Oleh AB Latif*
MEIKARTA sebuah kota di kawasan Cikarang, Kabupaten Bekasi Jawa Barat akan menjadi kota metropolitan ke 2 setelah Jakarta. Kota baru ini dibangun dengan anggaran Rp. 287 trilliun dengan fasilitas yang sangat luar biasa. Diantara fasilitas itu adalah Patimban Deep Seaport, international airport, kereta api cepat Jakarta, Bekasi, Cikarang, Bandung.
Selain itu ada Light Rail Transport (LRT), Automated People Mover (monorail), serta Cikampek Elevalted Highway. Juga akan dibangun 100 gedung pencakar langit ada 250-400 ribu unit rumah yang dilengkapi dengan pusat perbelanjaan, sekolah, rumah sakit, hotel, yang kesemuanya bertaraf international. Artinya Meikarta akan menjadi kota paling modern se-Asia Tenggara.
Proyek ini muncul dan menjadi fenomenal ketika media memberitakan saat dilakukan penjualan pertama. Dan pada saat itulah Pemprov Jawa Barat terkaget-kaget karena ada kota baru tanpa sepengetahuan pemerintah. Inilah awal dari pemberitaan kota baru Meikarta. Artinya tanpa ijin James Riyadi, bos Lippo Grup ini sangat berani untuk bertaruh dimana sudah 16.800 unit terjual. Ada motif apakah dibalik pembangunan kota semodern ini? Lalu apa motif politik dibalik pembangunan kota modern Meikarta?
Jika kita telusuri dengan kaca mata politik, tentu pembangunan sebesar itu tidaklah sekadar bisnis properti. Pastilah ada agenda-agenda politik di balik bisnis itu. Pembangunan kota ini tidak terlepas dari proyek besar reklamasi 17 pulau di Jakarta. Ada hubungan erat antara reklamasi, penista agama, dan proyek-proyek besar China di Indonesia.
Kalau mengacu pada apa yang pernah disampaikan oleh seorang peneliti dari Jepang Masako Kuranishi dari Universitas Tsurumi bahwa, China punya rencana besar sejak Oktober 2013 terhadap Asia, yaitu Maritime Silk Road atau sering disebut One Belt One Road (OBOR). Atau bisa dikatakan munculnya hegomoni China terhadap Indonesia.
Karena Indonesia merupakan jalur strategis untuk mewujudkan konsep dan rencana atau gagasan itu, maka tidak ada cara lain kucuali Indonesia harus dikuasai terlebih dahulu. Karena Indonesia merupakan jembatan untuk merealisasikan konsep Maritime Silk Road atau sering disebut One Belt One Road (OBOR).
Untuk menguasai Indonesia tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan tahapan demi tahapan untuk menaklukkannya. Tahapan pertama yang dilakukan adalah menjalin kerjasama di berbagai macam bidang kehidupan dan kemudian dililit dengan hutang. Diantara kerjasama itu adalah pembangunan infrastruktur yang semua proyeknya akan dikerjakan dari investor China. Mengapa kok dikerjakan China? Semua itu dikarenakan jebakan hutang yang meminabobokan akal sehat. Yang pada akhirnya dengan hutang itu Indonesia kini mudah diarahkan dan dikendalikan, sehingga uang pinjaman dari China akan kembali ke China dalam bentuk proyek-proyek besar.
Dengan proyek dipegang China otomatis China akan bisa menyelamatkan warganya yang tidak mendapatkan pekerjaan. Dengan ini semua problem pengangguran dari negeri China dapat terselesaikan. Maka diimporlah ratusan ribu tenaga kerja asal China tak dapat dielakkan.
Kita semua tahu, bahwa di negeri China sudah penuh sesak sehingga dibutuhkan tempat baru untuk domisili penduduknya. Untuk menyelesaikan problem itu dibuatlah pulau-pulau baru dan munculah reklamasi 17 pulau di Jakarta. Dengan pulau baru harapannya dapat mengurangi kepadatan penduduk di negeri China.
Pada tahap selanjutnya adalah bagaimana mengendalikan pemerintahan. Untuk itu dimasukkanlah orang-orang keturunan China atau orang-orang yang berideologi komunis China untuk ditempatkan menjadi bagian dalam pemerintahan, tujuannya adalah mempermudah pelaksanaan program dan untuk mengendalikan kebijakan.
Dari sinilah akan munculnya berbagai kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat pribumi. Ujung dari strategi ini adalah munculnya amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dalam UUD’45 sebelum diamandemen tahun 2001 menyebutkan bahwa Presiden adalah orang Indonesia asli. Menurut mereka inilah yang menjadi batu sandungan yang menghalangi warga China untuk menjadi penguasa.
Oleh karena itu upaya mereka adalah bagaimana pasal ini bisa diubah sehingga keturunan China bisa menjadi Presiden. Dengan lobi-lobi yang hebat dan diplomasi yang kuat akhirnya kini apa yang menjadi tujuan mereka terkabulkan. Kini siapapun bisa menjadi presiden di Indonesia asal sejak kecil dilahirkan di Indonesia atau sudah menjadi warga Negara Indonesia. Artinya pintu kedua telah terbuka.
Dengan terbukanya pintu ini, maka tahap ketiga inilah yang melatarbelakangi banyaknya proyek properti di Indonesia khususnya bagi orang-orang China.
Sistem demokrasi di Indonesia, presiden dipilih secara langsung oleh rakyatnya. Dengan ini berarti untuk mencalonkan menjadi presiden haruslah mempunyai pemilih/masa yang banyak. Maka rencana eksudus 200 juta warga Tiongkok/China akan membanjiri Indonesia (www.jawapos.com, 24 Juli 2016).
Untuk menampung seluruh warga China ini, maka diperlukan hunian yang representatif. Disinilah penyebab munculnya proyek-proyek properti yang diperuntukan untuk warga China. Meikarta adalah salah satunya selain proyek besar yang ada.
Tujuan dari semua ini sudah jelas bahwa 200 juta penduduk China yang akan eksodus ke Indonesia sebanding dengan warga pribumi dalam hal jumlah. Dan jika satu warga China yang akan mencalonkan diri sebagai Presiden RI sudah bisa dipastikan akan menang yang pada akhirnya negeri ini dalam genggaman China. Inilah tujuan politik China untuk menguasai Indonesia.
Jadi semua sudah jelas, bahwa semua kerja sama dengan China dalam bidang apapun akan menguatkan hegomoni China di Indonesia. Jika hal ini tak segera disadari, maka tunggulah kehancuran Indonesia. Kekuatan China akan semakin kuat dan tajam yang berakibat terusirnya warga pribumi. Inilah motif politik dari berbagai kebijakan dan strategi China untuk menguasai Indonesia. Lantas, bagaimanakah nasib rakyat Indonesia pada masa mendatang jika terus diperlakukan sedemikian rupa? *Direktur Indopolitik Watch