View Full Version
Kamis, 20 Jul 2017

Status Quo Vs HTI: Siapa Yang Akan Menang?

Oleh: Harits Abu Ulya (Direktur CIIA)

Perppu No:2/2017 akhirnya benar-benar diberlakukan. HTI menjadi bidikan pertama, tanpa peringatan badan hukumnya di cabut tanpa ada ruang dialog (tabayun). Ini seolah menjadi taktik penguasa mengunci langkah perlawanan HTI, legal standing untuk menggugat Perppu di MK itupun ditakling dengan pencabutan tersebut.

Apakah hal ini bisa berlaku juga kepada kelompok lainnya? Sangat niscaya. Karena Negara saat ini tengah direpresentasikan tunggal oleh pemerintah, perilaku diktator telah didemonstrasikan sedemikian hipokritnya dalam ruang demokrasi.

Fenomena ini potensial memicu social disorder, kekacauan yang apabila dimainkan cantik oleh ormas, atau kelompok Islam secara massif dan sistemik dapat berbalik melumpuhkan kekuasaan.

Simpati dan respect umat akan ter-agregasi sedemikian mudah terhadap kelompok yang terdzalimi oleh kekuasaan, bak promosi besar besaran tentang HTI dan gagasannya.

Dikalangan kelas menengah ke atas dan kaum terpelajar bisa jadi HTI semakin dikenal, didukung dan diikuti, bukan karena status badan hukumnya tetapi karena jati diri gagasan dan gerakan tanpa kekerasan yang menggelinding tanpa dibelenggu lagi oleh UU ormas.

Bagi HTI atau gerakan yang serupa, pencabutan badan hukum ormas tak pernah melemahkan bagi dirinya untuk hadir melebur bersama rakyat (umat).

Justru kondisi negara dengan watak diktatorisme menjadi ladang dan semaian subur untuk lahirkan kesadaran politik, kepekaan politik (wa'yu siyasi) meningkat dan kerinduan rakyat terhadap negara yg arif semakin menguat.

Dan tak bisa dinafikkan, bahwa pengemban ideologi Islam tak pernah surut mundur selangkahpun. Kehidupan perjuangan bukan bergantung kepada secarik SK Badan Hukum. Karena selembar SK itu bukan nyawa, bukan darah, tulang dan daging melainkan hanya asesoris perjuangan. Ruh mereka adalah ideologi, kekuatan dan konsistensi mereka bergantung ruh tersebut ada atau tidak dalam diri mereka. Keyakinan dan keberanian mereka melebihi kekhawatiran hilangnya kekuasaan yang tergenggam di tangan rezim.

Pencabutan SK badan hukum dibaca sebagai kemenangan HTI, sesaat panggung kekuasaan menjadi milik mereka. Kenapa? Karena HTI memanen modal sosial berbasis keimanan (faith based organisation) yang mengikat manusia atas dasar kesadaran iman, bukan iming iming harta kekayaan, kedudukan atau jabatan.

Kelestarian iman yang sama, kerinduan yang sama terhadap negara yang adil, memastikan eksistensinya establis di dada rakyat (umat).

Siapa kehilangan panggung hari ini? Status Quo dengan sabda kuasanya pemilik panggung ketika ia memainkan relasi kuasa tidak setara. Rakyat bisa jadi melihat ini seteru antara diktator dengan pahlawan-pahlawan baru. Yang akhirnya kebenaran keluar jadi pemenang bersama pengusungnya. Dan ibarat teatre panggung, saat ini sedang berlangsung pentas drama dari penguasa panggung.

Namun sebenarnya ia tidak pernah menguasai panggung pikiran dan hati publik muslim yang melek politik. Tidak ada kekuasaan yang bisa eksis berdiri diatas pundak rakyat yang terdzalimi atas nama diktator ala demokrasi.

Kediktatoran atas nama apapun akan membuat dalang dan aktornya jauh lebih sakit ketika ia tumbang. Semakin diktator kekuasaan negara dioperasikan maka hakikatnya semakin menumpuk kerapuhan yang puncaknya adalah keruntuhan.

Kekuasaan bisa saja mengkriminalisasi kelompok seperti HTI dan semisalnya dengan atas nama demi demokrasi atau apa saja. Namun sejatinya itu langkah awal kristalisasi perjuangan kaum idealis menuju konstruksi sosial yang lebih bermartabat.

Umat Islam umumnya bisa jadi "berterima kasih" kepada rezim diktator hari ini, kenapa? Jawabannya simpel: umat makin sadar perlunya perubahan revolusioner untuk Indonesia yang lebih baik dimasa mendatang. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version