View Full Version
Kamis, 23 Mar 2017

Dinamika Gerakan Sosial Politik Kekinian

Oleh: Adil Nugroho (Pemerhati Sosial Politik)

Membaca dinamika sosial politik di Indonesia kian membutuhkan konsentrasi tinggi. Pilkada DKI di antara pilkada serentak seolah cukup menguak gambaran “conflict of interest” (konflik kepentingan) di antara para elit penguasa dan elit politik. Baik yang berada di lingkaran kekuasaan maupun di luar kekuasaan. Gabungan strategi dan manuver tarik ulur memenangkan persaingan politik demi kekuasaan tak terelakkan. Ironisnya semua itu terjadi dalam koridor pusaran permainan yang masih dikendalikan oleh tangan-tangan tersembunyi.

Sebuah kekuatan di balik penampakan  luar yang menghegemoni. Dalam konteks gerakan sosial politik, apa dan bagaimana cara baca konstelasi gerakan kekinian. Adalah pertanyaan relevan yang menarik diajukan untuk meneropong siapa sebenarnya pemegang kendali dominan. Dan seberapa kans munculnya gerakan sosial politik ideologis islam menembus batas-batas koridor pusaran permainan tersebut.

Tidak bisa dipungkiri bahwa konstelasi kekuatan sosial politik sebagai respon kedatangan Raja Salman begitu vulgar. Dalam konteks pilkada DKI menjelang putaran 2 ini, kelompok Ahoker melakukan manuver propaganda membongkar segala bentuk kebobrokan Raja Salman dengan segala konspirasinya. Hal itu dilakukan untuk menyudutkan kelompok Anies Uno, sekaligus sebagai bandul untuk menyudutkan islam berikut pengusungnya melalui pintu isu wahabi.

Dimana kelompok seperti HTI, FPI, MMI dan lain-lain di-cluster (dikelompokkan) sama. Sebaliknya mereka yang pro Anies Uno, begitu euforia tanpa kritis dengan segala harapan.  Raja Salman dianggap seolah-olah sebagai representasi dari “islamic power” (kekuatan islam)Dalam konstelasi seperti itu, mereka yang ikut memperbesar opini dengan membongkar Raja Salman dengan segala kebobrokannya seperti berada se-mainstream dengan kelompok Ahoker.

Sebaliknya akan berhadapan secara vis a vis dengan kelompok “islamic power” di balik Anies Uno. Pertanyaan pentingnya bagaimana seni mengelola opini menguak kebobrokan secara proporsional agar tetap meng-counter opini yang terus menyudutkan islam bernuansa adu domba berikut entitasnya. Dan mengingatkan kelompok “islamic power” agar sadar tentang kanalisasi politik dan jebakan politik yang telah menimpa.

Sebagaimana dipahami bersama, bahwa perang opini saat ini telah menjadi bagian dari perang pemikiran dan politik. Serangan pemikiran dan politik maupun kontra pemikiran dan politik nampak datang silih berganti. Termasuk tentang kedatangan Raja Salman. Awalnya info rencana kedatangannya di-framing (dikerangkakan) oleh kalangan Ahoker untuk “black campaign”(kampanye hitam). Terutama disasarkan untuk yang berada dalam barisan aksi bela islam berikut tokoh-tokohnya.

Dengan cara menguak kebobrokan Raja Salman berikut agendanya. Berikutnya saat datang, disambut oleh Jokowi dan dikabarkan juga didampingi Ahok. Digunakan sebagai momentum legitimasi (pembenaran). Bahwa Raja Salman sebagai representasi dari kekuatan islam-pun bisa menerima keberadaan Ahok “Sang Penista Agama”. 

Benar-benar sebuah framing opini untuk sebuah target politik tertentu yang melibatkan rekayasa politik. Apalagi juga dikabarkan bahwa Raja Salman juga memberikan apresiasi terhadap Densus 88. Terutama kesigapan secara cepat penanganan kasus bom panci Bandung baru-baru ini. Sementara itu euforia tanpa kritis terhadap sosok Raja Salman dengan segala kebijakannya terjadi. Meski masih dalam koridor kepentingan AS di berbagai negara. Disinilah nampak jelas bahwa kunjungan Raja Salman dikelola bukan saja sebagai “batu loncatan” untuk menghantam kekuatan sospol islam yang berhasil dikanalisasi.

Tetapi sekaligus digunakan sebagai“cap stempel” pembenaran kebijakan RI dalam berbagai kasus terutama pada kasus Ahok dan WOT (war on terrorism). Kita juga melihat bagaimana isu Wahabi yang direpresentasi oleh Saudi Arabia dikelola secara sistematis untuk mematikan dan meredam kekuatan kaum muslimin hingga mudah dilemahkan dan dijadikan bulan-bulanan.

Tulisan ini bukan untuk mencoba melakukan kajian mendalam tentang apa dan siapa Raja Salman dengan segala agendanya di Indonesia. Yang dikabarkan sebagai rangkaian lawatan di berbagai negara termasuk Jepang dan China. Tidak juga mencoba mencermati seberapa perbandingan antara agenda investasi China dengan Saudi Arabia. Hingga ada kesan dikotomi kepentingan antara China dengan Saudia Arabia.

Seolah-olah ada friksi antara komunis dengan islam. Melainkan mencoba melihat dan membuat catatan sederhana bahwa kehadiran Raja Salman benar-benar dimanfaatkan untuk melegitimasi kepentingan kekuasaan status quo. Dan men-delegitimasi kepentingan aspirasi kaum muslimin atas kasus Ahok. Dan menutupi kekhawatiran bangsa mayoritas muslim ini atas cengkeraman neo liberalisme dan neo imperialisme. Inilah hakekat lihai dan canggihnya Amerika yang berada di balik semua dinamika politik kekinian.

Sebagai kekuatan “invisible hand” yang mengendalikan arah kebijakan negara melalu berbagai rekayasa. Dengan memainkan isu komunis versus islam melalui pintu China dan Saudi Arabia. Melibatkan elit penguasa, elit politik, kapitalis, kekuatan media, regulasi, dan elemen-elemen yang lain sebagai perpanjangan tangan. Termasuk kekuatan 9 Naga yang sangat memiliki kepentingan ekonomi yang besar di negeri zamrud khatulistiwa ini. Sementara China dan Amerika Serikat serta negara-negara lain telah berbagi kue investasi pengelolaan di sektor-sektor strategis.

Di pusaran permainan konflik kepentingan negara-negara adi daya itu maka rakyat Indonesia berpenduduk muslim terbesar dunia ini menghadapi dilema ketergantungan yang besar terhadap para penjajah dari arah timur dan barat. Sementara para wakil rakyat dan penguasanya telah menjadi perpanjangan tangan sekaligus terjebak pada permainan politik yang dikendalikan sepenuhnya oleh para penjajah. Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan arus gerakan sosial politik yang bisa mewujudkan keberdayaan politik sekaligus menuntaskan problem ketergantungan yang besar terhadap para penjajah. Apa saja yang dibutuhkan untuk merealisasikannya, setidaknya ada beberapa hal yang penting direnungkan :

Pertama, dibutuhkan ideologi negara ekspansif yang bersumber dari keyakinan mayoritas bangsa di negeri ini. Cengkeraman ideologi negara ekspansi dari luar datang dari timur dan barat. Timur direpresentasi oleh Tiongkok dengan ideologi sosialis komunisnya. Dan barat direpresentasi oleh Amerika dengan ideologi kapitalis liberalnya. Sementara Indonesia sebagai obyek ekspansi berada di lintasan pengaruh ideologi negara-negara adi daya hanya bisa bertahan dengan terus mempertahankan ideologi “inklusif” yang sifatnya “nationalism”. Sementara islam (agama/keyakinan mayoritas negeri ini) sebagai kekuatan ideologi ekspansif potensial dalam sejarah seolah-olah tidak dilirik sebagai alternatif. Ini terjadi karena banyaknya antek-antek dari kalangan penguasa negeri ini yang sudah terafiliasi oleh hegemoni ideologi barat maupun timur.

Kedua, dibutuhkan keberanian politik semua elemen bangsa terutama dari kalangan muslim dari berbagai latar dan kalangan untuk menjadikan penerapan islam secara kaffah dengan ditegakkannya instrumen sistem politik yang kapabel untuk menjalankannya bernama “khilafah islamiyah ala minhajin nubuwah” sebagai agenda bersama utama dan penting.

Ketiga, meninggalkan seluruh instrumen perjuangan Demokrasi sebagai produk penuh jebakan dan kanalisasi politik para penjajah yang tidak akan pernah mengantarkan kepada tujuan dan perubahan yang hakiki.

Keempat, mewujudkan syarat-syarat datangnya pertolongan Alloh Subhanahu Wa Ta’alla sebagaimana yang dijelaskan dalam Al Qur’an dan Al Hadits.

Gerakan sosial politik yang mampu mewujudkan beberapa hal di atas sesungguhnya menjadi sebuah gerakan ideologis islam yang diharapkan menjadi pintu fajar menyingsing kebangkitan islam menuju ke arah sebuah perubahan yang hakiki. Kita sangat menanti sebuah dinamika gerakan sosial politik kekinian yang mampu membebaskan diri dari seluruh belenggu permainan politik penjajah yang menjebak. Allahu a’lam bis showab. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version