View Full Version
Selasa, 25 Jul 2017

Inilah Alasan Masjid Al Aqsha Harus Diperjuangkan (Bagian Satu)

Oleh

Zulfikri*

 

DALAM sepekan terakhir, komunikasi media sosial tiba-tiba banyak diramaikan dengan pembahasan dan broadcast seputar Masjid Al Aqsha dan Palestina. Puncaknya, ribuan masyarakat Indonesia menghadiri aksi dukungan pembebasan Al Aqsha dan Palestina pada Jumat kemarin (21/07/17) di sejumlah kota di Indonesia. Banyak yang antusias menyambut ajakan itu, tak sedikit yang justru nyinyir. 

Meningkatnya pembahasan tentang Masjid Al Aqsha dan Palestina dalam sepekan terakhir dipicu oleh kebijakan pemerintahan Israel yang menutup masjid Al Aqsha dan melarang umat Islam memasuki komplek tersebut bahkan untuk kegiatan shalat Jumat sekalipun. Kebijakan itu membuat kemarahan umat Islam khususnya di Palestina dan Israel. Puncak kemarahan umat, ketika salah seorang imam masjid Al-Aqsa yang pernah ke Indonesia, Syaikh Ikrima Sabri, tertembak peluru karet tentara Israel pada Selasa (18/07/17) malam di depan pintu al-Asbat Masjid Al Aqsha.  

Rangkaian peristiwa di Masjid Al-Aqsa hendaknya menyadarkan kembali kepedulian masyarakat Indonesia untuk Masjid Al Aqsha dan Palestina. Bagi umat Islam khususnya, Masjid Al Aqsha bukanlah masjid sembarangan yang sama dengan masjid-masjid pada umumnya. Masjid Al Aqsha merupakan masjid yang diberkahi yang namanya diberikan langsung oleh Allah ta'ala dan menjadi tempat transit Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam saat melakukan perjalanan Isra' Mi'raj sebagaimana disebut oleh Allah ta'ala dalam Surat Al-Isra ayat pertama yang berbunyi:

 

سُبْحَانَالَّذِيأَسْرَىبِعَبْدِهِلَيْلًامِنَالْمَسْجِدِالْحَرَامِإِلَىالْمَسْجِدِالْأَقْصَىالَّذِيبَارَكْنَاحَوْلَهُلِنُرِيَهُمِنْءَايَاتِنَاإِنَّههُوَالسَّمِيعُالْبَصِيرُ

"Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada waktu malam dari Masjid Al Haram ke Masjid Al Aqsha yang diberkahi sekelilingnya untuk Kami perlihatkan tanda-tanda kekuasaan Kami, bahwasanya Dia itu Maha Mendengar dan Maha Melihat“. (Q.S. Al-Isra [17] : 1)

 

Masjid Al Aqsha pernah menjadi kiblat pertama umat Islam sebagaimana kedudukan Kakbah di Masjid Al Haram pada saat ini. 

Dari Al-Bara bin ‘Azib berkata, “Saya shalat bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menghadap ke arah Baitul Maqdis (Masjid Al Aqsha) selama enam belas bulan, sampai turun ayat di dalam Surah Al Baqarah wahaitsy ma kuntum fawallau wujuhakum syatroh...” (H.R. Bukhari).

 Ayat di dalam Surah Al-Baqarah yang dimaksud adalah ayat 144 yaitu :

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”. (Q.S. Al-Baqarah [2] : 144).

 

Masjid Al Aqsha merupakan bangunan kedua yang diletakkan Allah ta'ala di bumi setelah Masjid Al Haram. Hal itu sebagaimana riwayat dari Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:

Aku bertanya : “Wahai Rasulullah, masjid manakah yang pertama kali dibangun di muka bumi ?”. Beliau menjawab  : “Al-Masjid Al-Haram”. Aku bertanya lagi : “Kemudian (masjid) mana ?”. Beliau menjawab : “Al-Masjid Al-Aqshaa”. Aku bertanya lagi : “Berapa jarak antara keduanya ?”. Beliau menjawab : “Empat puluh tahun. Kemudian dimanapun shalat menjumpaimu setelah itu, maka shalatlah, karena keutamaan ada padanya”. Dan dalam riwayat yang lain : ”Dimanapun shalat menjumpaimu, maka shalatlah, karena ia adalah masjid.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Dzarr radliyallaahu ’anhu]. 

Pondasi Masjid Al Aqsha diletakkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala sejak zaman Nabi Adam ‘Alaihis Salam. Dalam kurun waktu sekian lama, bangunan itu rusak dan runtuh dimakan waktu. Areal tanah sekitar Masjid Al Aqsha juga termasuk ke dalam kawasan masjid tersebut. Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam shalat di tanah itu, bagian Masjid Al-Aqsha.

Ibnul Qayyim menyebutkan, Masjid Al-Aqsha dibangun kembali di atas pondasinya oleh cucu Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam, yakni Nabi Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim ‘Alaihis Salam. Keturunan berikutnya, Nabi Daud bin Ya’qub 'Alaihis Salam membangun ulang masjid itu. Bangunan Masjid Al-Aqsha diperbaharui oleh putera Nabi Dawud 'Alaihis Salam, yakni Nabi Sulaiman 'Alaihis Salam. Mereka para nabi utusan Allah membangun kembali Masjid Al Aqsha adalah untuk tempat ibadah mendirikan shalat di dalamnya.

 

Bepergian atau mengadakan perjalanan ke Masjid Al Aqsha merupakan "piknik" yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sebagaimana hadits:

 

لاَتُشَدُّالرِّحَالُإِلاَّإِلَىثَلَاثَةِمَسَاجِدَمَسْجِدِالْحَرَامِوَمَسْجِدِيهَذَاوَالْمَسْجِدِالْأَقْصَ

"Tidak dikerahkan melakukan suatu perjalanan kecuali menuju tiga Masjid, yaitu Masjid Al Haram (di Mekkah), dan Masjidku (Masjid An-Nabawi di Madinah), dan Masjid Al Aqsha (di Palestina)". (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).

Dengan dasar hadits ini, Masjid Al Aqsha merupakan tempat kunjungan yang mulia. Maka sangat dianjurkan untuk berziarah ke sana, shalat di dalamnya, dan mengetahui secara mendalam tentangnya. 

Masjid Al Aqsha merupakan salah satu tempat yang kelak tidak bisa dimasuki oleh Dajjal sebagaimana riwayat dari Mujahid: 

 "....... Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam berdiri dan berkata : ”Aku peringatkan kalian dari Al-Masih (dalam riwayat lain : ”Aku peringatkan kalian dari Ad-Dajjal” – sebanyak tiga kali) (karena tidak ada seorang nabi pun sebelumku, kecuali memperingatkan umatnya dari Dajjal, dan Dajjal itu muncul kepada kalian wahai umatku. Dia itu berambut keriting), matanya buta sebelah (dalam riwayat lain : buta sebelah kirinya)”. Ia berkata : ’Aku yakin beliau shallallaahu ’alaihi wasallam berkata sebelah kiri. Berjalan bersamanya bukit roti dan sungai air (dalam riwayat lain : bersamanya surga dan neraka. Nerakanya adalah surga dan surganya adalah neraka. Ia dapat menurunkan hujan dan tidak bisa menumbuhkan pohon. Dia diberi kekuasaan atas satu jiwa. Ia membunuhnya dan menghidupkannya, serta tidak diberi kekuasaan pada selainnya). Tanda-tandanya : Dia tinggal di bumi ini selama empat puluh hari. Kekuasannya mencapai semua tempat, namun ia tidak bisa mendatangi empat masjid: Kakbah, Masjid Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi Wasallam, Al Masjid Al Aqsha, dan Masjid Thur. Walaupun demikian, ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak buta sebelah”. Ibnu ’Aun berkata : ”Aku yakin beliau shallallaahu ’alaihi wasallam berkata : ’Dan ia (dajjal) diberi kekuasaan atas satu jiwa lalu membunuhnya dan menghidupkannya. Dan Allah tidak memberi kuasaan pada jiwa yang lain” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya 5/364 dan sanadnya shahih atas sarat Syaikhain]

Terakhir sebagai gambaran contoh keutamaan Masjid Al Aqsha, shalat di masjid Al Aqsha memiliki keutamaan ratusan kali lipat dari shalat di Masjid lainnya kecuali Masjid Al Haram dan Masjid Nabawi.

 

الصلاةفيالمسجدالحرامبمائةألفصلاة،والصلاةفيمسجدي،بألفصلاة،والصلاةفيبيتالمقدسبخمسمائةصلاة

”Shalat di Masjidil Haram lebih utama seratus ribu kali lipat daripada shalat di masjid-masjid lainnya. Shalat di Masjid Nabawi lebih utama seribu kali lipat. Dan shalat di Masjid Al Aqsha lebih utama lima ratus kali lipat.” (HR Ahmad dari Abu Darda).

Sementara dalam riwayat yang lebih shahih dari Abu Dzarr radliyallaahu ’anhu, ia berkata:

”Kami saling bertukar pikiran tentang mana yang lebih utama, masjid Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam atau Baitul-Maqdis, sedangkan di sisi kami ada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Lalu Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Satu shalat di masjidku (Masjid Nabawi_pen) lebih utama dari empat shalat padanya, dan ia adalah tempat shalat yang baik. Dan hampir-hampir tiba masanya, seseorang memiliki tanah seukuran kekang kudanya (dalam riwayat lain : ”seperti busurnya”) dari tempat itu terlihat Baitul-Maqdis lebih baik baginya dari dunia seisinya” [Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Thahman dalam Masyikhah Ibni Thahman, Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul-Ausath, dan Al-Haakim dalam Al-Mustadrak. Al-Haakim berkata : ”Ini adalah hadits yang shahih sanadnya, dan Al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya. Adz-Dzahabi dan Al-Albani sepakat dengan beliau]. 

Hadits tersebut termasuk bukti kenabian Muhammad Shallallaahu ’Alaihi Wasallam, yaitu berita bahwa seseorang berangan-angan memiliki tanah meskipun sedemikian sempit, asalkan dapat melihat dari dekat Baitul Maqdis dari tanahnya tersebut. 

Dalam tahqiq-nya terhadap kitab Masyikhah Ibni Thahman, Dr. Muhammad Thahir Al-Maliki  (sekitar tahun 1403 H atau bertepatan dengan 1983 M) berkata: ”Sangat disayangkan, kenyataan menunjukkan bahwa kita berada di tengah upaya mewujudkan (yang disebutkan) dalam hadits ini, yang merupakan tanda kenabian. Konspirasi para musuh terhadap Al Masjid Al Aqsha dan Batul Maqdis akan terus berlangsung dan semakin besar, serta semakin dahsyat, sampai pada derajat seseorang muslim berangan-angan memiliki sedikit tempat di sana untuk melihat Baitul Maqdis, yang menurutnya lebih ia cintai daripada isi dunia seluruhnya. Tidak diragukan lagi, setelah itu akan ada jalan keluar dan kemenangan, insya Allah. Segala sesuatunya di tangan Allah, dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.  

Seorang pengajar di Masjid Al Aqsha, Syaikh Hisyam Al ’Arifi dalam Majalah Al Ashalah, edisi 30/tahun ke-5/15 Syawwal 1421 H menulis: ”Yang disampaikan Muhammad Thahir Malik ini terjadi tahun 1403 H, bertepatan dengan 1983 M. Sungguh kenyataan yang terjadi sekarang ini lebih besar dan mengisyaratkan secara tepat tentang kesesuaian hadits ini dengan jaman sekarang. Tidak diragukan lagi, jalan keluar dan kemenangan yang beliau jelaskan tersebut tergantung pada kembalinya kaum muslimin kepada agama Allah. Yaitu dengan kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman salaful-ummah. Adapun angan-angan seorang muslim mendapatkan sedikit tanah tersebut untuk melihat Baitul Maqdis, disyaratkan dengan pemahamannya terhadap ’aqidah, baik secara keilmuan maupun amalan.

Ketika takhrij hadits ini dicetak pada tanggal 5 Muharram 1418 H, bertepatan 12 Mei 1997 M, orang Yahudi telah menetapkan penggabungan pemukiman-pemukiman mereka yang mengelilingi Baitul Maqdis dalam satu distrik yang terpusat. Itu terjadi setelah dimulainya pembangunan pemukiman baru di bukit Abu Ghunaim. Pemukiman-pemukiman ini termasuk sebagai upaya menambah pemukiman-pemukiman (Yahudi) yang dibangun di sekitar Baitul-Maqdis (Al-Quds).

Sehingga nantinya, Baitul-Maqdis dikelilingi oleh pemukiman-pemukiman Yahudi, seperti tembok pada tempat perlindungan setelah mengepung kota Al-Quds sejak enam tahun lalu, disertai pos-pos pemeriksaan militer. (Dimaksudkan) untuk mencegah penduduk Palestina di Ghaza sebelah barat terhalang (tidak) masuk ke Baitul-Maqdis atau shalat di Masjid Al Aqsha. * Pemimpin Redaksi Muslimdaily.net 


latestnews

View Full Version