View Full Version
Selasa, 28 Mar 2017

Mantan Anggota Komisi Hukum DPR: Ngaco Berat Presiden Jokowi

Oleh Djoko Edhi Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi Hukum DPR)

Ngeri, Gus Ishomusdin dicopot dari Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI. Diturunkan dari Rois Syuriah ke Tanfidziah PBNU. Diembargo di IAIN Raden Intan Lampung, dibulli oleh Anti Ahok. Sebentar lagi, ia dituntut blasphemi pula. 

Sebentar lagi, ia dituntut blasphemi pula. Luar biasa daya rusak Ahok, tapi ucapkanlah subhanallah atas kemampuan Islam melindungi dirinya.

Bukan main kemampuan ini, sudah terbangun rupanya kekuatan untuk melawan hegemoni Cina di Pilpres 2019, demi survivalitas bangsa dari pencaplokan kaum Asing, Aseng, Asong. Satu-satunya kekuatan survivalitas yang masih mampu melawan neokolonialisme ketika militer meninggalkan jati dirinya. Rakyatlah dengan keimanannya yang terpaksa bahu membahu membangun survivalitasnya sendiri, ketika elemen lainnya sudah ditaklukkan oleh kekuatan demokrasi liberal yang didrive oleh Asing, Aseng, Asong.

Tiga terminologi itu muncul dua tahun belakangan, ditujukan kepada Rezim Jokowi yang Xi Jinping banget.

Adalah fakta demokrasi langsung telah empirik menjungkirbalikkan logika, menghancurkan tatanan nilai living law, menyodorkan kucing dalam karung.

Menurut saya cara aneh untuk mengangkat pemimpin utama yang harus dari Asing, Aseng, Asong via pengubahan moral living law, hedonisme pilkada, borjuasi pilpres, dan orang termiskin mesinnya yang dalam waktu dekat untuk mengangkat presiden 2019.

Kata Pribumi Dilarang Keppres

Pada FGD di Universitas Ibnu Chaldun, Bogor, yang diinisiasi Dahrin Laode dari CSIS dan MS Ka'ban dari universitas itu, bulan lalu, saya menemukan Keppres yang melarang penggunaan frasa kata "pribumi".

Aneh bukan?

By Design. Sekilas wajar, tak ada masyarakat modern dalam Sosiologi yang terbentuk tanpa rekayasa yang disebut social engineering. Yes! Tapi menghilangkan sebuah masyarakat yang disebut hukum sebagai pribumi, adalah pelanggaran HAM berat.

Menurut Samuel Lengkey adalah penghilangan identitas suatu bangsa. Hak Azasi Bangsa yang dilanggar, katanya. Menurut saya equivalent dengan genocida.

Dari sini terbit idiom Asing, Aseng, Asong belakangan. Asing adalah bukan pribumi, bangsa pendatang. Dalam IS (Indische Staatregeling) Pasal 167 HIR, adalah warga negara Eropa. Ini adalah ras unggulan warga negara Hindia Belanda yang menjajah selama 350 tahun. Perubahan terminologi pada idiom itu kini menjadi "orang asing". "Orang" di situ adalah bangsa, bangsa Barat, bangsa pendatang.

Charles Van Der Plas menyusun UU RIS (Republik Indonesia Serikat), juga menghilangkan frasa pribumi, dengan modus mempromosikan peranakan Belanda untuk menjadi Presiden RIS. Kembali Islam melawan, menghadapi APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) Westerling, dan Po An Tui yang dinisiasi Van Der Plas.

Konstruksi UUD 2002 hasil empat kali amandemen, sama persis dengan UU RIS. Pasal 6 Ayat 1, "Presiden adalah orang Indonesia asli" dibuang, diganti warga negara. Lalu dikunci dengan UU No 24 tentang Non Diskriminasi dan Keppres pelarangan kata pribumi. Anda waras? Canggih dan sistematis, seperti Van Mook bikin boneka Negara Madura, Van Der Plas bikin UU RIS, ujung-ujungnya untuk menjadikan Cina pemimpin Indonesia. Sudah sama toh semua? Warga negara dan bangsa sudah sama.

Kita sudah bisa mengimpor Joan Du Bois dari Perancis dan Qiu Yan Ping dari Tiongkok untuk menjadi presiden RI. Bagi penyelenggara Kongres Pribumi, Mei 2017, hendaknya melakukan tabayyun kepada Ginanjar Kartasasmita, selaku Ketua Badan Pekerja MPR yang melakukan empat kali amandemen UUD 45 dan Tim Pengkajian MPR.

Selain itu, Prof Sahetapi, pengusul perubahan Pasal 6 Ayat 1 UUD 45, dan Patrialis Akbar, satu-satunya Anggota Pansus.yang melawan penghilangan identitas bangsa tadi.

Mumpung ketiganya masih hidup. Tapi Patrialis harus ditemui di sel tahanan KPK. Keppres pelarangan kata pribumi jelas pidana. Natalius Pigai perlu dimintai opini hukumnya. Jika perbuatan itu genocida, berlaku hukum berjalan surut. Para pengkhianat bangsa itu harus dihadapkan ke hukum. Jahat sekali. Mereka yang disebut Asong, para pengkhianat bangsa.

Dulu, namanya Londo Ireng. Masih ingat? Kini kian banyak jumlahnya, berkerumun seperti kecebong di kekuasaan, berlomba saling meningkatkan mutu beleid lego bangsa. Tadi sore, di penyambutan Sri Bintang Pamungkas di Guntur, dokter Zul Ekomei dalam pidatonya menyatakan menemukan dokumen NDI.

Dokumen bertahun 1996, adalah rancangan penggulingan Soeharto dan replacement pribumi. Tapi secara mens rea (niat jahat), hasil analysis saya, yang memiliki modus adalah Cina yang selama Orde Baru hanya diberikan konsesi ekonomi oleh Presiden Soeharto.

Mareka dilarang memasuki birokrasi, militer, dan politik. Itu paradoks dengan keputusan konferensi dunia China Overseas (Cina Perantauan) tahun 1991, 1992, 1994 yang dipimpin Lee Kuan Yew dalam rangka menguasai Asia. Dokumen itu berasal dari pemerintah Amerika Serikat. Dan, pada 15 Juli 2004, Jimmy Carter merayakan hasil penggulingan Soeharto bersama Aseng yang terlibat skandal korupsi BLBI.

Hot Keys Jenderal Pemikir

Pada buku "Jenderal Pemikir", 2014, maksudnya Presiden SBY, tentang kawat yang dibocorkan Wikileaks, dipapar kesepakatan Cina dengan Amerika Serikat bagaimana cara untuk menguasai Indonesia. Ternyata hanya satu cara. Yaitu mensekularisasi umat Islam. Perangkatnya sudah disiapkan. Yaitu pilkada, pilpres, dan demokrasi sekular. Apa saja boleh kecuali bawa iman dan tuhan. Masyakat akan dipisahkan dari agama dan budayanya, kemudian direlokasi ke moral pemilu.

Ada yang tahu apa moral pemilu? Duit, sekularisme, dan kecurangan! Umat Islam ketika sudah berubah sekuler, begitu metodenya, tinggal dikapitalisasi. Dan kapital terkuat adalah Cina yang menguasai 80% ekonomi Indonesia kini. Pribumi game over dalam neocortex warfare atau proxy war. Yang dikemukakan Rosseau, Montesqieu, Hobbes, dan Lock adalah pemisahan kekuasaan agama dengan kekuasaan politik (antara kekuasaan gereja dengan kekuasaan monarki). Bukan pemisahan moral agama dan moral politik. Ngaco berat Presiden Jokowi.

Pada IS, pribumi terbagi: beragama Islam dan non Islam. Tapi fakta sejarahnya menyimpulkan Prof Dawam Rahardjo bahwa Islam adalah identitas kepribumian. Dalam bukunya "Ekonomi Politik Pembangunan" bertajuk "Islam Mendayung Di Antara Karang Sosialisme dan Kapitalisme" (LSAF, 2012), Ia mengurai fakta sejak berdirinya organisasi Islam menghadapi pengaruh Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) yang sosialis hingga kapitalisme, justru ketika kini sosialisme berubah kapitalisme baru, menjadi penting dirujuk.

Islam harus selamat, pribumi selamat, dan sebaliknya. Survivalitas itu harus ditemukan kembali.

Atau, kita jadi Singapore berikutnya.


latestnews

View Full Version