Oleh: Zaqy Dafa (Pemerhati Pemikiran Islam)
Salah satu alasan yang dipakai Abu Rayyah adalah Hadits Pembohongan atas Nama Rasulullah. Dia menilai bahwa lafazh muta’ammidan adalah lafazh yang disisipkan (mudraj) di tengah-tengah Hadits oleh para rawi dari kalangan Shahabat seperti Abu Hurairah dan Anas bin Malik untuk menutupi pemalsuan Hadits yang dilakukan oleh Shahabat. Padahal, hadits ini dengan redaksi muta’ammidan telah diriwayatkan oleh banyak sekali pembesar shahabat hingga mencapai derajat mutawatir.
Pertanyaannya, bagaimana dapat dibayangkan semua Shahabat tersebut menyisipkan lafazh muta’ammidan dalam Hadits tersebut seperti anggapan Abu Rayyah sehingga menjadi satu skandal kebohongan besar? Dia juga keliru bahwa tidak ada Khulafa Rasyidun yang meriwayatkannya, karena al-Tirmidzi meriwayatkan bahwa Sayyidina Ali menyebutkan hadits tersebut. (lihat: Sunan al-Tirmidzi, no. 4080, juz 13 hlm. 320)
Kemudian, anggapan Abu Rayyah bahwa Mushaf Hadits al-Shadiqah “sangat tidak berguna” tentunya tidak mampu menggeser ketinggian derajat kitab tersebut. Hadits-hadits dalam al-Shadiqah ini ditulis oleh Abdullah bin Amr langsung dari Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama atas izin beliau. Kitab tersebut dinamakan al-Shadiqah karena berisi tentang beberapa kisah yang benar dan membedakan dari beberapa kitab lain yang berisi tentang cerita-cerita Israiliyat. Di dalamnya diceritakan beberapa hal yang benar seperti sifat Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama dan beberapa kisah yang kebenarannya masih dipertanyakan namun beliau secara jujur memberikan keterangan tersebut. (Abdurrahman bin Yahya al-Muallimi, al-Anwar al-Kasyifah, hlm. 135).
Para Imam Hadits mengakui kesahihan Hadits-hadits dalam kitab tersebut, bahkan sebagian ulama menempatkannya setara Hadits Rantai Emas (hadits riwayat Ayyub, dari Nafi’, dari Ibn Umar) dan sebagian lain berhujjah dengannya. (Maqalat wa Fawaid Haditsiyyah min Majallah al-Manar, hlm. 191)
Asumsi Abu Rayyah bahwa Ibn Syihab al-Zuhri menulis Hadits di bawah represi Bani Umayyah juga tidak sesuai fakta. Sejarah malah mencatat bahwa al-Zuhri secara terang-terangan menyalahkan Hadits yang mencitrakan baik penguasa di mata masyarakat. Peristiwa ini terjadi ketika Ibn Syihab al-Zuhri bertanya kepada khalifah Bani Umayyah Walid bin Abdul Malik, “Apa hadits yang diriwayatkan orang Syam kepada kita?” Khalifah menjawab, “Mereka meriwayatkan Hadits bahwa jika Allah menguasakan tanggung jawab rakyat kepada seorang hamba –maksudnya dijadikan penguasa, maka dituliskan kepadanya banyak kebaikan dan tidak ditulis darinya banyak kesalahan.” Al-Zuhri lantas menanggapi, “Hadits itu tidak benar, wahai Amirul Mukminin.
Manakah yang lebih mulia di hadapan Allah, seorang Nabi yang menjadi pemimpin atau penguasa yang bukan Nabi?” Khalifah Walid menjawab, “Tentu Nabi yang menjadi pemimpin.” Al-Zuhri lalu berkata, “Padahal Allah Ta’ala berkata kepada Nabi Dawud ‘alaihi al salam:
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ [ص : 26]
“Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS. Shaad: 26)
Ayat ini adalah peringatan wahai Amirul Mukminin bagi Nabi yang menjadi pemimpin, lalu bagaimana dengan pemimpin yang bukan Nabi?” Mendengar ucapan al-Zuhri tersebut, khalifah Walid berkata, “Sungguh orang-orang telah menyesatkan kami dari agama kami.” (Ibn Abdi Rabbih al-Andalusi, al-‘Iqd al-Farid, hlm. 18)
Melihat cerita diatas, terlihat bahwa Ibn Syihab al-Zuhri dengan tegas mengkritik Hadits yang disebutkan oleh khalifah Walid sebagai kepala tertinggi pemerintahan dan beliau menerima penjelasan al-Zuhri tersebut melihat kapasitasnya sebagai ulama Hadits. Maka, bagaimana Abu Rayyah dapat menyimpulkan bahwa al-Zuhri mengkodifikasi Hadits karena tekanan dari penguasa?
Pandangan Mahmud Abu Rayyah terhadap Abu Hurairah
Abu Rayyah kemudian menggugat integritas Abu Hurairah sebagai perawi dengan berbagai tuduhan, diantaranya adalah periwayatannya yang terlalu over dalam waktu singkat, dengan meriwayatkan apa yang sebenarnya tidak pasti diucapkan oleh Nabi saw. Dalam waktu kurang lebih tiga tahun dia berhasil meriwayatkan lebih dari lima ribu hadis. Selain itu, Abu Hurairah juga dituduh sebagai seorang pemalas yang tidak memiliki pekerjaan tetap, dia mengikuti Nabi karna untuk materi duniawi saja.
Kritikan Abu Rayyah terhadap riwayat yang paling dikenal, yaitu hadis tentang membentangkan jubah. Abu Rayyah menduga keras bahwa Abu Hurairah mengatakan, “Wahai Rasulullah, aku mendengar banyak hadis darimu tapi setelah itu aku lupa.” Kemudian Rasulullah berkata, “Bentangkan jubahmu.” Lalu dengan kedua tangannya, Rasul seolah-olah meletakkan sesuatu dalam jubah Abu Hurairah, seraya berkata, “Satukan (ujung-ujung) jubah itu.” Aku melakukan hal ini, dan aku tidak lupa sesuatu pun semenjak itu.”
Dugaan itu sebenarnya terletak pada kelemahan Abu Hurairah dalam menghafal hadis, sedangkan hadis tersebut dinilai tidak rasional bisa mencipta Abu Hurairah sebagai orang yang cerdas, sebab hanya Abu Hurairah saja yang melakukannya, sedangkan sahabat yang lain tidak. Nabi juga pernah mengamini do’anya Abu Hurairah, dan hal itu juga sikap respon positif dari Nabi agar dia menjadi seorang yang ‘alim dan jauh dari sikap pelupa.
Abu Rayyah mengatakan bahwa banyak Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tidak relevan ketika dikaji isi atau kandungan matn-nya meskipun Hadits tersebut shahih dalam periwayatannya. Diantara Hadits tersebut berbunyi : Pertama : “Bila Setan mendengar seruan untuk Shalat, maka dia lari seraya terkentut-kentut”. Kedua : “Barangsiapa yang mengatakan tidak ada Tuhan selain Allah akan masuk surga.” Adapun pertanyaan para Sahabat tentang apakah pintu surga akan dibuka bagi orang yang mengucapkannya tetapi ia berzina dan berzina dan mencuri, nabi mengiyakannya. (Sibawaihi, Hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman, hlm.47)
Meskipun Shahih menurut sanadnya, akan tetapi secara etika Hadits tersebut sulit untuk diakui. Apakah Nabi benar-benar menggunakan kata-kata yang kurang sopan. Abu Rayyah tidak menyangkal nilai tinggi sebuah Hadits shahih. Seandainya saja perkataan Nabi, tanpa distorsi atau perubahan, dapat diperoleh dalam edisi yang andal. (G. H. A. Juynboll, Kontroversi Hadis Nabi di Mesir. hlm. 58)
Dari beberapa pernyataannya diatas, dapat diajukan beberapa pertanyaan. Pertama, entah bagaimana Mahmud Abu Rayyah tidak mempercayai hafalan Hadits Abu Hurairah yang begitu banyak seakan hal tersebut merupakan sesuatu yang mustahil? Imam Ahmad bin Hambal dalam musnad-nya, meriwayatkan 3.848 hadis, Imam Baqi’ bin Makhlad dalam musnad-nya meriwayatkan 5.374 hadis, dan dalam Shahihayn dimuat 325 hadis dan itu semuanya diriwayatkan dari Abu Hurairah, kemudian Imam Bukhari sendiri meriwayatkan 93 hadis serta Muslim meriwayatkan 189 hadis, itupun riwayat dari Abu Hurairah.
Kritikan Abu Rayyah dalam hal ini, merupakan respon langsung dari apa yang dipermasalahkannya sendiri. Sebab Abu Hurairah senantiasa lebih mengutamakan untuk menemani Rasul daripada memuaskan kepentingan perutnya, dan tidak disibukkan dengan urusan yang menyibukkan saudara-saudaranya dari kaum muhajirin dan anshar. Dia mendengarkan apa yang tidak didengar sahabat lain. Pikirannya yang kosong dari berbagai kesibukan membuatnya merekam apa yang tidak mereka rekam. Para sahabat, tabi’in dan ulama menjadi saksi kebenaran sejarah kekuatan hafalannya.
Al-A’zami melakukan penelitian tentang banyaknya hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, bahwa riwayat hadisnya berjumlah 5.000-an, termasuk hadis yang ditikrar (diulang-ulang). Namun apabila tanpa hadis yang ditikrar substansinya, maka riwayatnya yang terhimpun dalam musnad dan kutub al-sittah tersisa 1336. Kadar ini, kata Ali al-Salus, bisa dihafal oleh pelajar yang tidak terlalu cerdas dalam waktu kurang dari satu tahun. Bagaimana dengan Abu Hurairah, yang merupakan bagian dari mu’jizat keNabian?
Quraysh Shihab juga memberikan perhitungan matematis untuk menyanggah kritik Abu Rayyah, hampir sama dengan yang diungkap al-A’zami. Katakanlah, seseorang dapat menyampaikan informasi yang didengar atau dilihat menyangkut Nabi, rata-rata sebanyak lima informasi (hadis) dalam sehari, berarti dalam setahun mampu menyampaikan 365 x 5 = 1825 hadis. Dan dengan demikian, Abu Hurairah yang hidup bersama Nabi selama empat tahun berpotensi untuk meriwayatkan hadis sebanyak 7300, jumlah ini jauh lebih banyak dari yang dinisbahkan kepada Abu Hurairah yang dinyatakan 5374 hadis. Disamping itu, perlu diingat bahwa ada sekitar delapan ratus orang perawi yang meriwayatkan dari Abu Hurairah. Tentu saja, kalau ada kelemahan kecil atau besar dalam riwayat-riwayat itu, maka tidak semuanya harus ditimpakan pada Abu Hurairah.
Kedua, Hadits tentang doa Rasulullah kepada hafalan Abu Hurairah ditolak oleh Abu Rayyah hanya dengan dasar tidak masuk akal. Namun, bagi Muslim lain hal tersebut dapat saja “masuk akal” baginya apalagi yang mendoakan adalah Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama, sang kekasih Allah paling mulia yang dikabulkan semua doanya. Dalam sisi matan jelas Hadits tersebut tidak bertentangan dengan dasar-dasar akidah Islam. Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama juga seringkali mendoakan para Shahabatnya dengan kekhususan yang tidak dimiliki shahabat lainnya seperti Anas bin Malik yang didoakan berumur panjang.
Jadi, jika Rasulullah mendoakan khusus Abu Hurairah dengan hafalan yang kuat maka hal itu sah-sah saja bagi beliau. Penolakan Abu Rayyah terhadap Hadits Abu Hurairah diatas sangat lemah dan argumennya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bersambung. [syahid/voa-islam.com]