View Full Version
Kamis, 09 Mar 2017

Demokratisasi, Diskriminasi 'Ala' Trump

Oleh: drg. Eka Dewi S

(Anggota Lajnah Fa’aliyah MHTI DPD II Surabaya)

Pasca terpilih dan dilantiknya Trump sebagai Presiden AS yang ke – 45, banyak warga muslim di seluruh penjuru AS yang merasakan kekhawatiran dan ketakutan. Pasalnya, Trump telah mengeluarkan kebijakan baru bagi para imigran utamanya imigran muslim di AS. Diawali dari masa kampanyenya sebelum terpilih sebagai Presiden AS, Trump berulang kali menyebutkan akan mengambil tindakan tegas terhadap para imigran (muslim) yang masuk ke AS dan yang sudah berada di AS.

Terbukti setelah pelantikannya secara resmi sebagai Presiden AS, Trump menerbitkan kebijakan Executive Order mengenai Border Security and Immigration Enforcement Improvement. Salah satu isi Executive Order pokok tersebut adalah pengetatan rejim keimigrasian melalui langkah penangkapan dan penderportasian imigran gelap di Amerika Serikat.

Trump menandatangani perintah eksekutif terkait imigran pada Jumat 27 Januari. Lewat aturan ini, semua pengungsi dilarang datang ke AS hingga sedikitnya 120 hari ke depan. Khusus untuk Suriah, jangka waktunya tanpa batas hingga ada pemberitahuan lebih lanjut. Perintah eksekutif juga meliputi penolakan visa AS dari tujuh negara, yakni Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah dan Yaman untuk 90 hari ke depan.

“Ini semua bukan soal agama -- ini soal teror dan melindungi negara kami," ungkap dia, sembari menambahkan lebih dari 40 negara mayoritas Muslim tidak dimasukkan dalam daftar larangan berkunjung. Sejumlah pihak menilai Trump tidak melarang puluhan negara tersebut karena memiliki bisnis di sana. Dari 40 negara yang tidak masuk daftar, Indonesia merupakan salah satunya. (metrotvnews.com).

Meskipun tidak memasukkan Indonesia dalam daftar tersebut, namun kekhawatiran melanda para WNI yang ada di AS. Konsul Jenderal RI di New York yang baru, Abdulkadir Jailani, dalam pertemuan di Philadelpia pada 28 Januari menyampaikan bahwa penetapan Executive Order dari Trump tersebut memang merupakan urusan domestik Amerika Serikat, yang harus dihormati oleh negara lain. Namun, “Indonesia berharap penerapannya dilakukan tetap menghormati prinsip – prinsip hukum dan tidak mengurangi hak – hak dasar serta kebebasan individu,” kata Jailani. Dia juga menekankan bahwa perlindungan WNI merupakan prioritas utama semua perwakilan RI di luar negeri, termasuk KJRI New York.

“Oleh karenanya, komunikasi WNI dengan KJRI serta dengan WNI lainnya merupakan hal terpenting yang perlu dilakukan,” lanjut Jailani (viva.co.id).

Kebijakan yang diambil oleh Trump sejatinya menunjukkan gaya kepemimpinannya yang “keras” terhadap kaum muslimin dan dunia Islam, tidak terlepas dari garis politik AS sebagai Negara pengusung system Demokrasi. Sangat jelas bahwa system Demokrasi tidak melindungi warga negaranya dan memiliki keinginan untuk senantiasa melakukan “eksploitasi” dalam berbagai bidang utamanya ekonomi demi melanggengkan kekuasaannya.

Sehingga diskriminasi bagi kaum muslim ini menjadi sebuah keniscayaan. Maka seharusnya kesadaran atas kebathilan dari system demokrasi terbentuk, karena system ini hanya akan manghasilkan Negara dan pemimpin yang akan mengusung diskrimasi terhadap Islam dan kaum muslimin sebagaimana yang saat ini ditampakkan oleh Amerika Serikat dan Trump. Kembali pada system Islam dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah ‘ala minhaj nubuwwah menjadi langkah kongkret yang akan membawa Islam dan kaum Muslim mulia kembali. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version