View Full Version
Sabtu, 13 May 2017

Meluruskan Pemahaman Ayat Kepemimpinan Laki-laki atas Perempuan

Oleh: Zaqy Dafa

Salah satu ide favorit kaum liberal di Indonesia yang sangat gencar disebarkan di tengah masyarakat dan juga Ormas-ormas Islam adalah paham Feminisme. Para pegiat feminisme ini seringkali berusaha menyebarkan paham kesetaraan gender ala Barat ini melalui kajian Al-Quran dalam “perspektif gender”.

Ide mendudukkan al-Qur'an dalam persepsi jender tidak dilontarkan secara sederhana dan serampangan, tapi ide ini dikaji melalui riset khusus dalam jenjang kesarjanaan tertinggi di perguruan tinggi Islam negeri yang dibimbing oleh para profesor dari lintas agama dan negara, serta menghabiskan waktu 6 tahun, dan –kononnya- dengan kajian kepustakaan di 27 negara, yang bahan-bahan pustakanya tidak hanya berbahasa Arab dan Inggris, tapi juga Ibrani, seperti yang dilakukan oleh Nasaruddin Umar.

Dalam disertasi Nasaruddin Umar yang telah dipublikasikan dengan tema "Argumentasi Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur'an", misalnya, dia memaparkan adanya bias jender dalam pemahaman teks al-Qur'an. Nasaruddin menganalisa beberapa faktor yang –menurutnya- turut memberi peran bias jender dalam pemahaman teks al-Qur'an, seperti pembakuan tanda huruf, tanda baca dan Qira'at; pengertian kosa kata; penetapan rujukan kata ganti; penetapan batas pengecualian; penetapan arti huruf 'athf; bias dalam struktur bahasa Arab; bias dalam kamus bahasa Arab; bias dalam metode tafsir; pengaruh riwayat isra'iliyyat, dan bias dalam pembukuan dan pembakuan kitab-kitab Fiqh.

Untuk pembahasan kali ini akan kita kaji beberapa ayat al-Quran yang biasa dituduh menyudutkan posisi wanita oleh para kaum feminisme dalam usaha meruntuhkan hukum-hukum al-Quran. kaum feminis seringkali memahami al-Quran sepotong-sepotong sehingga keluar dari pemahamannya yang utuh bahkan bertentangan, dan inilah yang biasa mereka lakukan untuk memelintir makna al-Quran untuk mendukung paham yang mereka dagangkan ke masyarakat. Salah satunya yang paling digemari oleh kaum fenimis adalah ayat-ayat yang menyebutkan qiwamah (kepemimpinan) pria terhadap wanita, seperti ayat berikut:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ [النساء : 34]

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. Al-Nisa: 34)

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ [البقرة : 228]

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 228)

Ayat ini dijadikan amunisi kaum liberal-feminis untuk menunjukkan bahwa al-Quran dan Islam telah memiliki watak membenci wanita (misoginis). Pemahaman tekstual (harfiah) terhadap ayat diatas dianggap kaum feminis-liberal menyudutkan posisi wanita, menganggap wanita sebagai kaum lemah dan inferior serta mengunggulkan laki-laki sebagai makhluk kuat dan superior dibanding wanita. Kepemimpinan laki-laki atas wanita merupakan tindakan diskriminasi terhadap kaum perempuan, dan bias gender seperti kata Nasaruddin Umar.

Benarkah demikian? Untuk menjawabnya, maka kita perlu menelaah lebih dalam lagi kedua ayat tersebut dengan melihat korelasi dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Hal ini perlu dilakukan agar kita mampu menilai kekuatan konsep atau ajaran al-Quran tersebut dan kebenaran pemahaman kaum feminis diatas. Hal ini karena Allah sendiri telah mendeklarasikan bahwa al-Quran turun sebagai rahmat bagi umat manusia, dan Syari’ah Allah yang dipahami dari Kalimat-kalimat al-Quran telah dijamin Allah membawa kemanfaatan bagi umat manusia baik pria maupun wanita. Jika kita menelah begitu saja omongan kaum feminis diatas, tentu akan menghancurkan kebenaran al-Quran itu sendiri.

 

Mendudukkan Kepemimpinan Laki-laki atas Perempuan

Perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa ayat kepemimpinan pria atas wanita ini turun di Madinah al-Munawwarah, bersamaan dengan pembebasan Islam terhadap kaum wanita dari belenggu budaya Jahiliyyah dimana saat itu kaum wanita hanya dijadikan sebagai obyek pemenuh kebutuhan seksual belaka dengan sistem pernikahan tanpa etika yang menindas, penguburan hidup-hidup anak perempuan yang baru lahir, dan lain-lainnya. Ketika Islam datang, kaum wanita dapat berdiri sejajar dengan pria dalam ruang publik, dan pada saat emansipasi wanita khas Islam itulah ayat Kepemimpinan Pria itu turun.

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ [البقرة : 228]

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 228)

Jika diperhatikan, maka ayat kepemimpinan pria atas wanita diatas turun bersamaan dengan ayat tentang kesetaraan wanita dengan pria. Bahkan ayat keseteraan tersebut disebutkan sebelumnya dan disambung dengan huruf ‘athaf “wawu” yang menunjukkan makna ma’iyyah (kebesertaan, kebersamaan). Maka antara kepemimpinan pria atas wanita dan kesetaraan antar keduanya adalah dua hal yang saling melengkapi, bukannya bertentangan seperti pemahaman para pegiat feminisme sehingga menjadikan konsep kepemimpinan pria berkurang kedudukannya dari konsep kesetaraan pria dan wanita dalam al-Quran. Tidak berlebihan jika Ibn Abbas menafsiri ayat diatas dengan berkata, “Sungguh aku harus berhias diri di depat istriku seperti halnya dia berhias diri di depanku karena ayat ini.”

Untuk mengetahui makna satu tingkatan pria atas wanita dalam ayat diatas, kita dapat melihatnya dengan meneliti ayat satunya dalam topik yang sama, surah al-Nisa: 32-34. Kaum feminis liberal seringkali hanya mengutip dan memahami sepenggal ayat diatas tanpa mengikutsertakan kalimat dan ayat sebelum atau setelahnya. Sehingga, yang terkesan bagi mereka bahwa al-Quran hanya menyajikan konsep Qiwamah (kepemimpinan) pria atas wanita belaka. Itupun dalam pemahaman yang salah karena kepemimpinan tersebut berdasarkan tinjauan gender atau jenis kelamin, dengan arti bahwa jenis lelaki secara biologis lebih superior dari jenis perempuan. Padahal, tidak demikian menurut al-Quran.

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا (32) وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا (33) الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ [النساء : 32 ، 34]

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (32) Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. (33) Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. Al-Nisa: 32-34)

Ternyata, dari ayat diatas dipahami bahwa maksud kepemimpinan pria atas wanita bukan karena jenis pria lebih unggul daripada jenis wanita, namun karena mereka mendapatkan lebih banyak kewajiban dibanding wanita dalam keluarga. Kepemimpinan laki-laki dalam keluarga ini adalah tanggung jawab, bukanlah merupakan sifat diktator atau diskriminasi yang mengurangi atau berkurang dari nilai kesetaraan yang turun bersamaan dengannya.

Sebaliknya, penghapusan kepemimpinan pria atas wanita akan menghancurkan institusi keluarga. Dan inilah yang ingin dicapai oleh kaum feminis pegiat kesetaraan gender. Ini bertujuan merombak tatanan keluarga dan sosial Islam dan menolak peran perempuan sebagai ibu rumah tangga. Ide pembebasan wanita dari citra sebagai ”ibu”, sudah digagas oleh John Stuart Mill, melalui bukunya, The Subjection of Women (1869). Menurut Mill, pekerjaan perempuan di sektor domestik (rumah tangga) merupakan pekerjaan irasional, emosional, dan tiranis. Karena itu, Mill meminta perempuan menekan dan menghilangkan segala aspek yang ada kaitannya dengan pekerjaan domestik (keluarga) agar ”kebahagiaan” tertinggi dapat dicapai. 

Gaung penghapusan institusi keluarga dengan dalih kesetaraan gender ini lalu diimpor oleh banyak aktivisnya di Indonesia. Seorang aktivis feminis, Debra Yatim, saat diwawancara majalah Tiara (179, 23/3/1997), menyatakan: ”Saya lebih setuju lembaga perkawinan dilenyapkan sama sekali. Open marriege jauh lebih sehat daripada poligami. Lebih bagus kita kenalan, jatuh cinta, hidup bersama, membina suatu rumah tangga sampai kita tidak cocok lagi. Mau sampai berapa tahun pun, kalau kita nggak cocok, kita cari lagi partner lain yang cocok...”

Tahun 2004, Pusat Studi Wanita UIN Yogyakarta, menerbitkan buku berjudul Isu-Isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah yang menulis pada sampul belakangnya: 

“Sudah menjadi keprihatinan bersama bahwa kedudukan kaum perempuan dalam sejarah peradaban dunia, secara umum, dan peradaban Islam secara khusus, telah dan sedang mengalami penindasan. Mereka tertindas oleh sebuah rezim laki-laki: sebuah rezim yang memproduksi pandangan dan praktik patriakhisme dunia hingga saat ini.”

Padahal, di Barat sendiri penghapusan kepemimpinan laki-laki atas perempuan dan konsep open marriage atau berpasangan tanpa pernikahan ini telah banyak menuai masalah. Data statistik di Amerika menunjukkan, pada tahun 1995 M terdapat 82 ribu tindak kejahatan pemerkosaan. 80% darinya berasal dari keluarga dan pertemanan. Sementara kepolisian mengatakan angka yang benar adalah 35 kali lipat.

Pada tahun 1997 M menurut lembaga pembelaan hak-hak perempuan, perempuan diperkosa tiap tiga detik. Jumlah wanita tua yang fakir adalah 74%, dan yang hidup sendirian tanpa bantuan adalah 85%. Pada tahun 1980 sampai 1990 M di Amerika Serikat kira-kira sejuta perempuan yang menjadi pelacur. Pada tahun 1995 M pendapatan lembaga-lembaga prostitusi dan operasional medianya mencapai 2.500 juta dolar.

Dari pemaparan diatas dapat kita simpulkan, bahwa pemahaman kaum feminis bahwa Qiwamah (kepemimpinan) laki-laki atas perempuan merupakan konsep yang diskriminatif dan tidak adil terhadap wanita tidak didukung oleh al-Quran dan fakta lapangan. Al-Quran menegaskan, laki-laki memiliki satu tingkatan lebih tinggi dari wanita dalam masalah tanggung jawab dalam keluarga, bukan karena faktor jenis kelamin pria yang lebih unggul dari wanita.

Bahkan, jika kita memaksakan mengikuti konsep penghapusan kepemimpinan pria atas wanita ini, maka institusi keluarga akan hancur dan sistem sosial dan etika akan porak poranda seperti yang terjadi di Barat. WaLlahu A’lam. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version