Oleh: Ainun Dawaun Nufus (Pengamat Sosial Politik)
Cina membangun dirinya sejak tahun 1978 dengan mengembangkan sains dan teknologi, yang didorong dengan kepentingan militer. Pembangunan ini dimulai sejak jaman pemerintahan Mao. Mao menginginkan terbangunnya ‘militerisasi’ yang kuat diatas segala-galanya. Proyek ‘militerisasi’ inilah yang menjadi tulang punggung kebijakan Deng Xiao Ping.
Tujuan Deng adalah untuk mendiversifikasi ekonomi Cina sehingga tidak hanya sektor hankam tetapi juga menstimulasi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sipil. Konsep Deng yang berisi 16 butir tuntunan di awal 1980an secara gamblang menegaskan : mengintergrasikan petumbuhan sektor militer dan rakyat sipil, dengan memastikan memenuhi kebutuhan militer, mempertahankan kemampuan militer, dan menggunakan ekonomi sipil demi upaya modernisasi militer.”
Sebelumnya Cina telah menerapkan sistem ekonomi terpimpin ala Soviet yang terbukti gagal. Deng lalu menggunakan sistem ekonomi yang berorientasi kepada pasar, terutama pada Zona Ekonomi Spesial yang terletak di kota-kota Guangdong, Fujian, dan Hainan. Hasilnya luar biasa. Cina merubah ekonominya secara radikal dari pengekspor komoditas bermutu rendah menuju komoditas teknologi tinggi. Negeri ini berubah dari ekonomi yang terbelakang menjadi mesin pengekspor kelas dunia. Ekspor Cina naik sepuluh kali lipat (antara 1990 – 2003 bernilai sekitar $436 trilyun.)[2]Kini nilai ekspor Cina melampui 1 trilyun dolar dan merupakan ekonomi terbesar di dunia setelah AS dan Jerman.
Sejak 1978, Cina mereformasi ekonominya dari model ekonomi terpimpin ala Soviet menuju ekonomi yang berorientasi ke pasar, namun dengan sistem politik yang dikuasai oleh Partai Komunis Cina. Sistem ini disebut sebagai ‘Sosialisme dengan Karakter Cina’ dan merupakan sistem ekonomi campuran. Reformasi yang dimulai sejak tahun 1978 telah mengangkat derajat jutaan manusia dari garis kemiskinan, menurunkan kemiskinan hinga 53% dari populasi negeri itu di tahun 1981 dan 8% di tahun 2001.
Kebijakan luar negeri Cina juga mencerminkan perubahan penting dari pendekatan Beijing yang sempit dan reaktif pada masa lalu. Cina sudah meninggalkan mentalitas yang memandang dirinya sebagai korban (victim mentality) akibat penderitaan selama 150 tahun dan mengadopsi mentalitas adidaya (great power mentality-daguo xintai). Konsekuensinya, Cina mulai mengambil peran aktif dalam isu global, dimana generasi penggeraknya belum lahir semasa Revolusi Cina sehingga tidak memandang Cina dari perspektif sejarah Cina.
Pemimpin kontemporer seperti Hu Jintao, yang lahir hanya beberapa tahun sebelum Revolusi adalah pemimpin Cina pertama yang tidak ikut serta dalam long march yang terkenal karena berhasil mengalahkan kaum Nasionalis dan menaikkan partai komunis ke panggung kekuasaan di tahun 1949. Pemimpin yang menanggalkan victim mentality dan yang mengambil mentalitas adidaya adalah tipe pemimpin yang kini memimpin Cina dan memiliki visi sebagai negara adidaya.
Pembuat kebijakan AS membuat strategi menghadapi Cina dalam dokumen “Tuntunan Perencanaan Pertahanan” (1994-99), yang merupakan bentuk pernyataan resmi AS pada masa paska runtuhnya Uni Sovyet, “Kita harus sekuat mungkin mencegah kekuatan asing manapun yang bisa mendominasi suatu wilayah yang sumber alamnya, ketika terkontrol secara solid, akan mampu mendukung terbentuknya kekuatan global.” Ketika George Bush menjadi Presiden AS, hanya Cina yang memiliki kapasitas ekonomi dan militer yang mampu mengimbangi AS sebagai negara adidaya. AS membuat kebijakan yang mengisolasi Cina supaya tetap pada perbatasannya, ketimbang menghadapinya secara langsung karena hanya akan menghabiskan energi AS.
Cadangan dolar yang sangat besar yang dimiliki Cina membuat Cina memiliki kemampuan untuk membeli saham keuangan AS, yang digunakan AS untuk membiayai defisit perdagangannya. Hal ini berakibat kepada ekspansi perindustrian Cina, dimana industri tersebut membutuhkan pasokan minyak dan energi yang lebih besar lagi.Berikutnya, pengangguran di sektor industri AS pun meningkat karena kalah bersaing dengan kualitas produksi Cina yang lebih superior.
Kebijakan AS terhadap Cina terlihat kontradiktif. Faksi Kanan AS, yang dipimpin kaum korporasi melihat Cina dari aspek komersial karena populasi Cina yang besar merupakan pasar yang menjanjikan keuntungan, sehingga ia melobi pemerintah AS untuk menarik Cina ke dalam pasar bebas global dan memaksa Cina untuk membuka pasar domestiknya. Faksi Kiri AS, yang sejak dulu memandang Cina sebagai ancaman, selalu menghantam Cina dengan isu hak asasi manusia, sensor internet, dan perseteruan Cina dengan Taiwan. Dari segi komersial, perusahaan seperti Google, Yahoo, Microsoft, dan industri perbankan AS meraup keuntungan dari hubungan komersial AS dan Cina.
Mereka yang memandang Cina sebagai ancaman memaksa pemerintah AS untuk terus mengisolasi Cina. AS meningkatkan kerjasama keamanan dengan Jepang dan mendukung seruan Jepang untuk mengembangkan nuklir, yang berarti meninggalkan sikap Jepang tentang kebijakan defensif yang telah berlangsung selama ini. Namun, bagi AS perkembangan di Jepang merupakan penyeimbang kekuatan Cina di wilayah Timur. Di wilayah Barat, AS mendekati India dengan berbagai kerjasama ekonomi, transfer teknologi nuklir, dan upaya pemberian status permanen dalam Dewan Keamanan PBB. Lebih jauh lagi, AS menormalisasi hubungannya dengan Vietnam, mengubur dendam masa lalu, dan membangun kerjasama bilateral. AS berhasil menggaet Vietnam dari pengaruh Cina sehingga memutus aliansi tradisional Cina di wilayah pasifik ini. Hingga saat ini Vietnam sendiri juga memiliki konflik perbatasan dengan Cina di seberang utara.
AS juga menggunakan konfliknya dengan Korea Utara untuk mengisolasi Cina. AS tidak banyak bereaksi terhadap program nuklir Pyongyang ketimbang program semacamnya di Iran, ketika Cina berusaha keras mengorganisir perundingan 6-negara untuk menghindari krisis yang lebih meluas di seberang perbatasannya sendiri. Pernyataan dari perundingan yang berlangsung memang nampak kontradiktif.
Ketika Cina menyatakan pesimismenya, AS justru menyatakan hal yang optimis dalam proses negosiasi. Malahan AS mendapatkan justifikasi untuk tetap mempertahankan militernya di Korea Selatan. AS juga memgumumkan di bulan September 2009 untuk meninggalkan kebijakan sangsi terhadap rezim Myanmar dan memulai hubungan langsung dengan rezim militer Myanmar. Myanmar memainkan peran penting dalam strategi luar negeri Cina tentang energi. Adanya kerjasama yang langsung antara AS dan Myanmar merupakan bentuk untuk membatasi pengaruh Cina di Asia.
Dalam 5000 tahun sejarahnya, Cina tidak pernah menjadi kekuatan adidaya dan tidak pernah mempengaruhi politik internasional. Bahkan ketika Cina mengadopsi Komunisme, ia tidak mampu mengembannya lebih jauh dari batas negerinya sendiri apalagi mempengaruhi negara lain. Selama 5000 tahun, Cina lebih sering berperang dengan dirinya sendiri dan sibuk untuk menyatukan wilayah.
Kebijakan politik luar negeri Cina juga berpusat pada pembangunan ekonomi domestik dan menguasai sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhannya. Cina memang melawan strategi AS untuk mengisolasi dirinya dengan melemahkan negeri-negeri yang dirancang AS sebagai alatnya. Misalnya, Cina juga menawarkan kerjasama bilateral dengan Australia, India, Jepang dan Korea Selatan agar hubungan negeri-negeri ini dengan AS menjadi lebih kendor.
Realita ini membuat Cina terlalu fokus pada wilayah regional dan tidak memiliki ambisi untuk lebih dari itu. Hal ini akan berubah apabila Cina merubah ambisi regionalnya menuju ambisi global. Tanpa adanya perubahan ambisi, maka Cina tidak akan menjadi kekuatan global. Dengan pandangan regional yang sempit, Cina tidak akan mampu menandingi AS. Apa yang dilakukan Cina di Afrika sebenarnya tidak untuk menantang AS tapi sekedar usaha mendapatkan akses kepada energi minyak, dimana Cina akan semakin tergantung kepadanya. Di sinilah Cina menghadapi isu penting yang akan menentukan status masa depannya.
Cina juga menghadapi berbagai masalah yang memerlukan solusi, dan tanpa ideologi yang jelas maka Cina tidak akan menyelesaikan masalahnya secara konsisten pula. Tanpa ideologi, Cina akan terus didikte isu sebagai akibat tidak terselesaikannya isu yang lain. Pembangunan ekonomi Cina yang semakin tergantung kepada pasokan minyak membuat Cina harus membangun kerjasama yang koheren yang memiliki minyak. Tanpa ideologi, Cina sudah menghadapi masalah integrasi Tibet dan Xinjiang. Pertanyaannya, tanpa ideologi, bagaimana Cina akan mengintegrasikan Tibet dan Xinjiang, dan dengan ideologi apa penduduk tersebut akan diintegrasikan?
Cina juga menghadapi berbagai masalah yang memerlukan solusi. Tanpa ideologi yang jelas, Cina tidak akan mampu menyelesaikan masalahnya secara konsisten. Secara domestik Cina memang diperintah oleh ideologi Komunisme, karena memang Cina masih dipimpin oleh sistem 1 partai (PKC).
Akan tetapi, Cina mulai beranjak ke sistem pasar bebas. Pada saat yang sama, Cina juga bersikap nasionalistik yang memancing seruan disintegrasi dari beberapa wilayah, dan AS dalam hal ini berperan dalam memberikan dukungan diam-diam secara konsisten terhadap wilayah-wilayah tersebut. Walhasil, sampai pada satu titik Cina memutuskan apa ideologi sekaligus jatidirinya, negeri ini akan terus ditarik ulur ke arah yang berbeda-beda. Pada akhirnya, Cina tidak akan pernah mampu bangkit untuk menandingi adidaya manapun. [syahid/voa-islam.com]