Oleh: Ahmad Fahrur Rozi
Mudik identik dengan transportasi. Transportasi identik dengan berbagai cerita miris nan dramatis. Mulai dari kemacetan yang terindikasi menimbulkan kerugian mencapai Rp 106,7 triliun per tahun; kecelakaan yang menelan korban setidaknya 31.234 jiwa per tahun; horor transportasi umum yang minim jumlah dan buruk pelayanan, tarif mahal, polutif dan rawan kriminalitas; sampai kisruh transportasi online.
Bicara tentang macet, ada sebuah cerita satir tentang seorang pemuda yang stres karena terjebak kemacetan belasan jam di jalan tol. Jalan (berbayar yang harusnya) bebas hambatan.
Alkisah, suatu sore seorang pemuda yang terjebak macet di jalan tol tiba-tiba membuka pintu mobilnya sambil menenteng sebuah tongkat baseball. Dengan penuh emosi si pemuda memukul hancur seekor bekicot sambil berteriak, "Aku sudah menahan diri cukup lama. Dari pintu masuk tol kamu terus mengikutiku dan sekarang kamu masih berani menyalip mobilku. Sungguh-sungguh tak tahu diri!”
***
Anda, saya dan pengguna transportasi di seluruh dunia pastilah pernah merasakan macet. Utamanya yang tinggal di perkotaan.
Di Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara maju induk kapitalisme, kepadatan lalu lintas terburuk ada di Washington DC. Para komuter di ibukota negara itu butuh hampir 3 jam untuk perjalanan 30 menit bila tak macet.
Di Tokyo Jepang, kota yang dianggap memiliki sistem transportasi terbaik di dunia, seorang teman yang tinggal di sana mengalami beberapa kali “horor kemacetan” selama 2 jam untuk perjalanan 15 km dari Hatagaya ke Shinjuku.
Kemacetan lalu lintas, terutama momen mudik dianggap sebagai fenomena biasa. Bahkan, menjadi semacam lifestyle yang wajib ada.
Infrastruktur transportasi udara tidak kalah miris. Awalnya kita mungkin akan menganggap tidak masuk akal, jikalau ada berita kemacetan di udara. Tapi itulah faktanya. Pesawat di Bandara Soekarno-Hatta Tangerang misalnya, sampai harus berputar-putar 15-60 menit di udara untuk menunggu antrean mendarat. (Tribunnews,com)
Jika ditelisik, kemacetan paling tidak disebabkan oleh empat hal :
Pertama, volume kendaraan yang melebihi kapasitas jalan. Akibatnya jalan raya dijubeli jutaan mobil dan motor yang mengakibatkan kemacetan.
Kasus di Jakarta misalnya, daya tampung jalan hanya 7,8 juta unit tapi kendaraan yang bertebaran sekitar 17 juta unit. Belum lagi tambahan ribuan kendaraan baru per hari. Menurut data Polda Metro Jaya, rata-rata penambahan kendaraan baru sekitar 6.000 unit per hari (12% per tahun), sebaliknya penambahan ruas jalan baru hanya sekitar 68 km per tahun (0,01%).
Sudah tahu "over capacity" tapi mengapa pemerintah tidak mengurangi jumlah kendaraan di jalan? Tentu saja karena alasan bisnis konglomerasi.
Kedua, buruknya layanan transportasi publik. Mulai dari tarif yang mahal, armada yang tidak layak dan sering kecelakaan, rute yang tidak representatif sampai ancaman kriminalitas yang mengintai para pengguna. Marak kita dengar kasus pelecehan seksual, pencopetan, bahkan penodongan dan penyanderaan.
Fenomenanya, sekelas transportasi udara saja dengan standarisasi keamanan dan keselamatan level 1 masih sering kita dengar kabar pilot mabuk atau membawa anak-istri ke kabin pesawat. Bagaimana dengan transportasi publik di darat dan laut? Buruk.
Itu semua membuat saya, mungkin juga anda, lebih memilih kendaraan pribadi daripada kendaraan umum.
Ketiga, banyaknya infrastruktur jalan yang rusak dan perbaikan yang tambal sulam.
Di Jawa Barat saja yang notabene episentrum industri Nasional, menurut kepala dinas Bina Marga M Guntoro, Kerusakan jalan mencapai 40%. Mari bayangkan berapa persen kerusakan jalan di kawasan indonesia timur dan di daerah pelosok? bisa jadi 90%
Jalur Pantai Utara (pantura) yang menjadi nadi infrastruktur jalan Pulau Jawa, merupakan potret praktik tambal sulam infrastruktur negeri ini. Sudah begitu, dalam banyak kasus, anggaran perbaikan disunat hampir 40%.
Celakanya lagi perbaikan berlangsung saban tahun menjelang lebaran. Dengan metode tambal sulam, tidak mengherankan jika umur jalan tidak bertahan lama.
Banyaknya jalan yang (dibiarkan) rusak dan perbaikan tambal sulam yang dilakukan jelang lebaran membuat kemacetan semakin parah.
Keempat, budaya tertib lalu lintas yang rendah dikalangan pengendara. Tidak adanya edukasi masif dan sistemis tentang tata cara berlalu lintas yang baik dan benar kepada masyarakat mengakibatkan rendahnya kepatuhan akan aturan. Akibatnya bisa ditebak, lalu lintas jalan menjadi semeraut dan rawan kecelakaan.
Secara teoritis merancang solusi kemacetan tidaklah sulit. Mengacu pada pemetaan penyebab kemacetan di atas, jika memiliki kemauan (political will), pemerintah harusnya bisa dengan mudah mengurai kemacetan dengan cara diantaranya :
👉 membatasi produksi dan distribusi kendaraan pribadi;
👉 menghapus praktik kredit-leasing kendaraan yang batil dan ribawi;
👉 memperbanyak kuantitas dan kualitas transportasi umum;
👉 membenahi infrastruktur secara masif, merata dan tanpa utang; serta
👉 edukasi dan asistensi kepada masyarakat tentang budaya tertib berlalu lintas.
Pertanyaanya, maukah pemerintah kita? Saya rasa dengan pandangan (filosofi) politik pemerintah yang sekuler dan liberal, tawaran solusi di atas hampir mustahil terlaksana.
Faktanya pemerintah kita meminimalkan keterlibatanya dalam pengurusan sektor publik, sebaliknya menyerahkan tanggung jawab kepada swasta untuk membangun dan mengelola transportasi. Bus umum, jalan tol, kereta cepat, monorel, MRT, pesawat dan lain-lain dikuasai swasta.
Faktanya kementerian Pekerjaan Umum (PU) di pusat maupun Dinas PU di daerah, yang harusnya membangun dan memelihara jalan, malah dipenuhi "tikus" pemakan aspal. Sebagai gambaran, sepanjang 2016 setidaknya ada 157 pejabat PU yang tersangkut korupsi baik di pusat maupun di daerah.
Saya jadi teringat cerita negara tetangga kita Malaysia. Dahulu, Ibukota Kuala Lumpur mengalami masalah kemacetan. Sejumlah strategi dikembangkan untuk mengatasi kemacetan. Salah satunya dengan memindahkan pusat pemerintahan dari Kuala Lumpur ke Putra Jaya yang berjarak sekitar 22 km.
Putra Jaya menjadi kawasan pusat pemerintah dimana seluruh bangunan kantor pemerintahan dan administrasi berada dalam satu kawasan terpadu.
Dengan pemindahan tersebut, tentu saja membuat konsentrasi kemacetan terurai dan Kuala Lumpur tidak disibukkan dengan urusan administrasi. Sebaliknya, wilayah itu fokus pada pusat bisnis dan wisata.
Pemerintah Malaysia membagi wilayahnya dengan beberapa koridor, sehingga bisa memecah kepadatan aktivitas penduduk di Kuala Lumpur.
Political will pemerintah Malaysia mengembangkan sektor transportasi ditunjukkan dengan membangun transportasi kereta api dan bus secara terintegrasi. Untuk kereta api ada berbagai jenis, di antaranya Kereta Tanah Melayu (KTM) berbentuk komuter kereta listrik yang bisa mengangkut ribuan penumpang setiap hari. Lalu LRT, kereta api yang berjalan sesuai dengan program komputer tanpa pengemudi. Ada juga starline dan kereta ekspress ke Kuala Lumpur International Airporth (KLIA).
Untuk transportasi bermotor, pemerintah menyediakan bus Rapid KL yang terintegrasi dengan kereta api dalam setiap terminal.
Untuk menyatukan semua sistem, pemerintah membangun pusat terpadu bernama Kuala Lumpur Sentral (KL Sentral) yang menjadi terminal pusat pertemuan semua jenis transportasi.
Pemerintah Malaysia juga membangun jalan layang dan jalan tol yang dapat membebaskan kemacetan. Pada 2010, Malaysia berhasil membangun jalan bawah tanah "Smart Way" yang bisa digunakan secara multifungsi sebagai jalan bebas hambatan sekaligus pengendali banjir.
Aneka kebijakan yang diambil pemerintah Malaysia di atas, walaupun masih parsial, eksklusif dan tidak bertanggung jawab penuh atas sistem transportasi (karena banyak melibatkan swasta), namun masih jauh lebih baik dari apa yang dilakukan pemerintah kita.
Kebijakan yang lebih spektakuler ditunjukkan penguasa negara era Khilafah Islam dulu.
Khalifah sebagai representasi penguasa negara mengeluarkan dua pendekatan kebijakan sistem transportasi.
Pertama, kebijakan langsung dengan strategi perencanaan pemerataan pembangunan dan penataan infrastruktur.
Kedua, kebijakan tidak langsung dengan strategi pembinaan dan pengembangan SDM dan teknologi.
Saat Baghdad dijadikan ibukota negara, kekhilafahan Abassiyah menjadikan setiap bagian kota hanya untuk sejumlah penduduk tertentu. Bagian kota tersebut dilengkapi dengan prasarana publik yang dibutuhkan warga, seperti masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan.
Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah tidak ketinggalan. Dengan kebijakan perencanaan kota seperti itu, sebagian besar warga tak perlu berurbanisasi untuk memenuhi kebutuhannya, menuntut ilmu atau bekerja karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar dan memiliki kualitas yang standar.
Pembangunan yang merata dan ketersediaan lapangan kerja di setiap wilayah akan menghindari konsentrasi warga negara pada satu wilayah tertentu, serta dapat mengatasi urbanisasi dari desa ke kota yang berlebihan.
Khilafah sangat memperhatikan pembangunan jalan dan sarana pendukungya. Khalifah Umar bin Khattab RA misalnya sampai pernah berkata, “Seandainya ada kambing yang terperosok lubang di Hadramaut (Iran), maka aku bertanggung jawab terhadapnya.“
Selain jalan raya, Khilafah juga membangun jalur kereta api (railway). Khalifah Abdul Hamid II pada 1900 mencanangkan proyek Hijaz Railway. Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul, ibukota Khilafah hingga Mekkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah. Di Damaskus, jalur ini terhubung dengan Baghdad Railway yang rencananya sampai ke Timur menghubungkan seluruh negeri Islam lain.
Saat proyek ini diumumkan ke seluruh dunia Islam, umat berduyun-duyun berwakaf. Dengan kebijakan ini, dari Istanbul ke Mekkah yang semula 40 hari perjalanan menjadi 5 hari. (Fahmi Amhar, 2012)
+++
Kelak, ketika Khilafah tegak kembali, akan terwujud sistem transportasi yang adil dan ideal.
Kelak, Khilafah akan menyediakan kendaraan umum (public transportation) yang nyaman dan aman.
Kelak, kita akan bisa merasakan mudik murah dan bebas macet.
Mau? (riafariana/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google