Oleh: Arin RM, S.Si (Aktivis MHTI)
Di musim tahun ajaran baru seperti saat ini, biaya masih saja menjadi salah satu penghalang bagi sebagian rakyat untuk mengakses pendidikan. Berkaca pada tahun 2016 lalu, sejumlah orang tua siswa di Kabupaten Indramayu misalnya, mengeluhkan mahalnya biaya masuk sekolah terutama ke sekolah favorit.
Salah satu wali murid yang enggan disebut namanya mengatakan, tahun ini (2016) anaknya yang baru lulus SMP mendaftar ke salah satu sekolah favorit di Kabupaten Indramayu. Namun, mahalnya biaya masuk ke sekolah tersebut membuatnya harus mengelus dada. Jutaan rupiah harus disiapkannya agar anaknya bisa bersekolah di sekolah negeri itu. Dia menyebutkan, total biaya sekolah yang harus dibayarnya mencapai Rp 6.475.000. (Republika.co.id, 30/6/2107). Di tahun yang sama, seorang ibu di Jakarta harus mengeluarkan uang sekitar Rp 10.000.000,- untuk memasukkan anaknya ke SD swasta berbasis Islam (news.okezone.com, 21/6/2016).
Kendala biaya ini dapat memicu efek lanjutan lain, salah satunya berupa berkurangnya tingkat partisipasi usia belajar untuk masuk dunia pendidikan formal. Fenomena ini dapat terbaca dari tingginya angka putus sekolah di Indonesia. Sebagaiamana dilansir oleh student.cnnindonesia.com (18/4/2017), hingga usia 71 tahun kemerdekaan RI, segenap masyarakatnya masih belum mempunyai akses mengenyam dunia pendidikan formal selayaknya.
Data UNICEF tahun 2016 sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP). Begitupula data statistik yang dikeluarkan oleh BPS, bahwa di tingkat provinsi dan kabupaten menunjukkan terdapat kelompok anak-anak tertentu yang terkena dampak paling rentan yang sebagian besar berasal dari keluarga miskin sehingga tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya.
Pendidikan, Kebutuhan Dasar Rakyat
Di alam hidup yang serba kapitalis saat ini, biaya mahal adalah fenomena ketimpangan klasik yang bertaburan di masyarakat kita. Ketimpangan ini terus terpelihara selama urusan pendidikan tidak sepenuhnya dihandle negara. Sebagian warga dengan financial “aman” akan merasa biasa biasa saja dengan beban biaya yang mahal. Mereka tidak mempermasalahkan urusan biaya asalkan kualitasnya sepadan. Sementara bagi yang financial pas pasan, tentu saja biaya pendidikan mahal itu memberatkan. Jika dibiarkan berlarut, hak rakyat untuk mendapatkan layanan pendidikan akan tidak merata.
Dalam pandangan Islam, pendidikan termasuk dalam hak dasar rakyat, sehingga pemenuhannya harus dijamin. Pendidikan tidak boleh dilepaskan mengikuti “selera pasar” layaknya kebutuhan akan barang mewah dan membiarkan yang mampu bayar leluasa menikmatinya sementara yang tidak mampu harus rela berpangku tangan. Pendidikan itu penting dan seluruh rakyat haruslah terdidik, sebab pendidikan pada dasarnya adalah salah satu metode untuk mendapatkan ilmu. Ilmu diperlukan untuk menjalankan kehidupan. Ilmu pula yang menjadi pembeda kualitas antarbangsa.
Bangsa berilmu/berpendidikan tinggi akan bisa menguasai dunia, begitupula sebaliknya. Oleh karena itu, Islam memandang bahwa ilmu (dalam konteks kekinian biasa dinamakan pendidikan) adalah hak dasar bagi rakyat yang tidak boleh diabaikan oleh kaum Muslim. Nash-nash syariah telah menetapkan pendidikan sebagai hajah asasiyyah (kebutuhan dasar) yang harus dijamin ketersediaannya di tengah-tengah masyarakat, seperti halnya keamanan dan kesehatan. Di antara nash-nash syariah yang menetapkan pendidikan sebagai kebutuhan dasaradalah sabda Nabi SAW:
“Permisalan hidayah dan ilmu yang Allah SWT sampaikan kepada diriku bagaikan air hujan yang menimpa sebidang tanah. Di antara tanah itu ada tanah baik yang mampu menyerap air dan menumbuhkan rerumputan serta pepohonan yang sangat banyak. Di antara tanah itu ada pula tanah liat yang mampu menahan air sehingga Allah SWT memberikan manfaat kepada manusia dengan tanah tersebut; manusia bisa meminum air darinya, mengairi kebun-kebunnya dan memberi minum hewan-hewan ternaknya. Air hujan itu juga menimpa tanah jenis lain, yaitu tanah datar lagi keras yang tidak bisa menahan air dan menumbuhkan rerumputan. Demikian-lah, ini adalah perumpamaan orang yang faqih terhadap agama Allah, dan orang yang bisa mengambil manfaat dari apa-apa yang telah Allah sampaikan kepada diriku sehingga ia bisa belajar dan mengajarkan (ilmu tersebut kepada orang lain). Ini juga perumpamaan orang yang menolak hidayah dan ilmu dan tidak mau menerima hidayah Allah SWT yang dengan itulah aku diutus (HR al-Bukhari dan Muslim).
Di dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa penerimaan dan penolakan manusia terhadap hidayah dan ilmu diidentikkan dengan sebidang tanah dan air hujan. Air hujan termasuk kebutuhan dasar bagi manusia, yang jika tidak dipenuhi akan menyebabkan kebinasaan lantaran sebab kekeringan dan sebagainya. Pengidentikan ilmu dan hidayah dengan air hujan menunjukkan, bahwa ilmu dan hidayah merupakan kebutuhan dasar sebagaimana air hujan.
Riwayat di atas juga diperkuat nash lain, seperti hadits-hadits berikut ini: “Sesungguhnya di antara tanda-tanda datangnya Hari Kiamat adalah diangkatnya ilmu dan tersebarnya kebodohan” (HR al-Bukhari dan Muslim). “Di antara tanda-tanda datangnya Hari Kiamat adalah berkurangnya ilmu dan tampaknya kebodohan” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa lenyap dan berkurangnya ilmu merupakan ancaman atau bahaya bagi kehidupan manusia. Bahaya ini hanya bisa dihilangkan dengan cara menyelenggarakan pendidikan berkesinambungan di tengah-tengah masyarakat. Sebab, ilmu dan hidayah hanya bisa dipelihara dan dijaga ketika keduanya dipelajari dan diajarkan secara terus-menerus di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, pendidikan merupakan kebutuhan dasar yang harus dijamin ketersediannya di tengah-tengah masyarakat oleh Negara.
Pendidikan Gratis Berkualitas
Islam memandang wajib bagi setiap individu untuk menuntut ilmu. Artinya setiap rakyat haruslah terdidik dengan ilmu. Dengan ilmu, dunia dan akhirat bisa dikuasai. Generasi terbaik umat Islam terdahulu telah berhasil menguasai dunia, sekaligus mendapatkan kebaikan akhirat, melalui penguasaan mereka akan ilmu yang mereka peroleh melalui proses pendidikan/edukasi. Menyadari kebutuhan mereka akan ilmu, para sahabat pun terus menerus belajar tanpa mengenal usia.
Hanya saja pada waktu itu belajar tidak harus dilakukan di sekolah sekolah formal, belajar bisa dilakukan di masjid atau di tempat lain yang memungkinkan ilmu bisa disampaikan. Pada zaman Nabi SAW dan para Khulafa' Rasyidin setelahnya, masjid Nabawi telah dijadikan sebagai tempat belajar. Nabi membentuk halqah ilmu, demikian juga para sahabat. Al Imam Al Yusi, dalam kitabnya, Al Qanun, menuturkan bahwa model penyampaian ilmu seperti sekarang sebenarnya bersumber dari praktik Nabi yang dilakukan kepada para sahabat Baginda di majelis-majelis ilmu. Ketika itu, masjid menjadi pusat belajar-mengajar. Umar menuturkan,
"Barangkali orang yang masuk masjid, bisa diumpamakan sebagai kuda yang berhamburan. Jika dia melihat majelis kaumnya dan melihat orang yang dia kenal, maka dia duduk bersamanya." (Al Kattani, At Taratib Al Idariyyah, Juz II/152). Hingga sekarang di Masjid Nabawi maupun Masjid Al Haram, halqah ilmu ini masih berjalan.
Ketika generasi terdahulu bisa menguasai dunia, bahkan ketika Islam berjaya dengan luas territorial ¾ dunia, tentunya ini adalah bukti yang nyata bahwa kualitas pendidikan yang mereka dapatkan bukanlah pendidikan yang abal-abal, bukan pendidikan yang sekedar menghasilkan hitam di atas putih (ijazah) tapi kosong penerapan. Permasalahan menguasai dunia tentu membutuhkan pakar-pakar tersendiri di bidangnya, bukan yang sekedar mahir di ranah militer, tapi juga yang mahir di ranah yang lain.
Sebab pasca penaklukan sebuah negeri pastilah diperlukan kemampuan untuk memakmurkan negeri tersebut. Dan fakta yang berserakan di seluruh penjuru dunia adalah saksi bisu akan hebatnya generasi terdahulu yang sukses mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Bangunan masjid, istana, jembatan, struktur tata kota, model alun-alun dan fasilitas lain yang mengelilinginya, serta bentuk peninggalan lain yang tersisa (meski sebagian dalam bentuk museum) di belahan bumi yang pernah disinggahi yang kaum muslim menunjukkan betapa itu semua adalah hasil penerapan ilmu. Artinya pendidikan mereka adalah pendidikan berkualitas.
Tidak hanya itu, Islam pun menyediakan infrastruktur pendidikan kelas satu untuk seluruh rakyatnya. Mulai dari sekolah, kampus, perpustakaan, laboratorium, tenaga pengajar hingga biaya pendidikan yang lebih dari memadai. KH. Hafidz Abdurrahman pernah menuliskan bahwa pada zaman Abbasiyah, Al Kuttab (sekolah dasar) banyak didirikan oleh Khilafah, menyatu dengan masjid. Di sana juga dibangun perpustakaan. Pendidikan tinggi pertama pada zaman itu adalah Bait Al Hikmah, yang didirikan oleh Al Ma'mun (830 M) di Baghdad. Selain berfungsi sebagai pusat penerjemahan, juga digunakan sebagai pusat akademis, perpustakaan umum dan observatorium (Philip K Hitti, History of the Arabs, 514-515).
Setelah itu, baru muncul Akademi Nidzamiyyah yang dibangun antara tahun 1065-1067 M. Akademi yang kemudian dijadikan oleh Eropa sebagai model perguruan tinggi mereka (Reuben Levy, A Baghdad Chronide, Cambridge: 1929,193). Di Cordoba, Spanyol, pada zaman itu juga telah berkembang Le Mosquet yang asalnya merupakan gereja, kemudian dialihfungsikan sebagai masjid, lengkap dengan madrasah, dengan berbagai fasilitas pendidikan lainnya. Lembaga pendidikan telah menelorkan ulama sekaliber Al Qurthubi, As Syathibi, dan lain-lain.
Tidak hanya ahli tafsir dan usul, akademi pendidikan di era Khilafah juga berhasil melahirkan para pakar di bidang kedokteran seperti Ali At Thabari, Ar Razi, Al Majusi dan Ibn Sina; di bidang kimia seperti Jabir bin Hayyan; astronomi dan matematika, Mathar, Hunain bin Ishaq, Tsabit bin Qurrah, Ali bin Isa Al Athurlabi dan lain-lain; geografi, seperti Yaqut Al Hamawi dan Al Khuwarizmi; historiografi, seperti Hisyam Al Kalbi, Al Baladzuri, dan lain-lain. Mereka merupakan produk akademi pendidikan di era Islam berjaya.
Fakta sejarah di atas rnembuktikan, bahwa kualitas output pendidikan yang dihasilkan oleh Islam (dalam sistem Khilafah) telah mendapatkan pengakuan dunia. Menariknya, pendidikan berkualitas kelas satu seperti itu diberikan dengan gratis alias cuma-cuma kepada seluruh warga negaranya. Karena itu, pendidikan gratis dan bermutu dalam sistem Khilafah bukanlah isapan jempol. Dari mana biaya pendidikan bisa gratis? Islam memandang bahwa jaminan atas pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat seperti pendidikan, keamanan dan kesehatan, berada di tangan negara. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi SAW: “Imam itu adalah pemimpin dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”. (HR al-Bukhari). Atas dasar itu, negara harus menjamin setiap warga negara dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dengan mudah.
Dalam konteks pendidikan, jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi seluruh warga negara bisa diwujudkan dengan cara menyediakan pendidikan gratis bagi rakyat. Negara juga wajib menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran, dan lain sebagainya. Negara juga berkewajiban menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya, sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang bekerja di kantor pendidikan. Para Sahabat telah sepakat mengenai kewajiban memberikan gaji kepada tenaga-tenaga pengajar yang bekerja di instansi pendidikan negara di seluruh strata pendidikan. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah menggaji guru-guru yang mengajar anak-anak kecil di Madinah, sebanyak 15 dinar setiap bulan. Gaji ini beliau ambil dari Baitul Mal.
Seluruh pembiayaan pendidikan di dalam negara diambil dari Baitul Mal. Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu: (1) pos fai’ dan kharaj—yang merupakan kepemilikan negara—seperti ghanîmah, khumuûs (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharîbah (pajak); (2) pos kepemilikan umum seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Adapun pendapatan dari pos zakat tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat.
Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama: untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain.Kedua: untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya.
Jika harta di Baitul Mal habis atau tidak cukup untuk menutupi pembiayaan pendidikan, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka Negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berhutang (qardh). Utang ini kemudian dilunasi oleh Negara dengan dana dari dharîbah (pajak) yang dipungut dari kaum Muslim.Hanya saja, penarikan pajak dilakukan secara selektif. Artinya, tidak semua orang dibebani untuk membayar pajak. Hanya pihak-pihak yang dirasa mampu dan berkecukupan saja yang akan dikenain pajak.
Orang-orang yang tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup dibebaskan dari membayar pajak. Berbeda dengan negara kapitalis, pajak dikenakan dan dipungut secara tidak selektif. Bahkan orang-orang miskin pun harus membayar berbagai macam pajak atas pembelian suatu produk atau pemanfaatan jasa-jasa tertentu.Selain itu, pajak dalam pandangan syariah Islam adalah pemasukan yang bersifat pelengkap, bukan sebagai pemasukan utama dalam APBN. Negara hanya akan memungut pajak jika negara berada dalam keadaan darurat, yaitu ketika harta di Baitul Mal tidak mencukupi.
Apakah Indonesia saat ini akan mampu menggratiskan pendidikan? Dengan melihat potensi kepemilikan umum (sumber daya alam) yang ada di Indonesia, dana sebesar Rp 419,2 triliun akan dapat dipenuhi, asalkan penguasa mau menjalankan APBN Islam, bukan neoliberalisme. Berikut estimasi perhitungannya (dikutip dari http://hizbut-tahrir.or.id, 10/10/2010):
Perhitungan tahun 2010 dari sektor pertambangan minyak, gas, batubara dan mineral logam didapat penerimaan sekitar Rp 691 Triliun. Pada saat ini, dengan pola konsesi dan transfer pricing(terutama untuk gas, batubara dan emas) maka penerimaan yang dilaporkan BUMN maupun swasta ke negara jauh lebih rendah dari ini. Yang harus diingat adalah bahwa sektor pertambangan tidak dapat diperbarui. Meski teknologi dapat memperpanjang usianya, tetapi suatu hari pasti akan habis juga.
Untuk produksi laut karena sifatnya terutama dilakukan secara bebas oleh nelayan swasta baik kecil maupun besar, tentu agak sulit untuk memasukkannya sebagai penerimaan negara. Menurut Rokhmin Dahuri, nilai potensi lestari laut Indonesia baik hayati, non hayati, maupun wisata adalah sekitar US$ 82 Miliar atau Rp 738 Triliun. Bila ada BUMN kelautan yang ikut bermain di sini dengan ceruk 10% maka ini sudah sekitar Rp 73 Triliun.
Produksi hutan. Luas hutan kita adalah 100 juta hektar, dan untuk mempertahankan agar lestari dengan siklus 20 tahun, maka setiap tahun hanya 5% tanamannya yang diambil. Bila dalam 1 hektar hutan, hitungan minimalisnya ada 400 pohon, itu berarti setiap tahun hanya 20 pohon perhektar yang ditebang. Kalau kayu pohon berusia 20 tahun itu nilai pasarnya Rp 2 juta dan nett profit-nya Rp 1 juta, maka nilai ekonomis dari hutan kita adalah 100 juta hektar x 20 pohon perhektar x Rp 1 juta perpohon = Rp 2000 Triliun. Fantastis. Namun, tentu saja ini tidak mudah didapat, karena saat ini lebih dari separuh hutan kita telah rusak oleh illegal logging. Harga kayu yang legal pun telah dimainkan dengan transfer pricing untuk menghemat pajak. Namun, Rp 1000 Triliun juga masih sangat besar. Kalau kita kelola dengan baik, masih banyak hasil hutan lain yang bernilai ekonomis tinggi, misalnya untuk obat-obatan.
Dari 3 sektor itu saja jika dikelola dengan sistem Islam, maka alaokasi hasil salah satu sektor saja sudah lebih dari cukup untuk membiayai pendidikan beserta fasilitasnya. Sementara potensi yang dimiliki Indonesia jauh lebih banyak dan lebih bervariasi.
Jadi, mewujudkan pendidikan gratis di Indonesia sebenarnya sangatlah dimungkinkan. Yang menjadi masalah sebenarnya bukan tidak adanya potensi pembiayaan, melainkan kepasrahan pemerintah dalam mengelola negara kepada pihak asing dan swasta. Pendidikan mahal bukan disebabkan tidak adanya sumber pembiayaan, melainkan disebabkan kesalahan birokrasi yang bobrok dan korup. [syahid/voa-islam.com]