Oleh: Adi Victoria (Penulis & Aktivis)
Alhamdulillah, kita hidup disebuah negeri yang penuh dengan limpahan kekayaan alam, itulah negeri kita Indonesia. Beragam kekayaan alam yang dimiliki negara Indonesia, baik itu berupa sumber daya alam yang dapat diperbaharui maupun tidak.
Sebagaimana data yang dilansir oleh situs http://indonesia.go.id , disebutkan bahwa letak geografis yang strategis menunjukkan betapa kaya Indonesia akan sumber daya alam dengan segala flora, fauna dan potensi hidrografis dan deposit sumber alamnya yang melimpah. Sumber daya alam Indonesia berasal dari pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan, peternakan, perkebunan serta pertambangan dan energi.
Namun, sayangnya kekayaan alam yang melimpah tersebut belum mampu untuk mensejahterakan penduduk di negeri ini yang berjumlah lebih dari 250juta jiwa. Kemiskinan masih cukup tinggi. Data dari BPS menyebutkan penduduk miskin di Indonesia pada bulan maret 2016 Mencapai 10,86 Persen (https://www.bps.go.id/brs/view/id/1229).
Mengapa hal demikian bisa terjadi? Bukankah negeri kita sangat kaya? Betul, negeri kita sangatlah kaya, namun, kekayaan alam tersebut tidak bisa kita nikmati karena yang menikmati adalah perusahaan-perusahaan asing dan aseng, maupun swasta. Dan ini adalah buah dari cengkraman system ekonomi neo-liberalisme dari Ideologi Kapitalisme. Ekonomi liberalisme memiliki tujuan agar negara-negara kapitalis, yaitu Amerika dan sekutunya, dapat terus menguasai ekonomi negara-negara berkembang seperti Indonesia, sehingga dapat terus menjadi sapi perahannya.
Untuk mewujudkan nafsu neoliberalismenya, kekuatan kapitalis asing dunia telah memaksakan kepada Indonesia sejumlah undang-undang yang bernuansa liberal. Di Indonesia lebih dari 76 UU yang bernuansa liberal, draft (rancangan)-nya telah “dipaksakan” oleh pihak kapitalis asing. Contohnya adalah: UU Migas, UU Penanaman Modal, UU Kelistrikan, UU Sumber Daya Alam, UU Sumber Daya Air, UU Perbankan dan sebagainya. Muatan berbagai macam UU tersebut sangat jelas, yaitu untuk meliberalisasi ekonomi di sektor-sektor yang vital di Indonesia. Alhasil, negeri ini tengah dalam ancaman neoimperialisme (penjajahan gaya baru) melalui neoliberalisme.
Mengelola Indonesia dengan Syariah
Nah, kalau benar kita cinta Indonesia, apakah persoalan di atas bisa selesai dengan cukup menggaungkan “NKRI Harga Mati”? jawab nya tidak!. Bentuk cinta kepada Indonesia adalah dengan bersungguh-sungguh mengerahkan semua potensi dan kemampuan kita agar negara ini bisa lepas dari cengkraman para penjajah tersebut. karena sejatinya kita sedang di jajah melalui kebijakan ekonomi neo-liberalisme.
Bagaimana caranya agar bisa lepas dari cengkraman tersebut? terapkan syariah Islam. Syariah Islam akan membatalkan semua bentuk perjanjian dengan negara-negara Kapitalis tersebut.
Kenapa dibatalakan? Karena menyalahi Islam, izin ataupun kontrak yang diberikan adalah batal demi hukum dan tidak berlaku. Sebabnya, Nabi saw bersabda:
«كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِى كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ»
Setiap syarat yang tidak ada di Kitabullah (menyalahi syariah) adalah batil meski 100 syarat (HR Ibnu Majah, Ahmad dan Ibnu Hibban).
Jika kemudian perusahaan-perusahaan asing dan aseng tersebut dan pemegang kontrak pertambangan lainnya sudah terlanjur mengeluarkan biaya, biaya-biaya itu dikembalikan setelah diperhitungkan dengan hasil yang diambil. Hal itu dianalogikan dengan orang yang menanam di tanah orang lain. Nabi saw bersabda:
«مَنْ زَرَعَ فِى أَرْضِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ فَلَيْسَ لَهُ مِنَ الزَّرْعِ شَىْءٌ وَلَهُ نَفَقَتُهُ»
Siapa yang menanam di tanah satu kaum tanpa izin mereka maka dia tidak berhak atas tanaman itu dan untuk dia (dikembalikan) biayanya (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Setelah semua kontrak yang batil tersebut dibatalkan, maka selanjutnya SDA tadi diserahkan kepada negara untuk dikelola. Kemudian hasil dari pengelolaan SDA tadi dikembalikan kepada rakyat. Pengembalian SDA yang dikelola oleh negara kepada rakyat tersebut bisa berupa kebutuhan mendasar yang bersifat umum seperti layanan pendidikan yang berkualitas, kesehatan dan keamanan, yang diberikan secara gratis, atau murah. Kenapa bisa gratis atau murah? Karena SDA tadi adalah milik ummat, bukan milik negara.
Hal ini berdasarkan hadist, dimana Rasulullah saw bersabda
الْمُسْلِمُونَشُرَكَاءُفِيثَلَاثٍالْمَاءِوَالْكَلَإِوَالنَّارِ
“Kaum muslimin bersyerikat dalam tiga perkara yaitu air, rumput liar dan energi api. [Hr. Ahmad]
Sebagian ulama berpendapat yang dimaksud وَالنَّار pada hadits ini mencakup bahan bakar yang didapat dari hasil bumi baik berupa kayu bakar dari tumbuhan liar, ataupun api itu sendiri atau dalam pengertian nyala api. Termasuk pula pada kategori api ialah panas bumi, gas, tenaga surya, api menyala, dan pengaturan cahaya. Al-Baydlawi berpendapat bahwa berserikat dalam api mencakup sinarnya, bahan bakar, sumber api, nyalanya dan cahaya matahari. Siapa pun tidak dibenarkan mencegah orang lain untuk mengambil manfaat dari api tersebut. [Faidul-Qadir, VI h.353]
Oleh karena itu semua bentuk pertambangan termasuk ke dalam istilah وَالنَّار yang terdapat di dalam hadist tersebut.
Hal yang memperkuat hujjah bahwa tambang tidak boleh dimiliki oleh Individu atau di swastanisasi adalah berdasarkan hadist yang disampaikan oleh Abyadh bin Hammal ra. yang bercerita:
Ia pernah datang kepada Rasulullah saw. dan meminta diberi tambang garam. Lalu Beliau memberikannya. Ketika ia pergi, seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukah Anda apa yang Anda berikan, tidak lain Anda memberinya laksana air yang terus mengalir.” Ia berkata: Rasul lalu menariknya dari Abyadh bin Hammal (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hibban, dll).
Inilah kenapa kemudian HTI selalu menggaungkan agar syariah Islam diterapkan di negeri ini. Dengan syariah Islam, maka keadilan dan kesejahteraan akan bisa terwujud, dan kesejahteraan itu bukan hanyauntuk umat Islam, namun juga untuk seluruh penduduk di Indonesia. hanya dengan syariah Islam-lah, semua permasalahan di negeri ini bisa terselesaikan, termasuk persoalan kemiskinan. Dan ini bukan hanya sebatas teori, namun sudah pernah terbukti saat dulu syariah Islam diterapkan.
Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. (99-102 H/818-820 M) misalnya, meskipun masa Kekhilafahannya cukup singkat, hanya 3 tahun, umat Islam terus mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. Ibnu Abdil Hakam (Sîrah ‘Umar bin Abdul ‘Azîz, hlm. 59) meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, berkata, “Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.” (Al-Qaradhawi, 1995).
Dan ini adalah bukti bahwa HTI cinta dan sayang kepada Indonesia, negeri yang penuh dengan kekayaan yang melimpah. Juru bicara HTI, M. Ismail Yusanto menyampaikan bahwa “berbagai kegiatan yang dilakukan HTI selama ini sesungguhnya adalah ikhtiar untuk menghadirkan pemahaman Islam yang syâmilah (menyeluruh) dan kâmilah (sempurna) dalam diri umat Islam di negeri ini. HTI sekaligus mengajak umat untuk mewujudkan Islam dalam realitas kehidupan bermasyarakat dan bernegara guna mengatasi berbagai persoalan yang tengah membelit negeri ini seperti persoalan kemiskinan, kerusakan moral, korupsi, kriminalitas yang merajalela, eksploitasi SDA oleh korporasi asing dan sebagainya. Dengan itulah akan terwujud kerahmatan Islam sebagaimana telah dijanjikan oleh Allah SWT.”
Beliau juga menyatakan “sungguh aneh bila ada yang mengatakan bahwa HTI dengan kampanye syariahnya itu akan memecah-belah bangsa. Mengatakan bahwa syariah akan memecah belah bangsa, apalagi bila itu dikatakan oleh seorang Muslim, adalah sebuah kedangkalan berpikir yang sangat memalukan. Bagaimana bisa mereka mengatakan seperti itu, padahal faktanya justru sistem sekular-kapitalisme-liberal itulah yang telah membuat negara ini selalu dalam himpitan berbagai persoalan yang tak berkesudahan dalam semua aspek kehidupan. Mengapa mereka tidak mengatakan sistem sekular itulah yang telah merusak bangsa dan negara ini?”
“Jadi, jelaslah bahwa perjuangan HTI adalah bentuk kecintaan pada Indonesia, dengan bentuk kecintaan yang benar seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Kecintaan HTI pada Indonesia bukan kecintaan yang semu apalagi chauvistik seperti yang dilakukan oleh banyak kelompok nasionalis secular; di satu sisi mereka bilang cinta Indonesia, namun di sini lain justru menggerogoti pilar-pilar penting tegaknya kedaulatan negeri ini. Mereka membiarkan berbagai kebijakan yang sangat pro asing, lalu membiarkan lahirnya aturan-aturan yang jelas-jelas sangat merugikan negara. Padahal semua itu terbukti justru telah membawa negeri ini pada jurang kehancuran. Jadi, siapa sebenarnya yang cinta Indonesia?” tambah beliau. [syahid/voa-islam.com]