Oleh: Zaqy Dafa (Pemerhati Pemikiran Islam)
Ketiga, karena menggunakan sains sebagai dasar diterima atau ditolaknya suatu Hadits, Abu Rayyah begitu mudah menolak Hadits yang tidak sesuai akal meskipun hadits tersebut shahih seperti dua Hadits diatas. Jika kalimat “setan kabur sambil kentut” dianggap kurang etis oleh Abu Rayyah, bukankah dalam Al-Quran Allah menggambarkaan bidadari surga yang “berdada montok”? Apakah berarti Allah berkata porno sehingga ayat tersebut harus ditolak?
Berbagai penggambaran tersebut menurut kami sesuai tempatnya dan tetap menjaga kesopanan. Bidadari digambarkan berdada besar, dan bentuk tubuh yang bagus termasuk idaman manusia baik pria maupun wanita. Setan digambarkan lari terbirit-birit sambil kentut untuk menunjukkan kehinaannya. Sepatutnya Abu Rayyah menggunakan metodologi Hadits yang disepakati untuk menganalisa suatu Hadits, bukan hanya dengan pertimbangan rasio akal saja.
Selanjutnya, Hadits kedua sebenarnya menunjukkan bahwa seorang yang telah Islam akan masuk surga meskipun dia melakukan dosa besar seperti berzina, mencuri, dan lain sebagainya. Inilah akidah dasar Ahlussunnah wal Jama’ah yang disepakati ulama Islam. Hal ini tidaklah melanggar norma kesopanan karena sama sekali tidak ada ucapan yang menganjurkan untuk berbuat dosa besar. Andai Abu Rayyah melihat Hadits ini dari kacamata orang yang mengakui dirinya penuh dosa, mestinya Hadits tersebut menjadi pelipur lara hati mereka dan motivasi agar mereka tetap optimis memperbanyak amal kebaikan dan bertaubat atas dosa-dosa mereka.
Abu Hurairah Seorang Materialis dan Rakus Dunia?
Abu Rayyah menyatakan bahwa ketika Abu Hurairah berusaha mendekati Nabi, terdapat satu satu misi yang penting dilakukannya yaitu mendapatkan makanan. Bahkan dalam bukunya “Syaikh al-Madirah”, ia secara tegas menyatakan bahwa Imam Bukhari meriwayatkan hadits yang menyebutkan bi syiba’ bathnihi atau lisyiba’ bathnihi (untuk mengenyangkan perutnya). Dengan analisa bahasanya, ia menunjukan kata li mempunyai pengertian ta’lil yang berarti bahwa Abu Hurairah mendekati karena motivasi materil saja. (Shocinim, Telaah Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah Dalam Buku “ Adwa’ ‘Ala Al-Sunnah Muhammadiyyah dalam Hunafa. hlm. 291)
Abu Rayyah juga berusaha menurunkan nilai Abu Hurairah dengan menguraikan tentang reputasi Abu Hurairah sebagai orang yang rakus, seperti yang disebutkan oleh as-Salabi dalam bukunya yang berjudul Simar al-Qulub fi al-Mudaf wa al-Mansub. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa Abu Hurairah rakus kalau sedang makan, dan terutama menyukai madirah (hidangan yang berupa susu dan daging). Hal ini membuat Abu Hurairah mendapat julukan Syaikh al-Madirah. (G.H.A Juynboll, Kontroversi Hadis Di Mesir, hlm. 97)
Pada masa Umar bin Khatab menjadi khalifah, Abu Hurairah menjadi pegawai di Bahrain, karena banyak meriwayatkan hadits Umar bin Khatab pernah menentangnya. Umar menyerang dengan cambuknya seraya berkata; “Engkau telah meriwayatkan sedemikian banyak hadits, mana mampu engkau berdusta atas nama Nabi”. Abu Rayyah melanjutkan kritiknya terhadap Abu Hurairah dengan menyatakan bahwa Aisyah mencurigai terhadap banyaknya riwayat-riwayat Abu Hurairah. (Suniyah, Kritik Abu Rayyah Terhadap Abu Hurairah Dalam Kitab Al-Adwa’ ‘Ala As-Sunnah al-Muhammadiyyah, skipsi, Fakultas Ushuluddin, Uin Sunan Kalijga, Yogyakarta, 2005. hlm. 40)
Para kritikus Hadits seperti Abu Rayyah seringkali menggunakan riwayat Bukhari tentang pengakuan Abu Hurairah setia menemani Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama untuk mengenyangkan perutnya untuk menunjukkan tujuan duniawinya dalam belajar. Jika dipahami seksama, hipotesa Abu Rayyah bahwa Abu Hurairah mendekati Rasulullah karena alasan materi saja dari pemahaman huruf jar li adalah kesimpulan yang tergesa-gesa. Dari kata-kata tersebut tidak menutup kemungkinan ada motivasi lain yang mendasari konsistensi Abu Hurairah menemani Rasulullah tersebut.
Abu Hurairah adalah seorang yang miskin dan tidak bekerja. Beliau tiap hari melayani dan menemani Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama karena keinginannya yang kuat untuk merekam setiap ucapan dan perbuatan Rasulullah hingga rela tidak bekerja. Beliau bisa makan ketika ada makanan dari Rasulullah dan tidak makan ketika tidak ada. Jika memang Abu Hurairah hanya ingin mencari harta dunia, mengapa beliau tidak ikut kepada shahabat-shahabat lain yang kaya raya? Mengapa beliau malah ikut Rasulullah yang terkadang keluarganya tidak ada makanan selama berhari-hari? Hal ini tentu harus menjadi pertimbangan dalam berfikir agar tidak berat sebelah dalam memahami masalah.
Hal aneh lainnya adalah ketika Abu Rayyah merendahkan nilai Hadits Abu Hurairah disebabkan beliau sangat lahap (atau rakus dalam bahasa kasarnya) ketika makan terutama makanan kesukaannya yaitu madhirah. Apakah jika orang begitu lahap makan menjadikan keadilannya atau hafalannya berkurang? Pertanyaan seperti ini menjadi aneh jika dipertanyakan dalam ranah keilmuan karena jawabannya jelas tidak. Selain itu melihat Abu Hurairah yang hanya mengandalkan pemberian makanan Rasulullah yang tidak menentu untuk makan, wajar saja bila beliau selalu terlihat lahap ketika menyantap makanan yang didapatkannya. Hal ini tidak mengurangi derajat beliau sebagai ulama ahli ibadah yang memiliki banyak sekali koleksi Hadits-hadits Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama.
Tentang kasus khalifah Umar mencambuk Abu Hurairah, maka jikalau kisah sejarah ini benar hal tersebut tidak berarti khalifah Umar menolak riwayat-riwayat Hadits dari Abu Hurairah. Seperti yang telah diketahui, pada masa khalifah Abu Bakr dan Umar penulisan Hadits Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama tidak berkembang pesat dan dilakukan dengan sangat ketat. Hal ini karena pada saat itu kaum Muslimin sedang melakukan mega project kodifikasi dan standardisasi Al-Quran, sehingga gerakan penulisan Hadits ditekan terlebih dahulu agar tidak terjadi percampuran antara Al-Quran dan Hadits. Khalifah Abu Bakr dan Umar mengambil kebijakan untuk sangat hati-hati dalam menuliskan Hadits. Bahkan khalifah Umar dengan tegas melarang memperbanyak periwayatan Hadits. Hal ini dimaksudkan agar Al-Quran terpelihara kemudiannya dan umat Islam memfokuskan diri dalam pengkajian Al-Quran dan penyebarannya.
Namun, tidak benar pula bahwa Khalifah Abu Bakr dan Umar antipati dengan Hadits Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama. Beliau hanya tidak suka memperbanyak riwayat Hadits-hadits tentang rukhshah (kelonggaran) agar kaum Muslimin tidak tendensius memanfaatkannya demi kepentingan dirinya sendiri, seperti hal beliau tidak suka memperbanyak riwayat Hadits yang masih rancu atau kabur pemahamannya agar tidak menyesatkan umat. (Abdul Azhim Ibrahim Muhammad al-Mutha’I, al-Syubuhat al-Tsalatsun, hlm. 28)
Keberpihakan Abu Hurairah kepada Muawiyah
Menurut Abu Rayyah banyak hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dikarenakan kerakusannya. Selain itu, karena pengaruh pergulatan politik dimana ia berpihak pada Mu’awiyyah dan menyebarkan hadits yang berpihak kepadanya, sesuai dengan kebijakan yang diinginkannya. Pada masa pemerintahan Mu’awiyyah mereka membangan sebuah istana al-aqiq. Mengelilingi dengan uang serta menyelimuti dengan berbagai pemberian. Mereka menyebarkan dan mengumumkan nama Abu Hurairah dan mengangkatnya menjdi Gubernur di Madinah. Juga menikahkan dengan Bisra binti Ghazwan adik Gubernur Utbah bin Ghazwan. Abu Hurairah menyampaikan hadis yang mengagumkan tentang keutamaan-keutamaan Mu’awiyyah dan beberapa yang lainnya. (Suniyah, Kritik Abu Rayyah Terhadap Abu Hurairah Dalam Kitab Al-Adwa’ ‘Ala As-Sunnah al-Muhammadiyyah, hlm. 44)
Contoh hadis: Khadza hada al-sahmu “hadits yang diriwayatkan oleh al-Khatib bahwa Abu Hurairah berkata: Nabi saw memberi sebuah anak panah pada Mu’awiyyah dan berkata padanya: ambiah anak panah ini sampai engkau bertemu denganku di surga. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir, Ibnu ‘Adi dan al-Khatib al-Baghdadi mengatakan: aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Allah telah mempercayakan wahyunya pada tiga orang: aku, Jibril dan Muawiyyah.
Abu Hurairah membuat hadis yang melampaui batas-batas pada masa kekuasaan Muawiyyah berdasarkan apa yang diinginkan Mu’awiyyah serta kebijakannya yang diperlukan. Banyak hadis yang dibuat Abu Hurairah untuk merendahkan Ali dan keluarga Nabi saw. Abu Ja’far al-Asfahani: Mu’awiyyah telah memaksa beberapa sahabat dan tabi’in untuk meriwayatkan hadis-hadis yang buruk seputar Ali agar namanya tercemar serta memungkirinya. Ia memberinya upah untuk itu. Maka, mereka membuat hadis yang memuaskannya. Di antara mereka adalah Abu Hurairah, Amr bin Ash serta Mughirah bin Syu’bah. Di antara tabi’in adalah Urwah bin az-Zubair.
Beberapa tuduhan Abu Rayyah terhadap Abu Hurairah hanya mengulang-ulang ucapan orang-orang Syi’ah ekstrim dan misionaris. Mereka ingin mengesankan Abu Hurairah sebagai shahabat yang suka menjilat para penguasa karena kegilaannya terhadap harta dunia. Jika beliau diangkat sebagai pejabat pemerintahan khalifah Muawiyah dan dinikahkan dengan anak pejabat, maka hal tersebut tidak berbeda dengan para shahabat lainnya baik dari Bani Hasyim atau yang lain.
Fakta yang tidak boleh dilupakan, Abu Hurairah merupakan salah satu penentang keras kebijakan Bani Umayyah yang menolak memakamkan Hasan bin Ali di samping kakeknya Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama. Beliau memberi kritikan tajam terhadap Marwan bin Hakam dengan berkata, “Demi Allah, Anda bukanlah pemimpin. Jika ada pemimpin selain Anda maka biarkanlah, namun Anda malah memasuki urusan yang tidak berguna bagi Anda.
Anda melakukan ini hanya untuk mencari muka di depan orang yang tidak sedang bersama Anda – yakni Muawiyah.” (lihat: Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 8 hlm. 116) Dari fakta sejarah ini, dapat dipahami bahwa Abu Hurairah bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintahan Bani Umayyah termasuk khalifah Muawiyah. Bersambung. [syahid/voa-islam.com]