Oleh: Abi Ziad (Jurnalist Citizen)
Sudah 72 tahun Indonesia Merdeka. Tentu kita patut bersyukur karena secara fisik para penjajah bisa diusir dari negeri ini. Penjajah yang notabene negara barat yg non muslim dan bukan Arab berhasil diusir atas jasa para pahlawan terutama para ulama.
Tentu saja rasa syukur tersebut tidak patut diwujudkan dengan berbagai acara yang maksiat dan melanggar aturan agama. Rasa syukur itu dilakukan sebaiknya dengan dzikir dan berdoa kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Namun yang lebih penting dari itu kita patut merenung benarkah kita sudah merdeka secara hakiki? Tampaknya bagi sebagian masyarakat kemerdekaan yang harusnya terwujudnya kesejahteraan, kenyamanan meraih pendidikan, nyaman bekerja dan bebas melaksanakan ajaran agamanya masih jauh panggang dari api. Malah dirasakan, para penjajah seakan masih bercokol di negeri ini melalui para anteknya.
Melalui berbagai undang undang, secara legal asing bisa bebas mengeruk kekayaan di negeri ini seperti SDA minyak, gas dan tambang emas, sementara pribumi terus dikejar dengan pungutan pajak yang terus menaik. Berbagai subsidi pun dicabut. Tenaga kerja asing dan aseng bebas berkeliaran di negeri ini dengan gaji berlipat lipat. Hektaran tanah pribumi pun beralih tangan, dimiliki pihak aseng dan para kapitalis serakah.
Penjajah yang tidak bersenjatakan senjata api dan meriam ini, pengaruhnya sudah masuk hampir ke semua bidang. Budaya asing dari barat, aseng, india, korea pun dipaksakan seolah kepada rakyat hingga rakyat yang notabene mayoritas muslim lupa dengan budayanya sendiri. Sejumlah patung yang tidak mewakili tokoh dari bangsa ini pun berdiri.
Patung panglima perang China yang super megah dan tinggi di Tuban adalah bukti begitu kuatnya pengaruh Aseng di negeri ini. Demikian juga rencana pembuatan kota Meikarta dan Reklamasi di Jakarta adalah bukti bagaimana aseng yang kongkalikong dengan para "pemimpin inlander" begitu berambisi kuat ingin menguasai negeri ini. Selain itu tonan narkoba yang akan menghancurkan moral masyarakat bagaikan air bah masuk ke negeri ini seolah tak bisa ditahan. Hanya sebagian kecil yang bisa digagalkan.
Serangan massif kaum LGBT pun terus terjadi dan memakan korban. Tapi ironis semuanya dianggap biasa oleh pejabat di negeri ini.Belum lagi tindakan kejahatan, pergaulan bebas, dan main hakim sendiri pun menjadi fenomena biasa belakangan. Keadilan hukum pun sulit di dapat. Hukum tampak tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Lalu dimana Pancasila? Entahlah. Tampaknya pancasila baru selogan manis di mulut tapi kenyataannya masih jauh panggang dari api. Realitanya banyak kehidupan dan kebijakan penguasa yang malah jauh dari nilai-nilai Pancasila. Malah belakangan Pancasila seolah dijadikan alat oleh penguasa untuk menggebuk suara kritis masyarakat atas kebijakan penguasa yang dianggap dzolim.
Pembubaran ormas HTI dan rencananya ormas lainnya yang dianggap bertentangan dengan pancasila menurut versi pemerintah dengan tanpa melalui pengadilan adalah bukti bagaimana Pancasila dijadikan alat untuk melangengkan kekuasaan rezim yang ada.Pokoknya semua suara yang berseberangan dengan kebijakan rezim maka bisa ditumpas melalui perppu dengan dalih bertentangan dengan pancasila.
Tampaknya kita ini belum meraih kemerdekaan yang sebenarnya. Kita belum bisa tegak berdiri di bawah kaki sendiri. Kita belum benar benar bisa mandiri dan terbebas dari jeratan asing dan aseng. So perjuangan untuk membebaskan negeri ini dari penjajahan non fisik belum usai. Karena itu perjuangan para pahlawan dulu yang sebagian besar dimotori para ulama harus kita lanjutkan. [syahid/voa-islam.com]