View Full Version
Ahad, 18 Dec 2016

Aksi Bermartabat 212: Silent Majority dan Revolusi Putih

 

Oleh: Suhardi Sukiman

(Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Pemuda Hidayatulah)

SIAPAPUN yang hadir dengan hati pada “Aksi Super Damai Bela Islam III” 2 Desember lalu, tak akan mampu menyembunyikan sesuatu yang -mungkin- tak terbahasakan.

Sungguh ini tak pernah  mudah dijelaskan. Mendeskripsikannya apalagi, rasanya terlalu berat. Saya tiba-tiba seperti terlalu miskin perbendaharaan kosakata untuk mengurainya. Ini memang soal rasa.

Syahdu bercampur riuh ini adalah rasa yang tak mungkin bisa dipahami, apalagi diresapi, oleh mereka yang tak dibersamai nuraninya. Meminjam ungkapan Aa Gym, bagaimana mungkin ia bisa diyakinkan, sedangkan Firman Allah saja tidak diyakini dan diabaikan ketika dinista.

Pasti ada saja segelintir pencela yang selalu nyinyir soal rangkaian aksi damai bela Islam ini. Tabiat yang memang ada dalam manusia tertentu di setiap zaman sebagaimana telah disinyalir dalam firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an Surah Al Humazah [104]: 1-3

"Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.

Namun, terlepas itu, yang penting adalah gerakan tersebut telah meneguhkan satu hal bahwa golongan silent majority tak selamanya hanya memilih diam. Mereka akhirnya bersuara dan tumpah ruah memutihkan Jakarta di hari Jum'at berkah itu.

Meskipun mayoritas, golongan ini acapkali teraniaya dari kuasa yang tersistematisasi. Boleh jadi golongan tersebut selama ini hanya terpaku diam ketika ia menjadi korban fitnah, toh mereka menyadari menimpali beragam stigmatisasi itu pun tak mengurangi serangan yang diarahkan kepadanya.

Mereka terus saja diperlakukan bak duri dalam sekam. Roman golongan ini seringkali dipersonifikasi berwajah muram lagi garang dan diopinikan oleh media sebagai kaum radikal-intoleran.

Beragam asumsi itu memang kejam. Menyakitkan!!. Namun hal itu tak mematahkan komitmen mereka untuk terus membersamai umat, mengawal peradaban bangsa, merawat Pancasila dan kebhinnekaan, meneguhkan NKRI, dan tak lelah menyuarakan semangat toleransi dan keberagaman yang otentik.

Maka, ketika kemudian tiba-tiba mencuat pernyataan sensitif dari seseorang yang tak mengimani Al-Qur’an namun menyitirnya dengan narasi teks dan ujaran tendensius, golongan ini lalu terhenyak bahwa tak selamanya diam berarti emas. Mereka sadar, ada yang coba menodai kemajemukan kita. Terlebih ia adalah figur publik yang mestinya turut merawat khazanah kebangsaan tersebut.  

Mereka menolak kebhinnekaan dinodai. Golongan silent majority ini kemudian bangkit menegaskan bahwa perbedaan sejatinya dinikmati, namun tetap dibingkai dengan semangat universalisme bertoleransi yang menjunjung tinggi otentisitas setiap keyakinan religisitas setiap umat.

Golongan silent majority ini menyadari bahwa toleransi adalah kesadaran untuk memahami dan mengerti akan perbedaan sebab demikianlah kesejatian toleransi. Bukan toleransi berlandas pada partikularisme yang memaksa semua meleburkan diri dan mengharuskan campur aduknya perbedaan-perbedaan yang hakikatnya memang sudah berbeda.

Umat Islam sebagai umat mayoritas di negeri tercinta ini telah memperagakan cerminan toleransi yang tiada duanya di dunia. Hal itu misalnya dapat ditilik dari hasil penelitian Kementerian Agama (Kemenag) yang melakukan survei nasional kerukunan umat beragama (KUB) pada tahun 2015 lalu.

Kemenag merilis, dari 34 Provinsi yang diteliti, Nusa Tenggara Timur memiliki nilai indeks KUB tertinggi sebesar 83, 3 Persen. Lalu disusul Provinsi Bali dengan indeks KUB 81,6 Persen, Provinsi Maluku dengan Indeks KUB 81,3 Persen. Selanjutnya disusul Provinsi Kalimantan Tengah dengan indeks KUB 80,7 Persen. Tempat selanjutnya terdapat Sulawesi Utara dan Papua dengan indeks di atas 80 persen.

Semua wilayah peraih indeks tertinggi tersebut memang relatif berpenduduk minoritas muslim. Karenanya, secara tidak langsung survei tersebut sejatinya menegaskan betapa tingginya toleransi umat Islam.

Di manapun umat Islam minoritas dalam suatu kawasan, maka disitu pula aturan dipatuhinya dan dijunjung tinggi sehingga jarang atau bahkan tidak pernah terdengar umat Islam melabrak regulasi yang telah disepakati.

 

Revolusi Putih​

Aksi damai 212 sekali lagi telah menyisakan haru biru dan kesan heroisme mendalam di benak tidak saja bagi para alumninya, melainkan juga umumnya masyarakat Indonesia. Bahkan respon positif dunia internasional mengalir tak tertahan.

Aksi sebelumnya, 411, sempat diklaim sebagai aksi unjuk rasa terbesar dalam sejarah Republik Indonesia. Ternyata jumlah massa aksi 212 lebih besar dari aksi damai 2 jilid sebelumnya. Bahkan disebut-sebut tiga kali lipatnya. .

Kecurigaan sebelum aksi yang menyebutkan shalat di jalan raya akan menimbulkan keganjilan bagi dunia Islam bahkan dituding sebagai bid’ah besar, nyatanya tidaklah demikian. Keluarnya fatwa tidak sah shalat Jum’at di jalan juga tak mendapat cukup perhatian dari umat sebab tema ini memang masih terjadi ikhtilaf di kalangan ulama.

Aksi ini malah menuai pujian dari berbagai penjuru. Benar-benar super damai. Jauh dari apa yang telah disangkakan sejumlah pihak termasuk media tertentu yang secara tendensius mengkonstruksi narasi peyoratif untuk tujuan demoralisasi dan mendemonisasi aksi namun di waktu bersamaan melakukan glorifikasi ke pihak lainnya.

Rasanya kita sepakat dengan istilah yang dicetuskan Koordinator Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI Ustadz Bachtiar Nasir, yang menyebut Aksi Super Damai Bela Islam Jilid III sebagai revolusi putih.

Revolusi putih, menurut Bachtiar, adalah aksi yang paling beradab dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia bahkan tak ada duanya di dunia yang telah menunjukkan kepada dunia tentang akhlak Islam yang terpuji.

Pengalaman penulis mengikuti aksi damai jilid 3 ini seakan tak pernah cukup untuk ditutur. Disinilah ditemukan pengalaman berharga yang akan selalu dirindu tentang indahnya persatuan, mulianya persaudaraan, eloknya kebersamaan, dan tingginya akhlak kaum muslimin.

Sejak keberangkatan menggunakan KRL menuju Stasiun Juanda, perjalanan telah dilingkupi dengan berbagai kejutan. Atasan putih yang kami kenakan membuat peserta lain tak berfikir lama dan menebak kita bagian dari peserta aksi. Kanan kiri pun terucap salam. Peron memutih didominasi massa di tengah hujan rintik nan sejuk.

Di atas KRL pun suasana tak jauh berbeda. Rangkaian dipadati massa putih-putih. Sebetulnya sangat padat, tapi entah yang terasa adalah kenyamanan. Orang-orang saling mempersilahkan dan mendahulukan (al itsaar).

Sampai di Stasiun Juanda sekitar pukul 07:00, umat sudah menumpuk. Sepanjang peron diulari peserta aksi. Uniknya, penumpang perempuan dan ibu-ibu selalu didahulukan dalam antrian meskipun tetap berdesakan karena penumpukan massa yang tidak dapat dihindari.

Meskipun demikian, tak ada lontaran sumpah serapah. Tak ada yang mengeluh. Sepanjang antrian dilantunkan shalawat Nabi. Khidmat jadinya. Kita layaknya rombongan besar yang berjejal seolah akan menghadiri hajatan keluarga. 

Di area Monas pagi itu sudah sangat padat. Kerumunan massa memadati semua titik kecuali taman-taman dan rerumputan. Setiap kali ada yang menginjak atau melintasi rumput langsung diingatkan.

Tak ada sampah berserakan. Semua orang sangat peduli dan memungut jika ada kotoran ditemui di arena. Sajadah dibagi-bagi gratis. Terpal-terpal dihamparkan. Semua berebut mempersilahkan jamaah yang datang duduk di atasnya. Benar-benar seperti suasana 1 Syawal. Semua wangi dan berpakaian putih bersih.   

Inilah akhlak Islam. Inilah sejatinya revolusi putih. Tampilnya insan penolong sesama, saling berbagi, saling menjaga, saling menasihati, saling menyebar salam dan melafazkan doa keselamatan dunia akhirat.

Inilah akhlak Islam. Inilah sejatinya revolusi putih. Pemimpin umat sangat dekat, penuh cinta dan ketulusan. Para pimpinan ormas saling menyatu dalam barisan Merah Putih yang tarikan nafas kehidupannya memancarkan kalimat “Laa Ilaaha Illallah” dalam satu kesatuan yang teguh.

Inilah akhlak Islam. Inilah sejatinya revolusi putih. Jutaan umat berbeda latar belakang dan berlainan harakah menyatu dalam kesyahduan persaudaraan. Saling menyapa dan duduk berdampingan dalam shaf-shaf yang kokoh. Mereka berbagi makan dan minum dalam satu wadah yang sama.

Inilah akhlak Islam. Inilah sejatinya revolusi putih. Umara duduk bersama rakyat dalam luruh menyelami kelemahan diri di hadapan-Nya dan hanya tunduk pada-Nya.

Inilah akhlak Islam. Inilah sejatinya revolusi putih. Ulama menjadi teladan. Ulama yang tak henti menyuarakan persatuan umat. Ulama yang terus menuntun umat menuju jalan kebaikan dan keselamatan.  Ulama yang menegakkan Pancasila, merawat kebhinnekaan, dan siap korbankan jiwa untuk melawan penoda NKRI.

Jangan lagi umat ini seperti buih di lautan. Umat harus bersatu dalam nilai-nilai luhur ajaran Islam. Jika kita bersatu dalam bingkai ketakwaan dan iman, tak ada yang bisa mengalahkan. Inilah sebenarnya spirit terpenting dari Aksi Damai 1, 2, dan 3.

Itulah akhlak Islam. Inilah sejatinya revolusi putih! [syahid/voa-islam.com]

 

Oleh: Suhardi Sukiman 

(Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Pemuda Hidayatulah)

SIAPAPUN yang hadir dengan hati pada “Aksi Super Damai Bela Islam III” 2 Desember lalu, tak akan mampu menyembunyikan sesuatu yang -mungkin- tak terbahasakan.

Sungguh ini tak pernah  mudah dijelaskan. Mendeskripsikannya apalagi, rasanya terlalu berat. Saya tiba-tiba seperti terlalu miskin perbendaharaan kosakata untuk mengurainya. Ini memang soal rasa.

Syahdu bercampur riuh ini adalah rasa yang tak mungkin bisa dipahami, apalagi diresapi, oleh mereka yang tak dibersamai nuraninya. Meminjam ungkapan Aa Gym, bagaimana mungkin ia bisa diyakinkan, sedangkan Firman Allah saja tidak diyakini dan diabaikan ketika dinista.

Pasti ada saja segelintir pencela yang selalu nyinyir soal rangkaian aksi damai bela Islam ini. Tabiat yang memang ada dalam manusia tertentu di setiap zaman sebagaimana telah disinyalir dalam firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an Surah Al Humazah [104]: 1-3

"Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.

Namun, terlepas itu, yang penting adalah gerakan tersebut telah meneguhkan satu hal bahwa golongan silent majority tak selamanya hanya memilih diam. Mereka akhirnya bersuara dan tumpah ruah memutihkan Jakarta di hari Jum'at berkah itu.

Meskipun mayoritas, golongan ini acapkali teraniaya dari kuasa yang tersistematisasi. Boleh jadi golongan tersebut selama ini hanya terpaku diam ketika ia menjadi korban fitnah, toh mereka menyadari menimpali beragam stigmatisasi itu pun tak mengurangi serangan yang diarahkan kepadanya.

Mereka terus saja diperlakukan bak duri dalam sekam. Roman golongan ini seringkali dipersonifikasi berwajah muram lagi garang dan diopinikan oleh media sebagai kaum radikal-intoleran.

Beragam asumsi itu memang kejam. Menyakitkan!!. Namun hal itu tak mematahkan komitmen mereka untuk terus membersamai umat, mengawal peradaban bangsa, merawat Pancasila dan kebhinnekaan, meneguhkan NKRI, dan tak lelah menyuarakan semangat toleransi dan keberagaman yang otentik.

Maka, ketika kemudian tiba-tiba mencuat pernyataan sensitif dari seseorang yang tak mengimani Al-Qur’an namun menyitirnya dengan narasi teks dan ujaran tendensius, golongan ini lalu terhenyak bahwa tak selamanya diam berarti emas. Mereka sadar, ada yang coba menodai kemajemukan kita. Terlebih ia adalah figur publik yang mestinya turut merawat khazanah kebangsaan tersebut.  

Mereka menolak kebhinnekaan dinodai. Golongan silent majority ini kemudian bangkit menegaskan bahwa perbedaan sejatinya dinikmati, namun tetap dibingkai dengan semangat universalisme bertoleransi yang menjunjung tinggi otentisitas setiap keyakinan religisitas setiap umat.

Golongan silent majority ini menyadari bahwa toleransi adalah kesadaran untuk memahami dan mengerti akan perbedaan sebab demikianlah kesejatian toleransi. Bukan toleransi berlandas pada partikularisme yang memaksa semua meleburkan diri dan mengharuskan campur aduknya perbedaan-perbedaan yang hakikatnya memang sudah berbeda.

Umat Islam sebagai umat mayoritas di negeri tercinta ini telah memperagakan cerminan toleransi yang tiada duanya di dunia. Hal itu misalnya dapat ditilik dari hasil penelitian Kementerian Agama (Kemenag) yang melakukan survei nasional kerukunan umat beragama (KUB) pada tahun 2015 lalu.

Kemenag merilis, dari 34 Provinsi yang diteliti, Nusa Tenggara Timur memiliki nilai indeks KUB tertinggi sebesar 83,3 Persen. Lalu disusul Provinsi Bali dengan indeks KUB 81,6 Persen, Provinsi Maluku dengan Indeks KUB 81,3 Persen. Selanjutnya disusul Provinsi Kalimantan Tengah dengan indeks KUB 80,7 Persen. Tempat selanjutnya terdapat Sulawesi Utara dan Papua dengan indeks di atas 80 persen.

Semua wilayah peraih indeks tertinggi tersebut memang relatif berpenduduk minoritas muslim. Karenanya, secara tidak langsung survei tersebut sejatinya menegaskan betapa tingginya toleransi umat Islam.

Di manapun umat Islam minoritas dalam suatu kawasan, maka disitu pula aturan dipatuhinya dan dijunjung tinggi sehingga jarang atau bahkan tidak pernah terdengar umat Islam melabrak regulasi yang telah disepakati.

 

Revolusi Putih​

Aksi damai 212 sekali lagi telah menyisakan haru biru dan kesan heroisme mendalam di benak tidak saja bagi para alumninya, melainkan juga umumnya masyarakat Indonesia. Bahkan respon positif dunia internasional mengalir tak tertahan.

Aksi sebelumnya, 411, sempat diklaim sebagai aksi unjuk rasa terbesar dalam sejarah Republik Indonesia. Ternyata jumlah massa aksi 212 lebih besar dari aksi damai 2 jilid sebelumnya. Bahkan disebut-sebut tiga kali lipatnya.

Kecurigaan sebelum aksi yang menyebutkan shalat di jalan raya akan menimbulkan keganjilan bagi dunia Islam bahkan dituding sebagai bid’ah besar, nyatanya tidaklah demikian. Keluarnya fatwa tidak sah shalat Jum’at di jalan juga tak mendapat cukup perhatian dari umat sebab tema ini memang masih terjadi ikhtilaf di kalangan ulama.

Aksi ini malah menuai pujian dari berbagai penjuru. Benar-benar super damai. Jauh dari apa yang telah disangkakan sejumlah pihak termasuk media tertentu yang secara tendensius mengkonstruksi narasi peyoratif untuk tujuan demoralisasi dan mendemonisasi aksi namun di waktu bersamaan melakukan glorifikasi ke pihak lainnya.

Rasanya kita sepakat dengan istilah yang dicetuskan Koordinator Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI Ustadz Bachtiar Nasir, yang menyebut Aksi Super Damai Bela Islam Jilid III sebagai revolusi putih.

Revolusi putih, menurut Bachtiar, adalah aksi yang paling beradab dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia bahkan tak ada duanya di dunia yang telah menunjukkan kepada dunia tentang akhlak Islam yang terpuji.

Pengalaman penulis mengikuti aksi damai jilid 3 ini seakan tak pernah cukup untuk ditutur. Disinilah ditemukan pengalaman berharga yang akan selalu dirindu tentang indahnya persatuan, mulianya persaudaraan, eloknya kebersamaan, dan tingginya akhlak kaum muslimin.

Sejak keberangkatan menggunakan KRL menuju Stasiun Juanda, perjalanan telah dilingkupi dengan berbagai kejutan. Atasan putih yang kami kenakan membuat peserta lain tak berfikir lama dan menebak kita bagian dari peserta aksi. Kanan kiri pun terucap salam. Peron memutih didominasi massa di tengah hujan rintik nan sejuk.

Di atas KRL pun suasana tak jauh berbeda. Rangkaian dipadati massa putih-putih. Sebetulnya sangat padat, tapi entah yang terasa adalah kenyamanan. Orang-orang saling mempersilahkan dan mendahulukan (al itsaar).

Sampai di Stasiun Juanda sekitar pukul 07:00, umat sudah menumpuk. Sepanjang peron diulari peserta aksi. Uniknya, penumpang perempuan dan ibu-ibu selalu didahulukan dalam antrian meskipun tetap berdesakan karena penumpukan massa yang tidak dapat dihindari.

Meskipun demikian, tak ada lontaran sumpah serapah. Tak ada yang mengeluh. Sepanjang antrian dilantunkan shalawat Nabi. Khidmat jadinya. Kita layaknya rombongan besar yang berjejal seolah akan menghadiri hajatan keluarga. 

Di area Monas pagi itu sudah sangat padat. Kerumunan massa memadati semua titik kecuali taman-taman dan rerumputan. Setiap kali ada yang menginjak atau melintasi rumput langsung diingatkan.

Tak ada sampah berserakan. Semua orang sangat peduli dan memungut jika ada kotoran ditemui di arena. Sajadah dibagi-bagi gratis. Terpal-terpal dihamparkan. Semua berebut mempersilahkan jamaah yang datang duduk di atasnya. Benar-benar seperti suasana 1 Syawal. Semua wangi dan berpakaian putih bersih.   

Inilah akhlak Islam. Inilah sejatinya revolusi putih. Tampilnya insan penolong sesama, saling berbagi, saling menjaga, saling menasihati, saling menyebar salam dan melafazkan doa keselamatan dunia akhirat.

Inilah akhlak Islam. Inilah sejatinya revolusi putih. Pemimpin umat sangat dekat, penuh cinta dan ketulusan. Para pimpinan ormas saling menyatu dalam barisan Merah Putih yang tarikan nafas kehidupannya memancarkan kalimat “Laa Ilaaha Illallah” dalam satu kesatuan yang teguh.

Inilah akhlak Islam. Inilah sejatinya revolusi putih. Jutaan umat berbeda latar belakang dan berlainan harakah menyatu dalam kesyahduan persaudaraan. Saling menyapa dan duduk berdampingan dalam shaf-shaf yang kokoh. Mereka berbagi makan dan minum dalam satu wadah yang sama.

Inilah akhlak Islam. Inilah sejatinya revolusi putih. Umara duduk bersama rakyat dalam luruh menyelami kelemahan diri di hadapan-Nya dan hanya tunduk pada-Nya.

Inilah akhlak Islam. Inilah sejatinya revolusi putih. Ulama menjadi teladan. Ulama yang tak henti menyuarakan persatuan umat. Ulama yang terus menuntun umat menuju jalan kebaikan dan keselamatan.  Ulama yang menegakkan Pancasila, merawat kebhinnekaan, dan siap korbankan jiwa untuk melawan penoda NKRI.

Jangan lagi umat ini seperti buih di lautan. Umat harus bersatu dalam nilai-nilai luhur ajaran Islam. Jika kita bersatu dalam bingkai ketakwaan dan iman, tak ada yang bisa mengalahkan. Inilah sebenarnya spirit terpenting dari Aksi Damai 1, 2, dan 3.

Itulah akhlak Islam. Inilah sejatinya revolusi putih! [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version