Oleh : Achmad Fathoni*
“Akan datang kepada kalian masa yang penuh dengan tipu daya ketika orang-orang akan mempercayai kebohongan dan mendustakan kebenaran. Mereka mempercayai para pengkhianat dan tidak mempercayai para pembawa kebenaran. Pada masa itu, ruwaibidhah akan berbicara. Mereka bertanya, apakah ruibidhah itu?, Rasulullah berkata, “Ruwaibidhah adalah orang bodoh (yang berbicara) tentang urusan umat.” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah r.a)
‘Pesta’ telah usai. Pilkada serentak yang digelar 15 Februari 2017 yang lalu, yang diselenggarakan di 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota di seluruh Indonesia baru saja usai. Namun pesta demokrasi tersebut belum usai, terutama di provinsi DKI Jakarta. Masih ada pilkada putaran kedua, yang akan digelar 19 april 2017 mendatang, antara pasangan calon nomor urut kedua, Ahok-Djarot, melawan pasangan calon urut ketiga, Anies-Sandi. Pasalnya hasil perhitungan suara putaran pertama kedua pasangan calon tersebut tidak ada yang mencapai 50 persen plus satu.
Tentu pilkada DKI Jakarta putaran kedua ini menjadi sorotan nasional, karena DKI Jakarta menjadi barometer perpolitikan nasional. Sehingga pilkada putaran kedua tersebut harus menjadi perhatian kita semua. Hal itu tidak berlebihan, mengingat hasilnya akan menentukan wajah negeri kita lima atau bahkan sepuluh tahun mendatang. Pasangan calon yang menang putaran kedua tersebut menjadi garansi bisa melenggang maju ke pilpres tahun 2019. Nah pada titik ini kedua pasangan calon akan berjuang mati-matian untuk memenangkan putaran kedua tersebut.
Kita umat Islam sebagai bagian terbesar warga bangsa ini patut bertanya, seberapa signifikankah hasil pilkada putaran kedua tersebut bagi kesejahteraan warga bangsa ini dan tentu yang paling penting adalah bagaimana nasib umat Islam pasca pilkada putaran kedua tersebut. Pasalnya salah satu calon adalah petahana gubernur DKI Jakarta, yang mempunyai sepak terjang yang anti-Islam dan telah sering menelorkan kebijakan yang merugikan umat Islam. Bukan hanya itu meski mendapat penolakan besar dari umat Islam melalui Aksi Bela Islam 1, 2, 3, dan 4, sang petahana dengan enaknya melenggang ikut putaran pertama, dan secara faktual memperoleh suara terbanyak di antara dua calon yang lainnya. Yang juga sangat menyedihkan kita, meski sudah menyandang status tersangka penistaan agama (Islam), seluruh petinggi negeri ini seakan “tutup mata” terhadap fakta itu, bahkan penguasa negeri ini “menyiapkan karpet merah” untuk memenangkan Pilkada putaran kedua.
Yang Menang Tetap Konglomerat
Sebenarnya kita sudah dapat memprediksi hasil akhir pilkada putaran kedua ini, yaitu pasangan calon Ahok-Djarot yang bakal “menjuarai” dalam pertarungan tersebut. Tentu kemenangan itu dapat berjalan mulus karena mempunyai banyak “supporter” dari kalangan konglomerat dan penguasa negeri ini. Akibat dari semuanya itu, Pilgub DKI Jakarta 2017 berpotensi besar hanya memberikan pepesan kosong. Hasil akhirnya tidak akan jauh berbeda dengan Pilgub atau Pilkada sebelumnya, yaitu sebagai berikut. Pertama, Kekuasaan tetap dikendalikan sekelompok kecil elit pengusaha. Kedua, Korupsi, suap, dan penyalahgunaan wewenang akan tetap marak. Untuk mengembalikan modal pencalonan yang hampir mustahil ditutup dari pendapatan resmi, terjadilah korupsi, penyalahgunaan anggaran, atau tindakan memperdagangkan kekuasaan dan wewenang seperti dalam pemberian berbagai ijin kepada pengusaha hitam. Ketiga, Terjadinya “perselingkuhan” penguasa dan pengusaha akan terus berlanjut. Pengusaha mengeluarkan dana yang besar untuk membiayai dana kampanye para pasangan calon. Imbalannya, proyek-proyek akan diserahkan kepada pengusaha itu melalui pengaturan tender, meloloskan proyek-proyek yang disodorkan oleh pengusaha atau cara lainnya yang penting pengusaha bisa kembali modal dan mengeruk keuntungan sebesar-bersarnya, tanpa mau memperhatikan sedikitpun kepentingan rakyat secara umum. Keempat, Akibat dari semuanya itu, pemimnpin daerah akan lebih mengutamakan kepentingan dirinya, kelompok, partai, dan pemodalnya. Sebaliknya kepentingan dan kemaslahatan rakyat akan terpinggirkan dan terabaikan.
... Umat Islam harus berjuang bersama mengganti sistem jahiliyah, demokrasi-sekuler yang diterapkan di negeri kita saat ini, dengan sistem ilahiyah, Khilafah Islamiyah...
Apa Solusi Tuntasnya ?
Jika rakyat mempunyai “kecerdasan politik” tidak akan mau tertipu untuk kesekian kali dalam Pilkada tersebut. Rakyat hanya dipakai sebagai “objek penderita” dalam pesta demokrasi yang penuh intrik dan tipudaya itu. Rakyat hanya bisa berteriak-teriak menolak pasangan calon yang “jahat”, tanpa bisa berbuat banyak untuk bisa menentukan siapa pemimpin yang layak memimpin mereka. Harusnya semuanya itu menjadi pelajaran berharga untuk menentukan nasib mereka sendiri di masa mendatang.
Pilkada langsung tak lebih dari sekedar demokratisasi yang menipu rakyat, fakta di lapangan jelas membuktikan hal itu. Saat kampanye rakyat dijanjikan program yang indah-indah, namun setelah berkuasa pasangan calon tersebut justru menindas rakyat dengan menelorkan kebijakan yang tidak pro-rakyat. Dan seterusnya rakyat mau apa, dengan menyaksikan “dagelan politik” di DKI Jakarta tersebut. Bagi umat Islam, tentu harus segera menyadari dan bangun dari “mimpi buruk” dalam sistem demokrasi sekuler saat ini. Kita umat Islam harus segera keluar dari kungkungan sistem demokrasi yang sangat menyesakkan dada kita untuk menuju cahaya Islam. Maka Umat Islam khususnya di ibukota Jakarta dan secara umum di negeri ini harus melakukan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, Umat Islam harus menolak demokrasi sampai akar-akarnya. Dengan cara memahami hakikat demokrasi, yaitu sistem pemerintahan yang menegasikan peran Allah swt dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi demokrasi merupakan sistem hidup yang bertentangan secara diametral dengan keimanan seorang mukmin. Untuk itu, umat Islam harus menolak demokrasi serta berteriak lantang bahwa demokrasi adalah sistem kufur, kita dilarang mengambilnya, mererapkannya, dan mendakwahkannya.
Kedua, Umat Islam jangan mau tertipu dengan demokrasi untuk yang kesekian kali. Terasa manis jika dijilat, namun akan menjadi racun yang mematikan jika diteguk. Oleh karenya umat Islam jangan menjadi penjilat demokrasi. Ambil contoh, Pilkada yang mererapkan azas luber jurdil hanyalah slogan kosong tanpa bukti. Kita bisa saksikan calon gubernur yang berstatus tersangka penistaan agama (Islam) yang seharusnya meringkuk di penjara, pada faktanya justru dia memenangkan Pilgub putaran pertama. Bukankah itu hal yang aneh dan tidak masuk akal?
Ketiga, Umat Islam harus berjuang bersama mengganti sistem jahiliyah, demokrasi-sekuler yang diterapkan di negeri kita saat ini, dengan sistem ilahiyah, Khilafah Islamiyah. Dengan jalan meneladani apa yang sudah dilampaui generasi awal umat Islam. Sebagaimana Imam Malik pernah berpesan, “untuk memperbaiki umat di jaman ini, harus menggunakan apa yang digunakan untuk memperbaiki generasi awal umat ini”. Itulah syariat Islam dan sistem Khilafah Islamiyah. Hanya dengan solusi Islam itulah akan bisa mewujudkan pemimpin yang adil, amanah, taat kepada syari’at Islam, dan dapat menyejahterakan seluruh rakyat yang dipimpinnya. Wallahu a’lam. (riafariana/voa-islam.com)
*(direktur el Harokah Research Center)
Ilustrasi: Google