View Full Version
Senin, 02 Oct 2017

Kritik Terhadap Kritik Hadits Mahmud Abu Rayyah (Bagian 4-Selesai)

Oleh: Zaqy Dafa (Pemerhati Pemikiran Islam)

Adapun Hadits riwayat Abu Hurairah yang disebutkan Abu Rayyah tentang keutamaan Muawiyah diatas perlu dikaji ulang. Pertama, Hadits bahwa Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama bersabda kepada Muawiyah, “ambillah anak panah ini sampai engkau bertemu denganku di surga” diriwayatkanoleh Wadhah bin Hasan, dari Wuzair bin Abdullah al-Jazari, dari

Ghilab bin Ubaidullah al-Uqaili. Ketiganya adalah rawi yang dicurigai berdusta. Hadits ini diriwayatkan Ibn al-Jauzi dalam al-Maudlu’at dan seringkali direkayasa sanadnya dengan meriwayatkannya dari Jabir, Anas, Ibn Umar, dan lainnya. (lihat: Ibn al-Jauzi, al-La’ali al-Mashnu’ah, juz 1 hlm. 219)

Hadits kedua bahwa Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama bersabda, “Allah telah mempercayakan wahyunya pada tiga orang: aku, Jibril dan Muawiyyah”, Hadits ini juga termasuk Hadits Maudlu’ yang seringkali diriwayatkan oleh para rawi pendusta dan disambungkan kepada riwayat Wailah, Anas, dan Abu Hurairah. (lihat: Ibn al-Jauzi, al-La’ali al-Mashnu’ah, juz 1 hlm. 216-218) Dari keterangan ulama ini dapat disimpulkan bahwa tuduhan Abu Rayyah Abu Hurairah menjilat penguasa dengan membuat Hadits-hadits yang mencitrakan kebaikannya adalah tidak berdasar karena Hadits-hadits yang dia sebutkan tersebut adalah hadits palsu yang tidak pernah diucapkan oleh Abu Hurairah.

Selanjutnya, Abu Rayyah menggunakan ungkapan seorang pimpinan Mu’tazilah bernama Abu Ja’far al-Iskafi yang menuduh beberapa Shahabat termasuk Abu Hurairah diperintahkan untuk membuat Hadits yang mencemarkan nama Ali dan keluarganya. Abu Ja’far al-Iskafi adalah pentolan Mu’tazilah yang konon diagung-agungkan oleh khalifah al-Mu’tashim pada waktu itu. Salah satu pemikirannya adalah bahwa Allah tidak mampu bertindak buruk terhadap orang-orang berakal namun mampu bertindak zalim terhadap anak-anak dan orang gila. (lihat: al-Zirikli, al-I’lam, juz 6 hlm. 221) Dan, sudah lama diketahui bahwa kaum Syi’ah seringkali bersekongkol dengan Mu’tazilah untuk meruntuhkan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah.

Justru banyak riwayat yang membuktikan sanjungan Abu Hurairah terhadap Sayyidina Ali. Diriwayatkan dari Abu Rafi’, ia berkata: Aku berkata kepada Abu Hurairah, “Sesungguhnya Ali bin Abu Thalib ketika shalat Jum’ah di Irak membaca surah al-Jum’ah, dan ketika itu orang-orang munafik mendatangimu.” Abu Hurairah menyahut, “Begitulah bacaan Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama.” (HR. Ibn Hibban) Di sini Abu Hurairah memuji Ali karena beliau mengikuti bacaan Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama.

Abu Hurairah juga memuji Ja’far bin Abu Thalib karena sangat sayang dan dekat dengan orang miskin hingga Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama menjuluki sebagai bapak orang miskin. (HR. Ibn Majah) Abu Hurairah juga mendoakan Hasan bin Ali dengan doa, “Ya Allah, sungguh aku mencintainya, maka cintailah dia dan cintaikan orang yang mencintainya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad) Melihat beberapa Hadits ini, maka tuduhan bahwa Abu Hurairah membenci Ali dan keluarganya adalah omongan yang tidak berdasar.

Dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa Mahmud Abu Rayyah menyerang otoritas Abu Hurairah dengan cara pandangan dan argumen-argumen yang dibangun oleh Syiah ekstrim yang memang selalu berkonfrontasi dengan Ahlussunnah wal Jama’ah untuk meruntuhkan akidahnya. Meskipun tidaklah perlu memvonisnya sebagai penganut Syi’ah, pandangan buruknya terhadap Abu Hurairah tidak didukung fakta ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga kritikannya hanya akan menjadi angin lalu yang tidak bakal dilirik orang.

 

Perseteruan Abu Hurairah dengan Aisyah

Ibnu Qutaibah menggambarkan hubungan antara Abu Hurairah dengan Aisyah, ia menyatakan bahwa Aisyah pernah mengatakan: “Abu Hurairah meriwayatkan suatu hadis dariku yang aku tidak meriwayatkan hadis tersebut”. Ibn Qutaibah mendasarkan pada riwayat  yang berasal dari Ibnu Sa’ad dari Amr Ibn Yahya bin Umay dari kakeknya ( Sa’id ibn Amr) yang menyatakan: ketika Aisyah berkata kepada Abu Hurairah: “Sesungguhnya engkau meriwayatkan hadis yang aku tidak mendengarnya dari Nabi saw”.

Abu Hurairah menjawab dengan tidak sopan seraya berkata kepada Aisyah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, al-Bukhari, Ibnu Katsir dan yang lainnya: “Wahai Aisyah, saya mendapatimu sibuk dengan cermin dan tempat celak”. Sedangkan dalam riwayat lan disebutkan, “Tidak ada sesuatupun yang membuatku sibuk darinya (cermin dan tempat celak) tapi aku melihatnya kamu sibuk dengan hal itu.”

Dalam riwayat lain pada bagian yang akhir disebutkan kata “ la’allahu” yang mempunyai arti do’a, yaitu do’a Aisyah yang diberikan kepada Abu Hurairah, semoga engkau benar terhadap apa yang engkau riwayatkan. Riwayat yang berkisar tentang Abu Hurairah dan Aisyah menurut Abu Rayyah merupakan suatu kecurangan terhadap apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Dengan demikian Abu Rayyah berusaha unuk mempertanyakan kembali apa yang telah diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang begitu banyak. (Suniyah,  Kritik Abu Rayyah Terhadap Abu Hurairah Dalam Kitab Al-Adwa’ ‘Ala As-Sunnah al-Muhammadiyyah, hlm. 41)

Menurut Abu Rayyah, ‘ulama hadis menyebutkan bahwa Abu Hurairah termasuk perawi yang Mudallis. Sebab tadlisnya adalah karena diketahui Abu Hurairah meriwayatkan dari orang yang pernah bertemu tapi tidak mendengar langsung darinya, atau dari orang yang semasa tapi tidak pernah bertemu dan mendengar hadis dari orang yang sudah pikun.

Yazid bin Harun berkata: “Saya mendengar dari syu’bah mengatakan, Abu Hurairah adalah tadlis yakni dia meriwayatkan apa yang di dengarnya dari ka’ab al-Ahbar dengan apa yang di dengarnya dari Rasulullah, dan ia tidak memisahkan antara satu dengan yang lainya”. Syu’bah mencontohkan hal ini pada hadits yang berbunyi: Artinya: “Barang siapa yang menjumpai waktu subuh, sedang ia dalam keadaan berhadas besar (karena bersenggama dengan istrinya) maka tidaklah berpuasa”.

Hadis ini setelah dikonfirmasi pada Abu Hurairah, ia mengatakan mengabarkan kepadaku seorang Mukhbir dan aku tidak mendengarnya dari Rasullah. Jadi, dalam hadis ini Abu Hurairah tidak menyebutkan siapa yang menyampaikan hadis ini padanya. Dia hanya menyebutkan dari seseorang Mukhbir tanpa menyebutkan nama Mukhbir tersebut.Menurut Abu Rayyah, Aisyah mengingkari adanya hadits di atas. Aisyah mengatakan: “Sesungguhnya Rasulullah menemui waktu fajar dan beliau dalam keadaan junub, kemudian beliau mandi dan puasa”.

Ketika hadits tersebut  diketemukan kontradiksi dengan hadits yang dikemukakan oleh Aisyah dan Ummu Salamah, maka akhirnya Abu Hurairah mengakui bahwa hadits tersebut bukan berasal darinya tetapi dari al-Fadl bin Abbas. Dalam hal ini Abu Hurairah sangat ceroboh dalam berkata. Menurut Abu Rayyah, Abu Hurairah berusaha mengelak dari kenyataan dan berkata riwayat tersebut berasal dari al-Fadl bin Abbas, padahal ia suudah meninggal. Maka bagaimana mungkin Abu Hurairah menjadikan ia sebagai mitra bicara dan mengambil riwayat tersebut berasal darinya. Ibnu Qatadah dalam hal ini memberi komentar bahwa Abu Hurairah berusaha untuk menjadikan mayat sebagai saksi dan mengelabui orang bahwa ia mendengar dari Rasulullah Saw. Hadis semacam ini menurut Abu Rayyah tidak bisa diterima dan tidak dapat dijadikan hujjah serta dalil. (Suniyah,  Kritik Abu Rayyah Terhadap Abu Hurairah Dalam Kitab Al-Adwa’ ‘Ala As-Sunnah al-Muhammadiyyah, hlm. 50)

Mahmud Abu Rayyah menggunakan beberapa pernyataan yang terdapat dalam kitab-kitab Hadits dan sejarah untuk menunjukkan penolakan para shahabat terhadap Hadits-hadits Abu Hurairah. Akan tetapi, banyak tafsiran-tafsiran yang dia gunakan tidak sesuai dengan data sejarah lain yang tidak dia ungkapkan entah dia sengaja atau tidak.

Pertama, tentang pernyataan Aisyah, “Abu Hurairah meriwayatkan suatu hadis dariku yang aku tidak meriwayatkan hadis tersebut”lalu dijawab oleh Abu Hurairah, “Tidak ada sesuatupun yang membuatku sibuk darinya (cermin dan tempat celak) tapi aku melihatnya kamu sibuk dengan hal itu.” Setelah dijawab demikian oleh Abu Hurairah, Aisyah pun mengucapkan “la’allahu” (lihat: Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 8 hlm. 109), suatu kalimat yang menunjukkan kekhawatiran atas sesuatu yang dibenci dimana dalam kasus ini adalah ucapan Abu Hurairah tersebut. (lihat: Ibn Hisyam, Mughni al-Labib, juz 1 hlm. 36) Dalam kasus ini berarti Aisyah mengakui keunggulan Abu Hurairah dalam hal komitmennya mempelajari tingkah laku Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama sehingga beliau mampu menghafal Hadits yang tidak diketahui oleh Aisyah. (entah darimana Abu Rayyah mengatakan la’allahu dapat bermakna doa)

Perlu diketahui, bahwa banyak shahabat yang berkata sama dengan Aisyah diatas seperti Thalhah, Abu Ayyub al-Anshari, dan Ibn Umar karena mengakui kehebatan hafalan Haditsnya. Jika Abu Hurairah menjawab perkataan Aisyah tersebut dengan jawaban diatas, maka Abu Hurairah juga menjawab perkataan shahabat yang lain tentang Hadits-haditsnya dengan ucapan, “Aku tidak disibukkan dengan bertanam dan berdagang di pasar. Aku hanya mencari kalimat yang Rasulullah ajarkan dan makanan yang beliau berikan.” (lihat: al-Bidayah, juz 8 hlm. 109) Jadi perkataan Aisyah diatas sebenarnya dalam konteks memuji seperti shahabat lainnya bukan mencurigai. Sedangkan jawaban Abu Hurairah diatas berada dalam konteks memperlihatkan alasan bukan merendahkan.

Kedua, tentang perkataan Yazid bin Harun bahwa Abu Hurairah adalah mudallis (lihat: Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 8 hlm. 116), maka mayoritas ulama telah menjawabnya bahwa pernyataan ini tidak sesuai dengan pernyataan mayoritas ulama karena mereka mengetahui Abu Hurairah sebagai sosok yang jujur, dipercaya, ahli ibadah, zuhud, dan beramal shalih, mustahil berbuat demikian. Bahkan, Ibn Asakir sendiri melakukan pembelaan terhadap Abu Hurairah. (lihat: Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 8 hlm. 117)

Abdurrahman bin Yahya al-Muallimi memberikan pandangan baru mengenai hal ini. Dia mengatakan bahwa pernyataan diatas riwayatnya syadz (aneh) dan tidak diketahui bagaimana dapat bersambung kepada Yazid bin Harun. Andaikata tidak ada sanad yang sahih dalam pernyataan tersebut, dia mengira bahwa telah terjadi pengubahan redaksi. Mungkin yang dimaksud mudallis tersebut adalah “Abu Harrah”, namun sebagian rawi membacanya “Abu Hurairah”. Jika ini benar, maka Abu Harrah memang seorang mudallis seperti keterangan Ibn Hajar dalam Thabaqat al-Mudallisin (hlm. 17). (Abdurrahman bin Yahya al-Muallimi, al-Anwar al-Kasyifah, hlm. 174)

Sebenarnya persoalan Abu Hurairah dituduh seorang mudallis ini adalah permasalahan klasik yang sudah mengundang polemik dari berbagai pihak. Hal ini dipicu oleh beberapa riwayatnya dalam jumlah sedikit yang kelihatan tercampur antara riwayat yang berasal dari Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama dengan berita yang berasal dari pendeta Yahudi Ka’b al-Ahbar sehingga tidak dapat dibedakan antar keduanya. Diantara yang mengkritik Abu Hurairah karena kasus tersebut adalah seorang Tabi’in bernama Bisr bin Said, namun Ibn Luhai’ah pun menyangkalnya dan mengatakan bahwa riwayat Abu Hurairah yang Bisr kritik adalah dari orang lain bukan dari Abu Hurairah.

Termasuk pula pengkritik Abu Hurairah dalam kasus ini adalah Ibrahim al-Nakha’I yang mengaku bahwa ulama meninggalkan beberapa riwayat Abu Hurairah. Namun disebutkan bahwa pernyataan yang disematkan kepada Ibrahim al-Nakh’I ini tidak diterima karena kalah banyak dengan riwayat baik dari shahabat maupun tabi’in yang mengakui kealiman Abu Hurairah dalam Hadits. Pada waktu Harun Rasyid menjabat sebagai khalifah, juga terjadi polemik antara beberapa orang tentang Abu Hurairah. Umar bin Hubaib kemudian tampil sebagai pembela Abu Hurairah. Ketika diperintahkan khalifah Harun untuk menerima kritikan terhadap Abu Hurairah, Umar dengan lantang berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apa yang Tuan katakan itu adalah pendustaan terhadap Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama. Jika shahabat Rasulullah adalah orang-orang pendusta, maka ajaran Islam seluruhnya dusta, begitu juga shalat, puasa, talak, dan pidana had.” Dari keterangan tersebut akhirnya Harun Rasyid menerimanya.(Ibn Hibatullah al-Syafi’I, Tarikh Dimasyq, juz 67 hlm. 359-362)

Jadi, jika Mahmud Abu Rayyah merendahkan posisi Abu Hurairah dengan berbagai pernyataan miring sebagian ulama dalam kitab-kitab sejarah, maka ingatlah bahwa hal itu jauh kalah banyak dibanding riwayat-riwayat pengakuan ulama dari kalangan shahabat, tabi’in, dan setelahnya terhadap otoritas Abu Hurairah.

Ketiga, tentang penolakan Aisyah terhadap Hadits riwayat Abu Hurairah, “Barang siapa yang menjumpai waktu subuh, sedang ia dalam keadaan berhadas besar (karena bersenggama dengan istrinya) maka tidaklah berpuasa”, maka hal tersebut memang diakui oleh Abu Hurairah. (HR. Ahmad, al-Nasai) Akan tetapi, tanggapan Aisyah diatas bukan berarti menolak kesahihan Hadits Abu Hurairah dari Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama. Aisyah sebenarnya sedang menjelaskan bahwa sabda Rasulullah yang disebutkan Abu Hurairah tersebut telah dinaskh oleh perilaku Rasul yang didapati oleh Aisyah. Ini dibuktikan dengan Firman Allah Ta’ala:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Ulama pakar tafsir seperti al-Qurthubi, Ibn Katsir, al-Syaukani, dan Ibn al-Jauzi menyatakan bahwa ayat tersebut turun sebagai naskh atas keharaman bersetubuh di malam-malam bulan Ramadlan setelah tidur, dan jika seseorang melakukannya maka puasanya batal pada hari itu. Oleh karena itu, riwayat Abu Hurairah bahwa Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama bersabda, “Barangsiapa yang menjumpai waktu subuh, sedang ia dalam keadaan berhadas besar (karena bersenggama dengan istrinya) maka tidaklah berpuasa” sesuai dengan hukum yang berlaku pada awalnya. Hal ini karena ketika seseorang haram bersetubuh setelah tidur, berarti dia tidak sah puasanya jika setelah bangun tidur dia masih menyandang hadats besar karena bersetubuh sebelum tidur.

Hukum inilah yang akhirnya ikut dinaskh oleh ayat diatas, karena jika seseorang boleh bersenggama di malam-malam bulan Ramadlan, berarti sah pula dia menyandang hadats besar sampai fajar datang. Oleh karena itu, Aisyah menceritakan bahwa Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama ketika bangun tidur di waktu fajar langsung mandi dan berpuasa. Selesai. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version