View Full Version
Senin, 16 Oct 2017

Insiden Penembakan Massal di Amerika Serikat dan Propaganda War on Terrorism

Oleh: Ventin Yurista (Mahasiswa Universitas Airlangga)

Penembakan massal paling mematikan dalam sejarah modern Amerika Serikat. Begitulah media massa menyebut penembakan di Las Vegas. Stephen Paddock, 64 tahun, secara brutal menembakkan peluru ke arah 22.000 orang yang sedang menghadiri festival musik. Dilaporkan 59 orang tewas dan 527 orang lainnya luka-luka dalam serangan tersebut.

Stephen Paddock menembak dirinya sendiri sebelum polisi menangkapnya. Paddock diketahui adalah warga AS asal Mesquite, asli ras kulit putih, dan beragama non-muslim. Dari penyelidikan ditemukan 47 senjata api yang dimiliki Paddock. Motif penembakan masih diselidiki oleh aparat. Paddock tidak memiliki catatan kriminal, tidak berafiliasi dengan kelompok muslim bersenjata seperti ISIS, dan juga tidak ada riwayat penyakit mental.

Kepolisian setempat pun tidak menyatakannya sebagai aksi terorisme. Media AS menyebutnya sebagai aksi lone wolf, atau melakukan serangan atas prakarsa sendiri. Presiden AS Donald Trump mengatakan pelaku penembakan ini adalah “setan sejati”, dan tampak menghindari kata terorisme atau terorisme domestik.

Hal ini sangat berbeda dengan penembakan yang terjadi di Orlando. Pada 12 Juni 2016, terjadi penembakan di sebuah nightclub khusus gay yang menewaskan 49 orang dan melukai 58 orang lainnya. Pelaku penembakan, Omar Mateen, adalah seorang pria 29 tahun beragama muslim. Meskipun Mateen diketahui pernah menyatakan kesetiaannya pada pemimpin ISIS, CIA tidak menemukan bukti dia pernah berkomunikasi dengan ISIS. Keluarga pelaku menyatakan dia memiliki mental yang tidak stabil. Namun, kasus ini langsung dinyatakan sebagai terorisme domestik.

Menurut Patriot Act atau undang-undang terorisme AS, teroris domestik adalah upaya untuk mengintimidasi atau memaksa warga sipil; mempengaruhi kebijakan pemerintah dengan melakukan penghancuran massa, pembunuhan, atau penculikan. Namun berbagai insiden membuktikan bahwa sebutan teroris hanya dipakai untuk pelaku muslim. Taslima Nasreen, seorang penulis Bangladesh, dalam akun twitter-nya menyatakan, ”Pria yang meneror 22.000 orang, membunuh dan melukai ratusan orang, dia tidak disebut teroris! Apa perlu menjadi orang Islam untuk mendapat sebutan itu?”

Berbagai insiden penembakan ini juga mementahkan klaim AS sebagai polisi dunia. AS selama ini mempromosikan negaranya sebagai garda terdepan dalam misi war on terrorism. Negara lain didikte untuk ikut serta dalam proyek ini dengan dalih menjaga keamanan dunia. Namun pada faktanya, negara mereka sendiri justru tidak aman.

Undang-undang AS melegalkan kepemilikan senjata api dalam konstitusi mereka sendiri. Berdasarkan survei tahun 2017, 40% warga AS mengaku memiliki senjata api atau tinggal di rumah yang menyimpan senjata api. Gun Violence Archive mencatat telah terjadi 58.780 insiden penembakan sepanjang tahun 2016, dengan korban tewas sebanyak 15.079 orang dan 30.614 orang lainnya luka-luka.

Namun pemerintah AS tampak tidak berminat untuk menuntaskan masalah ini. Walaupun semakin banyak tuntutan untuk mengetatkan kepemilikan senjata, pemerintah bergeming. National Rifle Association (NRA) yang menangani kepemilikian senjata juga tak berkomentar terkait tingginya insiden penembakan. Presiden Trump hanya mengatakan,”Kita akan membahas undang-undang senjata api seiring waktu berjalan.”

Sangat berbeda jika dibandingkan dengan upaya AS dalam war on terrorism. Pemerintah AS rela menggelontorkan dana yang tak sedikit untuk mempromosikan war on terrorism ke negara lain. AS juga tak segan melakukan serangan militer terhadap negeri yang dianggap melindungi teroris – yang notabene adalah negeri-negeri muslim. Ditambah dengan gelar teroris yang hanya disematkan pada pelaku muslim, menjadi bukti bahwa war on terrorism sejatinya adalah perang terhadap Islam. Propaganda terorisme telah digunakan untuk menyebarkan islamophobia dan menyerang kaum muslim.  

Sudah waktunya kaum muslim sadar terhadap propaganda AS dan sekutunya untuk menyerang Islam. Umat Islam di seluruh negeri-negeri muslim harus bersatu dan melawan propaganda ini. Jangan sampai kita terpengaruh tipu daya Barat yang membuat muslim menjadi kaum inferior yang mudah didikte oleh mereka. Saatnya umat Islam bangkit dan menjadi umat terbaik yang disegani dunia dengan peradabannya yang mulia. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version