View Full Version
Sabtu, 29 Apr 2017

Menjadikan Realitas Sebagai Obyek Pemikiran, Bukan Sebagai Subyek Pemikiran

Oleh: Adi Victoria (Penulis & Aktivis Dakwah)

Penting dan menjadi sebuah keharusan untuk menjadi fakta atau realitas sebagai obyek pemikiran, bukan sebagai subyek pemikiran.

Karena jika fakta atau realitas tersebut dijadikan sebagai subyek pemikiran, maka itu sama artinya menjadi fakta atau realitas sebagai seseuatu yang menghukumi.

Contoh fakta bahwa Indonesia dalam negara yang memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia, atau tepatnya 1.340 suku bangsa menurut sensus BPS tahun 2010. serta terdapat 1211 bahasa (1158 bahasa daerah).

Agama yang ada di Indonesia ada 6, bukan hanya agama Islam (walaupun mayoritas, sekitar 85%).

Dengan fakta demikian, -dengan menggunakan perasaan- maka penerapan syariah Islam tidak cocok, tidak sesuai di Indonesia. Karena akan bertentangan dengan kearifal lokal, dan kebhinekaan.

Itulah yang akan terjadi, jika menjadikan fakta atau realitas sebagai subyek pemikiran.

Padahal fakta atau realitas tersebut setelah dirasakan, harusnya kemudian dibawa ke dalam proses berfikir secara mendalam, sehingga fakta/realitas tersebut menjadi obyek pemikiran yang akan dihukumi.

 

Prinsip Syariat Islam

Dihukumi dengan apa? jelas sebagai seorang Muslim, dalam masalah membangun pemikiran harus sesuai dengan aqidah. Menjadikan aqidah Islam sebagai landasan dalam berfikir.

Setelah dilakukan proses berfikir yang mendalam, maka dapat difahami bahwa pelaksanaan syariah Islam adalah sebuah kewajiban, tidak melihat kapan dan dimana itu dilakukan. Tidak melihat kondisi zaman, karena Al Qur'an itu berlaku untuk sepanjang zaman.

Bahwa setelah dilakukan proses berfikir, dapat difhami bahwa kemudian kebhinekaan adalah sebuah sunatullah di dalam Islam, sehingga  tidak ada masalah antara Islam dan kebhinekaan. Allah SWT berfirman:

"Hai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Mahatahu lagi Maha Mengenal” (TQS al-Hujurat [49]: 13).

Bahwa setelah melalui proses berfikir, ketika mengkaji sirah Nabawiyah, ketika Daulah Islam tegak di Madinah, penduduk negerinya tidak hanya umat Islam, namun juga ada Kafir Musyrik, Kafir Ahlul Kitab yahudi dan Nasrani, dan alhamdulillah bisa hidup berdampingan.

Bahwa setelah melalui proses berfikir secara mendalam, saat mengkaji Tarikh, dimana ketika Islam tegak di Andalusia (Spanyol), dimana kaum non-muslim di Al-Andalus, seperti Kristen dan Yahudi, dalam hukum Islam merupakan kafir dzimmi, mereka bebas menjalankan ajaran agamanya, tidak dipaksa untuk masuk Islam, namun berkewajiban membayar jizyah. Sehingga dapat difahami bahwa Islam tegak tidak akan mendzalimi penganut agama selain agama Islam.

Bahkan, ketika terus dikaji, akan di ketahui pendapat para ahli yang berpendapat bahwa agama minoritas (termasuk Yahudi) di Al-Andalus yang dikuasai umat Islam dulu diperlakukan jauh lebih baik daripada di daerah Eropa Barat yang dikuasai Kristen, dan mereka hidup dalam "masa keemasan" toleransi, saling menghormati dan keharmonisan antarumat beragama.

Juga ketika terus berfikir dan mengkaji fakta lain, seperti kehidupan Kristen koptik di Mesir. Keberadaan Kristen Koptik di Mesir yang mencapai 10 persen dari 85 juta penduduk Mesir, menunjukkan bagaimana Islam memperlakukan agama Kristen dengan baik. Padahal Mesir pernah di bawah naungan Khilafah yang menerapkan syariah Islam, pemeluk agama Kristen tetap dilindungi.

Jadi, bukan persoalan cocok atau tidak cocok, sesuai atau tidak sesuai, namun mau atau tidak agar syariah Islam diterapkan, dan sebagai seorang Muslim, kita pasti mau agar syariah Islam diterapkan di negeri ini, karena penerapan syariah, pasti akan membawa kemasalahatan, termasuk di negeri ini. Sebagaimana kaidah ushul menyebutkan

حَيْثُمَا كَانَ الشَّرْعُ فَثَمَّتِ اْلمَصْلَحَةُ

"Di mana pun ada syariat, di situ pasti ada maslahat."

Dan ketika dilakukan kembali proses berfikir secara mendalam, dapat difahami bahwa penerapan syariah Islam tidak akan bisa terlaksana secara kaffah (menyeluruh), kalau tidak ada institusi kekuasaan yang menerapkannya. Maka oleh karena itu, wajib untuk mewujudkan tegaknya institusi itu agar bisa menerapkan syariah Islam.

Sebagaimana kaedah syara’ menyebutkan :

[مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ اِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ]

Tidak sempurna suatu kewajiban tanpa sesuatu, maka sesuatu tersebut menjadi wajib pula (hukumnya) dan institusi itu adalah daulah Islamiyah, yakni Khilafah Rasyidah ‘ala minhajin nubuwwah. Wallahu a’lam bisshowab. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version