Oleh: Abu Fikri (Analis Pusat Kajian Data dan Analisis)
Pemerintah merasa sudah memiliki alasan yang kuat untuk membubarkan HTI. Setidaknya ada tiga alasan utama. Diperkuat oleh Polri yang menyatakan telah memiliki bukti-bukti di berbagai daerah. Didukung oleh NU, Banser, GP Ansor, Ketua DPR dan Romi (PPP).
Tapi perdebatan mengenai substansi tiga alasan utama yang disampaikan oleh pemerintah menjadi kontroversi. Di antara yang kontra adalah Komnas HAM, Fadli Zon (Gerindra), Yusril Ihza Mahendra, tokoh-tokoh nasional lain, berbagai kelompok masyarakat dari berbagai latar di berbagai daerah.
Meski Wiranto selaku Menkopolhukam RI meminta masyarakat agar tidak memperkeruh dengan berspekulasi memperdebatkan alasan sebenarnya rencana pembubaran tersebut. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa rencana pembubaran tersebut dilakukan di antara deretan berbagai peristiwa politik dan hukum yang terjadi. Mulai dari pilkada DKI yang menghasilkan kekalahan Ahok, vonis hukuman penjara 2 tahun atas Ahok, rencana penangkapan Habib Rizieq Syihab, dan kriminalisasi ulama.
Apa alasan sesungguhnya atas rencana tersebut? Di antara tiga alasan utama yang disampaikan oleh pemerintah namun dibantah oleh jubir HTI, Ismail Yusanto sebagai bermotif politis. Meski pemerintah beralasan bahwa lamanya langkah ini dilakukan setelah melakukan kajian yang mendalam.
Wacana Rencana Pembubaran HTI
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa langkah pemerintah ini tidak terkait dengan kepentingan politis apapun. Jika melihat track record berbagai penegakkan dan penanganan kasus hukum yang menyangkut kebijakan negara strategis sering bersifat politis. Fenomena tebang pilih dalam berbagai penanganan kasus hukum adalah sebuah pemandangan umum.
Wajar muncul suasana timpangnya equility of law dalam kerangka kepastian dan keadilan hukum. Berawal dari rentetan berbagai peristiwa tuntutan keadilan yang menjadi ekspresi dari aspirasi umat islam akan kasus penistaan Al Qur’an oleh Ahok. Dalam berbagai aksi bela islam mulai 411, 212 dan 505.
Hal ini seolah menjadi momentum pertama yang melatari. HTI terlihat diantara entitas kekuatan aksi bela islam yang disinyalir menjadi basis kekuatan politik yang sangat berbahaya. Bagi masa depan kepentingan penguasa status quo yang sedang fokus memback up sepenuhnya berbagai agenda neo liberalisme dan neo imperialisme. Dalam konteks perang pemikiran dan politik, entitas islam seperti HTI akan menjadi “the counter power” bagi penguasa status quo. Dan akan meningkatkan kesadaran politik yang tinggi hingga melahirkan daya kritis masyarakat secara signifikan.
Beberapa agenda neo liberalisme dan neo imperialisme itu adalah bagian dari strategi Rantai Pasokan Global yang tertuang dalam kebijakan MP3EI (Master Plan Percepatan Perluasan Ekonomi Indonesia). Dimana Indonesia ditempatkan sebagai koridor ekonomi negara penyangga bahan mentah dan bahan tambang sekaligus pasar potensial mayoritas muslim terbesar bagi kepentingan kapitalis global. Sebuah kondisi yang memunculkan realita Quo Vadis NKRI antara lain :
1) Warga asing dari 169 negara bebas visa masuk ke Indonesia
http://news.detik.com/berita/3141007/pemerintah-terapkan-bebas-visa-bagaimana-soal-keamanannya
2) Warga asing boleh memiliki properti di Indonesia
http://www.tribunnews.com/bisnis/2015/07/23/orang-asing-boleh-beli-properti-efektif-september-2015
3) Pihak asing boleh kuasai 100 % industri gula dan karet di Indonesia
http://www.merdeka.com/uang/pemerintah-persilakan-asing-kuasai-industri-gula-dan-karet.html
4) Asing boleh kuasai 100 % saham restoran dan perusahaan jalan
http://www.merdeka.com/uang/asing-boleh-kuasai-saham-restoran-perusahaan-jalan-tol-100-persen.html
5) Asing boleh kuasai 85 % saham modal ventura
http://keuangan.kontan.co.id/news/asing-boleh-kuasai-85-saham-modal-ventura
6) Asing bisa kuasai 100 % saham di pembangkit listrik
http://industri.kontan.co.id/news/asing-bisa-kuasai-100-saham-di-pembangkit-listrik
7) Asing boleh kuasai 100 % usaha bioskop di Indonesia
8) Terdapat sejumlah total 35 jenis usaha yang boleh dikuasai asing :
Rencana Pembubaran HTI Ahok Effect?
Ahok selain dicitrakan sebagai sosok yang keras pertentangannya terhadap berbagai dugaan korupsi di DKI dan melakukan upaya pemangkasan anggaran dan efesiensi yang disinyalir menguntungkan APBD DKI. Meski juga Ahok juga diwarnai oleh kasus dugaan korupsi atasnya seperti Sumber Waras.
Namun rencana reklamasi di kawasan DKI Jakarta yang banyak dipermasalahkan seolah mengindikasikan rencana ke depan mulusnya jalan lapang karier politiknya baik di DKI 1 maupun RI 1. Namun harapan itu semua tidak terealisasi. Hingga memunculkan berbagai spekulasi terdapat transaksi politik apa sebenarnya yang sedang terjadi. Adakah ini semacam menjadi kompensasi dari harga politik yang harus dibayar.
Fenomena aksi para ahoker di depan pengadilan negeri yang menuntut dibebaskannya Ahok diwarnai dengan penculikan dan pelanggaran aturan demo seolah menjelaskan berbagai keterkaitan di antara berbagai peristiwa itu. Hingga memunculkan dugaan sebuah formula fenomena politik “Gagal dan Dipenjaranya Ahok di antara rencana ditangkapnya Habib Rizieq Syihab dan dibubarkannya HTI”.
HTI dan FPI menjadi sorotan media mainstream yang luar biasa dengan framing opini sebagai kelompok yang radikal, intoleran, dan membahayakan NKRI. FPI dicap sebagai radikalis aksi sementara HTI diklaim sebagai radikalis ideologi. Persis kategorisasi yang dikembangkan oleh BNPT untuk mendikotomikan berbagai kelompok islam dalam berbagai kategorisasi. Fundamentalis, radikalis versus modernis, tradisionalis.
Sebuah dikotomi kelompok islam yang sarat dengan aroma adu domba. Dalam konteks ini maka relevan jika salah satu pengamat kontra intelijen, Harist Abu Ulya menyebut bahwa langkah rencana pemerintah membubarkan HTI karena diantaranya faktor “Ahok Effect” dan demi memuaskan orang-orang di belakang Jokowi.
Terlepas dari perdebatan berbahaya atau tidaknya wacana khilafah yang diedukasikan sebagai sistem pengganti demokrasi, HTI lebih dilihat sebagai ancaman terhambatnya skenario agenda neo liberalisasi dan neo imperialisasi di Indonesia yang direpresentasikan oleh rencana atas Ahok sebagai sosok yang diharapkan sebagai pemimpin ke depan. Inilah hakekat sebenarnya arti dari perhatian luar biasa Mahkamah Internasional dan Uni Eropa yang mengecam keputusan akan hukuman kurungan penjara 2 tahun atas Ahok. Termasuk berkembangnya meme yang kurang jelas atas mutasi hakim yang memenjarakan Ahok.
Rencana pembubaran HTI sebenarnya berjalan sangat lama. Di tengah upaya untuk membuat sebuah legal of frame sebagai referensi legitimasi. Misalnya revisi UU Terorisme yang menyisakan perdebatan panjang tentang numlecatuur definisi terorisme. Hingga kini pembahasan revisi tersebut masih belum final. Bahkan pemerintah yang mengajukan inisiatif revisi tersebut seolah kehilangan akal bagaimana membuat substansinya tidak terkesan subyektif menyasar hanya kepada kelompok-kelompok islam semata.
Di level penindakkan malah yang terlihat dan dipertontonkan adalah abuse of power yang sudah tidak menggunakan referensi the criminal justice system. Yang menarik adalah bahwa penindakkan itu lebih bertumpu kepada dorongan opini massa melalui sebuah upaya mainstreamisasi stigma terhadap kelompok maupun paham tertentu. Misalnya dengan mengelola opini tentang wahabi sebagai representasi dari paham radikalisme dan terorisme. Hingga sampai pada final opinion bahwa wahabi sebagai common enemy.
Agar opini tersebut menemukan konteksnya di Indonesia maka dibuatlah sebuah mainstreamisasi pemikiran bahwa paham ini akan sangat berbahaya terhadap paham ke-Indonesiaan. Termasuk dianggap mengancam eksistensi Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika sebagai pilar negara. Tanpa membahas secara substansi dan kritis kebenaran ancaman tersebut. Karena goal setting yang diinginkan hanyalah sebatas klaim pembenaran saja.
Padahal perdebatan tentang Islam dengan pilar-pilar negara tersebut sebenarnya sudah selesai. Tidak ada pertentangan di dalamnya. Sebagaimana yang direpresentasikan oleh salah satu bunyi pasal dalam UU No 17 tahun 2013 yang menyatakan bahwa paham yang bertentangan dengan Pancasila adalah Atheisme, Komunisme dan Leninisme. Dimana sekulerisme dan liberalisme sudah berhasil dihilangkan dari paham yang bertentangan.
Namun saat ini dimunculkan lagi dengan tujuan mengalihkan alamat tuduhan pertentangan yang disinyalir berpotensi memecah belah bangsa itu pada kelompok-kelompok islam. Dan ironisnya dengan menggunakan dan memanfaatkan kelompok islam lain yang memiliki potensi perbedaan pandangan furu’iyyah (cabang) tetapi dikemas sebagai sebuah perdebatan serius dan prinsipiil. Nampaknya war on terorrism adalah kerangka lain yang digunakan sebagai alasan latar rencana pembubaran HTI yang diklaim sebagai penyebar paham Wahabi. Dengan menafikkan apakah benar atau tidak HTI sebagai Wahabi.
Termasuk menafikkan sejarah yang berbeda antara Wahabi dan Hizbut Tahrir. War on terorrism di Indonesia sebagai derivat dari Global War On Terrorism ala Amerika Serikat telah menjadi sebuah kerangka filosofis dan kebijakan yang diadopsi pemerintah RI. Dimana terdapat salah satu ormas islam yang telah menjadi mitra tetap BNPT untuk proyek deradikalisasi.
Dalam kerangka konstelasi internasional seperti itu Indonesia telah membuka kran keterbukaan masuknya intervensi liberalisasi dan imperialisasi dari asing maupun aseng. Sebaliknya memiliki resistensi yang tinggi terhadap potensi internal umat islam yang berkeinginan untuk membangkitkan ideologi islamnya sebagai pedoman hidup menyeluruh. Dengan membuat gambaran sangat menakutkan terhadap kondisi dunia islam saat ini. Dan mengubur sekaligus menutup mata terhadap sejarah keemasan peradaban islam agung yang pernah memimpin dunia. Ironisnya mindset yang dikembangkan itu juga mendapati penguatan secara intelektual kepada kelompok-kelompok islam yang memiliki kedekatan maupun kesamaan kepentingan politik kekuasaan.
Alhasil, rencana pembubaran HTI sulit dikatakan bahwa tidak ada latar dan kepentingan politik tertentu. Apalagi jika melihat bagaimana konstelasi politik nasional yang menjadi representasi dari konstelasi kekuatan politik internasional begitu dinamis.
Berbagai kekuatan politik yang direpresentasikan oleh elit politik, elit penguasa dan elit konglomerat lagi mempersiapkan menjelang pileg 2018 dan pilpres 2019. Kegagalan Ahok di jantung politik Indonesia bagaimanapun telah merubah peta politik Indonesia. Sebuah peta politik yang mencerminkan ketatnya persaingan kekuatan politik dunia yang direpresentasikan oleh Amerika Serikat sebagai komando barat dan China sebagai komando timur.
Sedang islam masih direpresentasikan oleh berbagai kelompok-kelompok islam yang masih disibukkan oleh perbedaan pandangan berkaitan dengan strategi. [syahid/voa-islam.com]