View Full Version
Ahad, 23 Apr 2017

19 April, Momentum Kebangkitan Umat Islam di Indonesia

Oleh: Hamka*  

Fenomena Pilkada DKI merupakan lompatan logaritmik dalam sejarah perpolitikan di Indonesia. Titik tolak Pilkada DKI menjadi lompatan logaritmik terjadi dengan naiknya Presiden Jokowi dalam Pilpres 2014 yang saat itu masih menjabat Gubernur DKI. Dalam catatan sejarah Pilpres pasca era reformasi, persaingan politik selalu diikuti oleh tokoh-tokoh nasional yang berkiprah di kabinet ataupun memegang basis parpol nasional. Tetapi fenomena munculnya Jokowi menjadi warna baru dalam babak politik di negara Indonesia ini.

Naiknya Jokowi menjadi Presiden RI via Pilpres 2014 juga memunculkan fenomena baru yaitu lahirnya Gubernur dari kalangan etnis Cina yaitu Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Sesuatu yang tidak akan bisa dibayangkan sebelumnya bahwa seorang etnis minoritas memimpin ibukota negara. Namun hal tersebut bukan menjadi persoalan politik atau sosial karena warga negara indonesia lebih dewasa dalam melihat fenomena tersebut.

Munculnya sosok Ahok dalam birokrasi dan politik di Indonesia memberi warna tersendiri dalam kancah peta politik di Indonesia. Status Gubernur DKI yang disandang Ahok menjadi bekal untuk melompat lebih jauh dalam karir politik Ahok sebagaimana pendahulunya yaitu Jokowi yang sekarang menjadi Presiden.

Awal perjalanan Ahok menjadi Gubernur DKI mulai memunculkan kontroversi saat Ahok memutuskan keluar dari Partai yang mengusungnya yaitu Gerindra. Petinggi Gerindra menilai Ahok sosok "Malin Kundang" dimana tidak tahu membalas jasa. Sikap politik Ahok yang hengkang dari Gerindra memang menguntungkan statusnya, karena Hasil Pilpres 2014 PDIP keluar sebagai pemenang serta Presiden pun juga berasal dari PDIP. Ahok sangat jeli melihat situasi politik pasca Pilpres 2014 dengan mendekati Presiden dan menjauhi Gerindra.

Kontroversi ahok tidak sampai disitu, sebagai kepala eksekutif di DKI ahok mau tidak mau harus bersentuhan dengan legislatif di DKI. Disinilah nama Ahok mulai naik daun, dengan bersikap "konfrontatif" dengan legislatif yang dinilai ahok cenderung merugikan keuangan Pemprov DKI. Dalam babak perseteruan Eksekutif dan Legislatif di DKI, juga memunculkan seteru baru Ahok salah satunya Haji Lulung Politisi PPP.

Sikap Ahok yang "Konfrontatif" dan cenderung tidak kooperatif dengan DPRD DKI menjadi framing baru di masyarakat. Ahok mulai mendapat sentimen positif sebagai tokoh yang berani melawan sikap koruptif dan tegas. Framing tersebut Suatu "credit point" yang sangat besar bagi Ahok untuk muncul dalam percaturan politik Indonesia. Ditambah lagi media mainstream yang mengekspose secara massive sosok ahok tersebut.

Memasuki tahun 2016 atau setahun jelang Pilkada Gubernur DKI, nama Ahok sangat superior bahkan beberapa kalangan dan pengamat politik mengatakan siapapun lawan Ahok pasti sulit dan peluangnya kecil untuk bersaing. Setahun jelang Pilgub DKI praktis tidak ada satupun nama yang sanggup bersaing dengan Ahok. Bahkan ada pengamat mengatakan ibarat main bola ini Ahok adalah Barcelona Spanyol sedangkan lawannya Klub Lokal Indonesia, secara logika mana mungkin Klub Sepakbola Lokal Indonesia mampu mengalahkan Barcelona yang notabene klub terbaik di dunia.

Ahok yang saat itu merasa diatas angin dengan percaya diri berniat maju independen tanpa dukungan Parpol. sejumlah relawan yang mengatasnamakan Teman Ahok mulai bergrilya mencari dukungan KTP. Sikap ahok yang maju melalui jalur independen menuai pujian, karena ahok menyampaikan bahwa maju melalui Parpol hanya menimbulkan budaya negatif dengan meminta mahar politik.

...Terlepas dari Pilkada DKI, pernyataan Ahok tentang Al Maidah 51 tersebut menimbulkan sentimen negatif dari berbagai kalangan umat Islam. Pernyataan Ahok tersebut dianggap menyinggung dan melecehkan Al Quran yang sakral bagi seorang Muslim...

Sejumlah nama pesaing Ahok mulai dimunculkan dari Haji Lulung, Bupati Bojonegoro Suyoto, Bupati Batang, Sampai nama Walikota Surabaya (Risma) santer menjadi pembicaraan di media. Nama terakhir yang menjadi rival Ahok yang disebut mampu bersaing dengan Ahok.

PDIP sebagai partai penguasa tidak akan tinggal diam dengan sikap Ahok yang akan maju melalui jalur independen. Sosok Risma yang dinilai sukses memimpin dan menata kota Surabaya adalah momok politik bagi Ahok.

Melihat gelagat perlawanan PDIP, Ahok mulai berhitung ulang karena bagaimanapun PDIP adalah partai penguasa ditambah dengan santernya kemunculan Risma membuat Ahok dalam dilema. PDIP kemudian menggandeng Partai Politik dalam koalisi besar bernama koalisi kekeluargaan yang dipimpin Bambang DH. PDIP saat itu membuat pernyataan keras terhadap Ahok bahkan ada video yang menjadi viral yang intinya "Ahok Pasti Jatuh".

Di sisi lain, Partai Golkar, Nasdem, Hanura melihat posisi Ahok yang berada di atas angin langsung memutuskan dukungan terhadap Ahok dengan dalih dukungan tanpa syarat dan mahar. Dengan Klaim 1 juta KTP hasil kerja Teman Ahok ditambah dukungan 3 partai (Golkar, Nasdem dan Hanura) tetap membuat Ahok dilematis. Pada akhirnya setelah proses kontemplasi Ahok memutuskan untuk menggunakan PDIP sebagai kendaraaan politik dalam Pilkada DKI. Keputusan itu cukup kontroversial karena Teman Ahok yang berjuang untuk mengumpulkan KTP dinegasikan dengan sikap Ahok tersebut.

Majunya Ahok melalui PDIP ditopang 3 Partai (Golkar,Hanura dan Nasdem) plus sokongan moril Teman Ahok menjadi kekuatan yang sulit dibendung. Nampaknya analogi sepakbola Barcelona vs klub lokal Indonesia akan menjadi kenyataan. Bahkan beberapa pengamat politik mengatakan Pilkada DKI sudah selesai dengan kemenangan Ahok.

Seiring perjalanan waktu, Pilkada DKI nampaknya akan berjalan hambar tanpa dinamika yang menarik karena bisa hampir dipastikan Ahok akan melenggang ke Kursi DKI 1 tanpa ada hambatan berarti. Namun sungguh di luar semua perkiraan para pengamat dan ahli politik sekalipun, muncullah video pernyataan kontroversial Ahok di Kepulauan Seribu tentang Al Maidah 51 yang diunggah oleh Buni Yani (walaupun menurut Buni Yani itu bukan unggahan pertama karena yang pertama mengunggah adalah Pemprov DKI).

Terlepas dari Pilkada DKI, pernyataan Ahok tentang Al Maidah 51 tersebut menimbulkan sentimen negatif dari berbagai kalangan umat Islam. Pernyataan Ahok tersebut dianggap menyinggung dan melecehkan Al Quran yang sakral bagi seorang Muslim. Namun sikap Ahok yang acuh terhadap kritik membuat umat Islam semakin tersinggung. Ahok malah mengatakan bahwa tidak perlu meminta maaf atas kejadian di Kepulauan Seribu karena dianggap biasa saja.

Reaksi Ahok yang santai saja memicu respon umat Islam sehingga muncullah aksi demonstrasi. Inilah titik balik dari pilkada DKI. Demonstrasi umat Islam di berbagai daerah awalnya masih ditanggapi dingin oleh Ahok. Kemudian beberapa perwakilan umat Islam mengadukan ke Kepolisian atas kasus penistaan agama. Kontroversi Ahok bahkan dijadikan acara khusus di televisi swasta nasional dengan presenter Karni Ilyas. Setelahnya, program mingguan acara tersebut akhirnya tidak tayang beberapa periode tanpa sebab yang jelas.

Dalam bahasa Fisika, hukum ketiga Newton F aksi sama dengan F reaksi. Maksudnya Gaya Aksi Ahok dan pembelanya berbanding lurus mendapat reaksi yang sepadan. Muncullah fenomena aksi 411, 212, 112 dst. Aksi-aksi tersebut oleh sebagian besar umat Islam dinilai belum mendapat respon positif dari pemerintah walaupun pada akhirnya Ahok ditetapkan menjadi tersangka.

Pergumulan ideologi dan semua isu keumatan dan kebangsaan akhirnya ikut menjadi larut dalam polemik penistaan agama tersebut. Wacana dan opini yang berkembang di masyarakat melalui media mainstream ataupun Social Media sudah berkembang menjadi isu keumatan dan kebangsaan. Polarisasi opini secara perlahan mulai terbentuk. Muncullah wacana toleransi, kebhinekaan dan keberagaman yang selama ini jarang sekali terdengar, sampai wacana kelompok radikal pun muncul menjadi bagian dari polemik ahok tersebut.

Penanganan polemik kasus Ahok ini tidak memuaskan ekspektasi umat islam sehingga muncul ketidakpuasan di kalangan umat Islam. Memang ada sebagian umat Islam yang menganggap pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu bukan penistaan agama. Selama berbulan-bulan masyarakat kita terjebak dalam perseteruan ideologi antara kelompok nasional dan agama. Namun penyebab meluasnya polemik ideologi tersebut karena akar persoalannya tidak mendapat perhatian serius.

Di tengah perhelatan Pilkada kasus penistaan agama yang disangkakan ke Ahok terus bergulir dan menjadi warna politik di DKI. Walaupun kasus tersebut suatu kasus yang berbeda, tapi karena momen kasus penistaan agama oleh Ahok bersamaan dengan pelaksanaan Pilkada maka hal tersebut menjadi kontroversial. Umat islam menganggap kasus penistaan agama tidak ada hubungannya dengan Pilkada, sementara kubu Ahok membuat perspektif bahwa agama menjadi bahan politisasi untuk mengalahkan Ahok.

...Selama berbulan-bulan masyarakat kita terjebak dalam perseteruan ideologi antara kelompok nasional dan agama. Namun penyebab meluasnya polemik ideologi tersebut karena akar persoalannya tidak mendapat perhatian serius...

Perseteruan ideologi tersebut bahkan sempat dihubungkan dengan kejadian Arab Spring sebagian memakai bahasa hiperbola bahwa  kasus Ahok akan menyebabkan Indonesia akan mengalami kejadian seperti Suriah.

Seiring kasus penistaan agama tersebut muncul juga kejutan politik seperti majunya Anak SBY yaitu AHY. Banyak orang tidak menyangka mengingat AHY adalah tentara aktif dengan prestasi yang sangat baik di lingkungan militer. Kejutan lanjutannya adalah didorongnya Anies Baswedan oleh koalisi Gerindra dan PKS. Diantara dua kejutan politik tersebut nampaknya Gerindra dan PKS sangat jeli melihat situasi. Sosok Anies adalah sosok antitesa dari Ahok. Sementara sosok AHY walaupun di awal kemunculannya hasil surveynya yang teratas, namun tidak signifikan untuk menjadi antitesa dari Ahok.

Walhasil ketiga calon Gubernur tersebut berkompetisi di pikada DKI putaran pertama, dan endingnya tidak sesuai yang diharapkan kubu Ahok yang berambisi menang satu putaran. Hasil pilkada putaran pertama menghasilkan stigma bahwa mayoritas pemilih di DKI menginginkan pemimpin atau gubernur baru.

Hasil pilkada DKI putaran pertama merupakan pukulan telak bagi kubu Ahok yang berharap menang satu putaran. Menjelang pilkada putaran kedua kubu Ahok harus memutar otak agar dapat mengambil suara dari kubu AHY yang gagal lolos putaran kedua plus suara floating mass.

Namun untuk mengambil massa dari kubu AHY bukan perkara mudah karena perseteruan kubu Ahok vs AHY lebih tajam dari Ahok vs Anies. Kubu Ahok beranggapan lawan terberat di putaran pertama adalah AHY jika bersandar pada hasil survey jelang putaran pertama. Masih ingat drama kemunculan Antasari Azhar jelang pilkada putaran pertama. Memang kehadiran Antasari Azhar dianggap kubu AHY efektif untuk mendegradasi suara AHY. Hal tersebut terbukti ampuh dengan hasil AHY sebagai juru kunci pada pilkada putaran  pertama.

Sekelumit pertarungan 3 Faksi besar SBY vs PRABOWO vs MEGA/JOKOWI  sangat menguras perhatian publik nasional bahkan luar negeri. Wacana ideologi nasionalis vs agama juga mencuat. Bahkan menjelang Pilkada putaran kedua kehadiran Raja Salman di Indonesia juga menjadi bumbu politik jelang pilkada putaran kedua.

Momen menegangkan yang ditunggu hadir  beberapa saat menjelang hari H pencoblosan pilkada putaran kedua. Perseteruan di dunia maya dan di alam nyata tak terhindarkan. Bahkan terdapat gesekan antar kelompok sehari jelang hari H di daerah Kramat Lontar. Selain itu adanya insiden hujan sembako di DKI juga menjadi pernak-pernik yang "eye catching" pilkada DKI. Nuansa pertarungan ideologi sangat kental saat itu. Umat Islam yang masih tersinggung dengan pernyataan Ahok tentang surat Al Maidah 51 juga membuat pergerakan salah satunya mengadakan tamasya Al Maidah walaupun tidak terlaksana secara besar-besaran. Seiring waktu akhirnya pelaksanaan pilkada putaran kedua berlangsung dengan relatif kondusif dan aman. Dan sungguh di luar dugaan lagi, hasil hitung cepat yang dilakukan berbagai lembaga survey memenangkan anies dengan meyakinkan yaitu selisih 13-17 persen. Banyak pengamat memprediksi siapa pun pemenangnya akan unggul dengan selisih tipis sekitar 2-3 persen.

Kemenangan Anies-Sandy berdasarkan hasil hitung cepat merupakan fase baru perubahan iklim politik di Indonesia. Namun ada hal yang perlu menjadi kredit tersendiri kehadiran GNPF MUI adalah salah satu instrumen yang luar biasa dalam membangkitkan ghiroh umat Islam. Selama ini tidak pernah ada dalam sejarah adanya sholat jumat termegah di dunia pasca Sultan Fatih menaklukan Konstantinopel yang akhirnya terwujud dalam aksi 212. Kemudian gerakan subuh berjamaah yang sekarang menjadi massive padahal sholat Subuh di Indonesia adalah sholat dengan jamaah yamg paling sedikit dibanding sholat fardhu lainnya.

Gerakan umat Islam ini harus diluruskan perspektifnya karena pancasila dan Islam adalah hal yang selaras. Jangan ada stigma bahwa gerakan Subuh berjamaah adalah bagian dari mensyariahkan negara. Karena pancasila adalah bagian dari kristalisasi pemikiran ulama Masyumi. Kebangkitan umat Islam di Indonesia bukan berarti kita akan memberangus semua perbedaan, justru kebangkitan Islam adalah bagian dari dakwah islam rahmatan lil alamiin sebagaimana sahabat Umar bin Khottob yang melindungi kaum Kristen di Jerusalem, Palestina.

Sahabat Umar bin Khottob juga berlaku adil terhadap seorang Yahudi yang mengadu karena digusur rumahnya di mesir karena akan didirikan masjid. Umat Islam tidak bisa dipisahkan dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia ini. Episode kemenangan Anies Sandy semoga menjadi periode kebangkitan Islam di Indonesia yang selama ini lalai terhadap agamanya. Walllahu A'lam. (riafariana/voa-islam.com)

*(Mantan Pengurus Besar HMI/Pengurus PP IKA ITS)

Ilustrasi:Google


latestnews

View Full Version