View Full Version
Selasa, 27 Jun 2017

Krisis Qatar, Proyek Imperialisme (Bagian-2)

Oleh: Rahmat Abu Zaki (Dir. Lingkar Opini Rakyat-LOR)

Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyerukan Qatar untuk menghentikan pendanaannya pada terorisme. Trump terang-terangan menyebut Qatar sebagai pendonor terorisme.

"Negara Qatar, sayangnya, secara bersejarah telah menjadi penyandang dana terorisme di tingkat sangat tinggi," ujar Trump yang didampingi Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson di Gedung Putih seperti dilansir kantor berita AFP, Sabtu (10/6/2017).

"Saya memutuskan dengan Rex Tillerson bahwa saatnya tiba untuk menyerukan kepada Qatar agar berhenti mendanai dan menyokong ideologi ekstremis. Berhenti mengajari orang untuk membunuh orang lain. Kami ingin Anda kembali ke persatuan negara-negara," ujar Trump kepada para wartawan. 1) (detikNews, Sabtu 10 Juni 2017, 11:41 WIB).

Komentar Trump itu disampaikan kurang dari 2 jam setelah Tillerson meminta negara-negara Teluk melonggarkan blokade terhadap Qatar, yang dituding Arab Saudi cs sebagai negara pendonor terorisme. Blokade itu, menurut Tillerson, berdampak pada sisi kemanusiaan.

"Ada konsekuensi kemanusiaan dari blokade ini. Kita menyaksikan adanya kekurangan pangan, keluarga terpaksa berpisah, dan anak-anak ditarik dari sekolah-sekolah," kata Tillerson.

Namun Menlu AS itu juga menyerukan Qatar untuk "responsiv atas keprihatinan tetangga-tetanggga" dan segera memberantas pendanaan ekstremis.

"Emir Qatar telah membuat kemajuan dalam menghentikan dukungan finansial dan mengusir para teroris dari negaranya, namun dia harus berbuat lebih banyak lagi dan dia harus lebih cepat," ujar Tillerson.

Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, Bahrain, serta Yaman, Libya, Maladewa dan Mauritania telah memutus hubungan diplomatik dengan Qatar. Pemutusan hubungan dilakukan karena negara-negara tersebut menuduh pemerintah Qatar mendukung terorisme dan kelompok-kelompok ekstrem, termasuk ISIS dan al-Qaeda. Pemutusan itu juga disertai larangan bagi maskapai Qatar Airways menggunakan ruang udara keempat negara tetangga. Adapun warga negara Qatar diberi waktu selama dua pekan untuk meninggalkan Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, dan Bahrain. Sebaliknya, warga keempat negara tersebut dilarang bepergian ke Qatar. 1) (detikNews, Sabtu 10 Juni 2017, 11:41 WIB)

 

Politik Luar Negeri AS Pasca Perang Dingin

Peristiwa ledakan bom di Gedung WTC 11 September 2001 yang lalu cukup memberikan pengaruh pada situasi politik Internasional belakangan ini. Menyusul ledakan WTC ini, Presiden AS,saat itu George W Bush berpidato,

“America and our friends and allies join with all those who want peace and security in this word, and we stand together to win the war againts terroism.” (Amerika berikut sahabat dan aliansi kami akan bergabung dengan semua pihak yang menginginkan perdamaian dan keamanan di dunia ini. Kita akan bersama-sama berdiri melawan dan memenangkan peperangan terhadap terorisme).

Urusan mengganyang terorisme ini kemudian menjadi urusan bersama dunia. Tak pelak, hampir seluruh kepala negara-negaradi dunia, termasuk penguasa di negeri-negeri Islam, tunduk pada tuntutan AS. Perang melawan “terorisme”, kini menjadi politik luar negeri AS yang dominan. Perang melawan terorisme ala Amerika ini menjadi dramatis dan seru karena dikampanyekan oleh AS dan sekutu-sekutunya sebagai sebuah perang peradaban, perang terhadap segala pihak yang ingin menghancurkan peradaban Barat (Kapitalisme) “yang demokratis serta menghargai kebebasan dan nilai-nilai hak asasi manusia.”

Dalam pidatonya di Sidang Umum PBB, Bush berkata, “ This is a current and it runs toward freedom.” (Ini adalah babak baru sejarah menuju kebebasan). Ya benar, AS adalah sebuah negara ideologis. Negara ini dibangun atas dasar ideologi kapitalisme. Politik luar negeri AS tidak bisa dilepaskan dari basis ideologi kapitalisme ini. Secara mendasar dan global, syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Mafahim Siyasi li Hizb at-Tahrir (konsep-konsep politik Hizbut Tahrir), menyebutkan bahwa inti politik luar negeri negara-negara kapitalis adalah penjajahan/imperialisme.

Negara-negara kapitalis seperti AS, menurutnya, akan selalu menyebarluaskan ideologi kapitalisme ke seluruh dunia dengan metode yang tetap, yaitu penjajahan. Penjajahan ini dilakukan dengan berbagai bentuknya; meliputi politik, ekonomi, militer, budaya, dan yang lainnya. Ini pula yang menjadi grand strategi politik luar negeri AS yang tidak pernah berubah. Yang mengalami perubahan adalah aplikasi dari grand strategi itu pada level menengah atau bawah. Dalam format politik internasional AS, dua pilar paling penting mengemuka yang dijadikan kebijakan pokok negara adidaya itu adalah demokratisasi (termasuk HAM) dan liberalisme ekonomi dunia.

Dalam hal ini, perlu diperhatikan pernyataan seorang penasihat mantan presiden AS, Bill Clinton, untuk keamanan nasional. Dalam pidatonya, tanggal 21 September 1993, ia mengatakan, “kita harus menyebarkan demokrasi dan ekonomi pasar bebas, karena hal ini akan dapat menjaga kepentingan-kepentingan kita, memelihara kita, sekaligus menunjukkan nilai-nilai anutan kita, yaitu nilai-nilai Amerika yang luhur.”

Dua pilar utama tatanan dunia yang ditawarkan AS ini jelas merupakan inti dari ideologi kapitalisme yang memang sudah sejak lama diemban dan disebarluaskan oleh AS. Tegaknya dua pilar ini akan menguntungkan kepentingan mereka, tidak aneh jika AS demikian bersemangat menjajakan kedua perkara tersebut. Dengan kata lain, AS saat ini hendak menjadikan kapitalisme sebagai “agama baru” di seluruh dunia. 2)

Adapun kaitan Timur Tengah dengan penjajahan, jelas bahwa penjajahan telah menimbulkan penderitaan bagi Timur Tengah, telah menghilangkan sifatnya sebagai negara adidaya dan kekuatan global, dan telah mengubahnya menjadi negara-negara jajahan Barat tempat negara-negara Barat bersaing untuk menjajah dan memperluas pengaruhnya. Di Timur Tengah terdapat minyak yang jumlahnya lebih dari setengah minyak dunia. Terdapat pula bahan-bahan mentah di Yordania, Irak, Suriah, Turki, Iran, dan negara lainnnya, yang merupakan kekayaan alam yang luar biasa. Jumlahnya setara dengan 10 kali lipat kekayaan alam gabungan AS dan Eropa. Maka, negara-negara Barat berlomba-lomba dan bertarung untuk menjajah Timur Tengah.

Invasi-invasi AS untuk menguasai Teluk adalah bukti yang sangat nyata. Berkumpulnya empat faktor ini dalam satu masalah –yaitu Islam, minyak, tempat strategis, dan Israel— cukup menjadikan masalah Timur Tengah menjadi masalah yang paling berbahaya dan paling kompleks; pada level bahwa masalah Timur Tengah ini telah menjadi jalan penyelesaian masalah-masalah lainnya. Masalah Timur Tengah adalah masalah yang teramat rumit untuk dapat diselesaikan dan masalah yang teramat besar untuk dapat diselesaikan oleh sebuah negara besar. Jadi masalah ini adalah masalah yang rumit lagipula sangat kompleks. Tidak ada negara-negara adidaya yang mampu mengatasinya.

Masalah Timur Tengah ini tidak akan pernah dapat diselesaikan kecuali dengan berdirinya negara Khilafah Islam. Konflik internasional sejak awal sejarah hingga Hari Kiamat nanti tidak keluar dari dua motif berikut :

Pertama, cinta kepemimpinan dan kebanggaan. Kedua, dorongan dibalik manfaat-manfaat material. Cinta kepemimpinan (hubb al siyadah) bisa berupa cinta kepemimpinan terhadap umat dan bangsa seperti halnya Nazisme Jerman dan Fasisme Italia. Bisa jadi berupa cinta kepemimpinan terhadap ideologi dan penyebaran ideologi sebagaimana halnya negara komunis selama 30 tahun sebelum keruntuhannya pada awal tahun 90-an yang lalu, setelah 70 tahun sejak kelahirannya. Adapun motif untuk membatasi pertumbuhan kekuatan negara lain, seperti halnya yang terjadi pada berbagai negara melawan Napoleon, Daulah Islam, atau Nazi Jerman, termasuk dalam motif cinta kepemimpinan, sebab hal itu akan mencegah kepemimpinan pihak lain.

Dengan hancurnya Daulah Islam dan Uni Soviet, motif yang mendominasi dunia secara keseluruhan adalah nafsu dibalik keuntungan-keuntungan material. Hal ini akan terus demikian hingga kembalinya Daulah Islam sebagai negara adidaya yang akan mempengaruhi persaingan internasional dan pada saat yang sama akan mengembalikan motif cinta kepemimpinan dan penyebaran ideologi. Motif paling berbahaya dalam persaingan internasional adalah motif penjajahan (imperialisme) dengan segala bentuknya. Sebab, penjajahan itulah yang menyebabkan meletusnya perang-perang kecil dan juga dua perang dunia. Motif penjajahan pula yang menyebabkan perang-perang di Teluk, Afrika, Afghanistan, Irak termasuk di Syiria.

Motif itu pula yang tak henti-hentinya menyebabkan berbagai keresahan dan krisis dunia. Persaingan, perselisihan, dan konflik yang ada saat ini, antara AS, Inggris, Perancis, Rusia, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi seputar masalah Irak, Afghanistan, Timur Tengah dan masalah-masalah internasional lainnya, tak lain karena penjajahan dan karena dominasi dengan motif meraih manfaat material dan sumber-sumber daya alam.

Jadi, sesungguhnya penjajahan itulah yang mendominasi persaingan internasional dewasa ini, termasuk segala hal yang dikandungnya seperti konflik untuk memperebutkan sumber-sumber daya alam, pengaruh, dan persaingan untuk menguasai pihak lain dalam segala bentuk dan jenisnya.

Pada hakikatnya, nafsu untuk meraih manfaat-manfaat material, khususnya kerakusan untuk menjajah, adalah faktor yang melahirkan persaingan internasional diantara negara-negara adidaya.

Hal itu pula yang secara nyata mengobarkan berbagai perang lokal dan perang dunia. Untuk menghindarkan diri dari perang-perang ini, dibuat-buatlah apa yang dinamakan perdamaian dan keselamatan dunia serta dalih menjaga keamanan dan perdamaian.3) [syahid/voa-islam.com]

Catatan Kaki:

1) https://news.detik.com/internasional/3526322/trump-serukan-qatar-hentikan-pendanaan-terorisme

2) Farid Wadjdi 2010. Menantang Amerika menyingkap imperalisme Amerika di bawah Obama. Penerbit Al Azhar Press

3) Taqiyuddin an-Nabhani 2005. Konsepsi Politik Hizbut Tahrir (edisi Mu’tamadah). HTI Press


latestnews

View Full Version