View Full Version
Selasa, 14 Feb 2017

Indonesia, Dilema antara Cina dan AS

Oleh: Umar Syarifudin (Pengamat Politik Internasional)

Pemerintahan Donald Trump bersumpah akan mencegah Cina mengambil alih perairan internasional di Laut Cina Selatan. Sumpah Trump ini tak disukai Cina. Juru Bicara Gedung Putih Sean Spicer memberikan tanda-tanda Amerika Serikat akan berhati-hati dalam menghadapi Cina yang  agresif ingin menguasai Laut Cina Selatan. "Amerika akan melindungi kepentingan kami di sana," kata Spicer, Senin, (23/1). (republika.co.id 24/1/2017)

Dikutip dari sindonews.com (22/1/2017), bahwa media milik Partai Komunis China mengatakan Beijing akan kembali menggelar latihan militer. Media itu menambahkan bahwa latihan dilakukan di laut lepas seperti yang dilakukan baru-baru ini. Awal bulan ini, Taiwan mengerahkan jet-jet tempur dan kapal angkatan lautnya setelah kapal induk China Liaoning melewati selat yang memisahkan keduanya. China menganggap Taiwan bagian dari negaranya. China khawatir ketika calon sekretaris negara pilihan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, Rex Tillerson mengatakan, Beijing harus dilarang mengakses pulau-pulau yang dibangunnya di Laut China Selatan yang disengketakan.

Dalam laporannya, The People's Daily menyatakan tidak ada provokasi serta tekanan dari pihak luar yang dapat menghentikan latihan militer tersebut. Mereka menulis  tidak ada "bom kata-kata", seperti pernyataan Tillerson tentang Laut China Selatan, yang bisa menghentikan latihan militer China.

"Provokasi, tekanan, fantasi dan sesuatu yang dilebih-lebihkan tidak akan mencegah latihan normal militer China," tulis surat kabar itu seperti dikutip dari Reuters, Minggu (22/1/2017).

 

Indonesia Hitung Mundur! Mulai dari Sekarang…

Hubungan AS dan China dalam beberapa pekan terakhir ini menegang. Yang patut disorot adalah sama seperti AS, Cina memiliki karakter ekspansionis, telah melakukan pergerakan-pergerakan. Keinginan Cina menguasai Laut Cina Selatan telah dicanangkan sejak jauh-jauh hari. Saat ini Trump, berupaya mengisolir Cina kembali dari para tetangganya dan menampakkan Cina sebagai negara musuh. Korsel dan Jepang termasuk loyalis AS, bersiaga melakukan konfrontasi politik, bahkan bisa jadi militer.

AS memandang Cina sebagai ancaman memaksa pemerintah AS untuk terus mengisolasi Cina. AS meningkatkan kerjasama keamanan dengan Jepang dan mendukung seruan Jepang untuk mengembangkan nuklir, yang berarti meninggalkan sikap Jepang tentang kebijakan defensif yang telah berlangsung selama ini.

Membaca situasi politik saat ini, kebijakan AS terhadap Cina terlihat kontradiktif. Faksi Kanan AS, yang dipimpin kaum korporasi melihat Cina dari aspek komersial karena populasi Cina yang besar merupakan pasar yang menjanjikan keuntungan, sehingga ia melobi pemerintah AS untuk menarik Cina ke dalam pasar bebas global dan memaksa Cina untuk membuka pasar domestiknya. Faksi Kiri AS, yang sejak dulu memandang Cina sebagai ancaman, selalu menghantam Cina dengan isu hak asasi manusia, sensor internet, dan perseteruan Cina dengan Taiwan. Dari segi komersial, perusahaan seperti Google, Yahoo, Microsoft, dan industri perbankan AS meraup keuntungan dari hubungan komersial AS dan Cina.

Secara politis, konflik Laut Cina Selatan (LCS) memungkinkan mengubah sikap politik luar negeri pemerintah Indonesia. Pernyataan Cina bahwa ada masalah overlapping claim atas LCS dipastikan mengubah sikap politik luar negeri Indonesia. Selama ini Indonesia bersikap non-allignment atas sengketa di Laut Cina Selatan dan mengatakan sengketa itu harus ditempuh melalui jalur internasional dengan jalan damai.

Banyak negara berebut pengaruh di LCS, selain letaknya yang strategis sebagai jalur perdagangan dunia akan menghasilkan keuntungan bagi negara yang menguasainya, juga kandungan kekayaan sumber daya hayati dan mineral yang terkandung di dalamnya juga menjadi pemicu sengketa. Jika Indonesia lemah dalam berbagai sisi, ia cuma dijadikan buffer zone (penyangga) bagi negara-negara imperialis kapitalis. Terpisahnya Timor Timor, Sipadan dan Ligitan adalah bukti nyata kelemahan pusat dalam mengelola frontier. Kedua, selain dikelilingi oleh 13 pangkalan militer Amerika (AS), negeri ini juga diputari oleh Five Power Defence Arrangement (FPDA) yang meliputi Inggris, Australia, Malaysia dan Singapore, selain ada pula ANZUS (Amerika, New Zealand dan Australia) dan lainnya.

Dalam konteks situasi ASEAN terhadap LCS, tampaknya Cina bermanuver agar tidak tercipta  suara bulat dalam keputusan-keputusan yang diambil ASEAN terkait berbagai isu. Cina memang ingin agar ASEAN tidak berhasil mencapai suara bulat. Cina nampaknya lebih senang menjalin hubungan bilateral dengan masing-masing negara ASEAN daripada hubungan Cina-ASEAN. Cina lebih cenderung menerapkan pendekatan bilateral. Dominasi proyek infrastruktur oleh Tiongkok yang dimasukkan dan dijalankan melalui rezim Jokowi itu akan membuat cengkeraman asing Timur menancap di negeri ini. Cengkeraman oleh Timur itu melengkapi cengkeraman oleh Barat yang sudah lebih dulu menancap kuat dan terus diperdalam.

Kita juga perlu mencermati langkah-langkah penting Cina di Indonesia tentang Kebijakan Reklamasi di pantai-pantai di Indonesia, misalnya, atau skema investasi asing bermodel Turnkey Project Management,d imana semuanya, baik budget, materiil, top manager hingga tenaga kasar, diboyong dari Cina. Kita dapat melihat bahwa One Belt One Road (OBOR)-nya Xi Jinping yang menyasar/melintas Indonesia merupakan implementasi teori Ratzel di atas. Intinya, Xi mencari ruang hidup baru bagi warga negaranya akibat "ledakan penduduk" di Cina daratan.

Hal ini bisa dipahami, dalam perspektif pemikiran geopolitik bahwa manusia butuh negara, dan negara butuh ruang hidup (living space atau lebensraum), maka tatkala muncul klaim sepihak terhadap perairan Natuna dan perairan beberapa negara lain di Laut Cina Selatan oleh Negeri Tirai Bambu dengan mengabaikan  UNCLOS 1982 misalnya, niscaya dalam rangka memperluas ruang hidup terutama pengamanan rute dan jalur distribusi energinya. ‘Energy security’ atau membelah (Terusan/Kanal) Kra Thailand, membangun Terusan Nikaragua, dan lain-lain. Itulah inti teori geopolitik yang melandasi OBOR-nya Xi Jinping mengurai dan memperluas living space, atau lebensraum (ruang hidup).

Setelah gagal menerapkan sistem ekonomi terpimpin ala Soviet, Cina di masa Deng Xiao Ping menggunakan sistem ekonomi yang berorientasi kepada pasar, terutama pada Zona Ekonomi Spesial yang terletak di kota-kota Guangdong, Fujian, dan Hainan. Hasilnya Cina merubah ekonominya secara radikal dari pengekspor komoditas bermutu rendah menuju komoditas teknologi tinggi. Negeri ini berubah dari ekonomi yang terbelakang menjadi mesin pengekspor kelas dunia.

Terhadap Islam, Cina sama paronoidnya dengan AS, Islam ideologis dianggap ancaman atas kepentingan-kepentingan strategis negara kapitalis seperti halnya Cina. Tentu tak selayaknya kaum Muslim negeri ini rela menjadi bulan-bulanan neoliberalisme dan neoimperialisme baik dari asing barat maupun asing timur.

Cina saat ini menghadapi berbagai masalah kompleks yang butuh solusi, dan tanpa ideologi yang jelas maka Cina tidak akan menyelesaikan masalahnya secara konsisten pula. Tanpa ideologi, Cina akan terus didikte isu sebagai akibat tidak terselesaikannya isu yang lain. Khilafahlah yang akan membebaskan Indonesia dan kaum Muslim dari kontrol Amerika, Cina dan kebrutalan mereka serta kerusakan dan perusakan mereka terhadap negeri dan penduduknya. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version