi tidaklah seperti yang mereka bicarakan.”
Hushain lalu bertanya kepada Abu Musa, “Bagaimana komentar Anda mengenai hal ini?” Abu Musa menjawab, “Pendapat saya Muawiyah tetap berada dalam kelompok yang diridhai setelah Rasulullah wafat (kelompok Ali).” Hushain bertanya lagi, “Lalu bagaimana seharusnya sikap saya dan Muawiyah?” Abu Musa menjawab, “Jika Anda berdua bersikap kooperatif dengan pemerintah maka pertolongan Allah bagi Anda, namun jika Anda tidak mau maka hati-hati jika Allah berlepas diri dari Anda berdua.”
Setelah mendapatkan konfirmasi dari pihak Amr dan Abu Musa, Hushain lalu mendatangi Muawiyah dan melaporkan berita tersebut. (Abu Bakr Ibn ‘Arabi, al-‘Awashim min al-Qawashim, hlm. 180)
Dari riwayat al-Daraquthni diatas, dapat kita tarik tiga kesimpulan. Pertama, Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy’ari telah mengklarifikasi sendiri rumor yang beredar di masyarakat bahwa Sayyidina Ali dilengserkan oleh kudeta dan Muawiyah diangkat sebagai khalifah. Kedua, Abu Musa menegaskan bahwa Muawiyah tetap mengakui kekhilafahan Ali setelah peristiwa tahkim dan mengajak beliau untuk tetap mendukung pemerintahannya. Dari sini dapat dilihat bahwa kisah diatas telah menepis tuduhan beberapa sejarawan bahwa Muawiyah merebut kursi pemerintahan Sayyidina Ali melalui peristiwa tahkim. Ketiga, tidak ada yang namanya penipuan atau tuduhan miring lain yang disematkan kepada Amr bin Ash, beliau tetap loyal kepada pemerintahan Khalifah Ali.
Ikhtitam
Ini merupakan satu titik kecil dari sejarah Islam. Masih banyak lagi catatan sejarah Islam yang perlu diteliti lebih seksama dan dicermati secara serius agar tidak menjadi mainan orang-orang yang ingin memburukkan citra Islam dan menyelewengkan umat Islam dari akidah dan worldview yang benar sesuai ajaran Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama.
Keyakinan bahwa shahabat merupakan pribad-pribadi yang baik dan patut menjadi teladan umat Islam harus tetap ditanamkan dalam hati, selain karena Allah Ta’ala telah menetapkan fakta sejarah yang memang demikian adanya. WaLlahu A’lam. [syahid/voa-islam.com]