Oleh: Ulfiatul Khomariah
(Mahasiswi Sastra Indonesia FIB Universitas Jember, Pemerhati Sosial dan Politik)
Beberapa hari yang lalu, tepat pada hari Sabtu (04 November 2017) pengajian yang menghadirkan Felix Siauw sebagai pembicara kembali dibubarkan oleh sekelompok ormas di Masjid Manarul Islam Bangil. Hal ini mengundang banyak perhatian di tengah masyarakat. Bukan hanya sekali ataupun dua kali, namun kejadian ini terjadi berkali-kali, ada sekelompok ormas yang rajin membubarkan kajian Islam.
Berdasarkan klarifikasi Ust. Felix Siauw mengenai dibubarkannya kajiannya di Bangil, Ormas yang melabeli dirinya paling toleran dan paling NKRI ini menolak Felix Siauw dikarenakan Felix Siauw merupakan pentolan dari HTI. Padahal perlu kita ketahui bahwasanya HTI telah dibubarkan oleh penguasa melalui senjata UU Ormas no.02 tahun 2017. Maka bukan alasan yang logis menolak kajian hanya dikarenakan pengisi kajian adalah seorang ustadz yang mengikuti ormas tertentu.
Yang lebih lucu lagi, Ternyata polisi mengatakan bahwa ia ditekan ormas tertentu, yang meminta 3 pernyataan dari Felix Siauw, salah satunya adalah mengakui ideologi Pancasila sebagai ideologi tunggal NKRI. Sungguh aneh bin ajaib, memberikan kajian di Masjid saat ini perlu syarat semacam itu, standarnya bukan benar dalam menyiarkan Islam, bukan lagi sesuai dengan al-Qur’an dan As-Sunnah, melainkan cukup dengan kata-kata “Saya Pancasila, Saya NKRI” mungkin sudah diperbolehkan mengisi kajian meski kajian yang disampaikan tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Begitu pun dengan pihak berwenang yang seharusnya melindungi yang haq, nyatanya malah pilih kasih. Saat ummat Islam didemo, yang disalahkan adalah ummat Islam. Bila ummat Islam yang melakukan aksi, yang disalahkan juga ummat Islam. Sampai saat ini pun polisi masih mati-matian pada kasus fake chatsex, ulama dan aktivis ditahan tanpa alasan yang jelas. Sebenarnya dimana fungsi polisi sebagai pihak yang memihak pada kebenaran?
Ironisnya, atas dasar Pancasilais sekelompok ormas membubarkan kajian Felix Siauw tanpa berpikir kritis. Atas dasar Pancasilais mereka mengobrak-abrik kajian Islam ideologis tanpa diskusi secara intelek, namun dengan makian, membuat rusuh, dan mengandalkan kekuatan fisik. Naudzubillah, seperti inikah ormas yang mengklaim dirinya sebagai Pancasilais?
Bukan ingin membela Felix Siauw atau siapapun, tapi ini berbicara tentang kebenaran. Haruskah sesama saudara muslim saling menjatuhkan dan memaki satu sama lain hanya karena embel-embel “Saya Pancasila”? Sebenarnya, sudah pahamkah kita tentang apa itu Pancasila? dan Benarkah Pancasila adalah sebuah Ideologi bangsa? Mari kita telusuri lebih mendalam lagi. Buka pikiran, lapangkan hati!
Mendudukkan Pancasila pada Tempatnya
Semua mengakui, bahwa pasca runtuhnya Orde Baru, gelombang keterbukaan mendorong masyarakat memaknai ulang apa itu “Pancasila”. Wacana apakah Pancasila merupakan sebuah ideologi atau bukan, berkembang selama rezim reformasi. Sejumlah pihak menerjemahkan Pancasila bukan sebagai ideologi, melainkan kontrak sosial yang dirumuskan para founding fathers saat mendirikan negara ini.
Onghokham adalah salah satu sejarawan dan cendekiawan Indonesia yang menyatakan Pancasila bukanlah falsafah atau ideologi. Menurutnya, Pancasila adalah dokumen politik dalam proses pembentukan negara baru, yakni kontrak sosial yang merupakan persetujuan atau kompromi di antara sesama warga negara tentang asas negara baru. Ia menyamakan Pancasila dengan dokumen penting beberapa negara lain, seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Right di AS, atau Droit de l’homme di Perancis. (Kompas, 6/12/2001).
Dalam sebuah acara Bedah Buku “Pancasila dan Syariat Islam” di Megawati Center, Jakarta, pada bulan Agustus 2011. Salah seorang pembicara, Ismail Yusanto, menjelaskan dengan cermat dan detail, bahwa Pancasila hanya set of philosophy, Pancasila tidaklah mencukupi (not aufficient) untuk mengatur negara ini (to govern this country).
Buktinya, di sepanjang Indonesia merdeka, dalam mengatur negara ini, rezim yang berkuasa, meski semua selalu mengaku dalam rangka menggunakan sistem dari ideologi Pancasila, nyatanya menggunakan sistem dari ideologi yang berbeda-beda. Rezim Orde Lama misalnya, menggunakan Sosialisme. Rezim Orde Baru menggunakan Kapitalisme. Rezim sekarang oleh banyak pengamat disebut menggunakan sistem neo-liberal.
Jadi, meski pada level filosofis semua mengaku melaksanakan Pancasila, underlying system atau sistem yang digunakan ternyata lahir dari ideologi sekularisme baik bercorak sosialis, kapitalis ataupun liberalis.
Mengapa hal itu bisa terjadi? karena pada realitanya yang diberikan oleh Pancasila hanyalah berupa gagasan-gagasan filosofis. Padahal untuk mengatur sebuah negara tidak hanya diperlukan gagasan filosofis semata, melainkan juga butuh pengaturan yuridis yang mencakup apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Bila ideologi (mabda’), sebagaimana diungkap oleh Ismail Yusanto dalam al-Fikr al-Islami (1958), didefinisikan sebagai ‘aqidah ‘aqliyah yang memancarkan sistem peraturan (nizham) untuk mengatur kehidupan manusia dalam seluruh aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan sebagainya, maka Pancasila bukanlah sebuah Ideologi. Itulah sebabnya hingga sekarang, misalnya, tidak pernah lahir rumusan tentang Ekonomi Pancasila. Yang berjalan hingga sekarang tetap saja ekonomi kapitalis.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan dalam tataran praktis banyak sekali peraturan perundangan dan kebijakan pemerintah yang layak dipertanyakan kesesuaiannya dengan Pancasila. Misalnya, apakah UU Penanaman Modal (yang memberi peluang kekuatan asing melakukan investasi di segala bidang nyaris tanpa hambatan), UU Migas (yang merugikan peran Pertamina sebagai BUMN yang notabene milik rakyat dalam pengelolaan migas), UU Ormas (yang merugikan ormas Islam dan masyarakat yang kritis), dan banyak lagi UU yang sangat berbau neo-liberal, apakah semua itu adalah Pancasilais?
Apakah kebijakan pemerintah yang membiarkan separatisme bebas, seperti OPM (Organisasi papua Merdeka), pemberontak RMS (Republik Maluku Selatan), serta Freeport (perusahaan asal AS) yang merampas emas di Papua adalah sebuah kebijakan yang Pancasilais? Apakah dengan membiarkan kemaksiatan merajalela dan membubarkan kajian-kajian Islam adalah tindakan yang Pancasilais?
Maka sudah saatnya stigmatisasi yang selama ini ada, bahwa masyarakat yang berjuang demi tegaknya Syariah di klaim sebagai masyarakat yang tidak memiliki wawasan kebangsaan bahkan anti Pancasila wajib dihilangkan. Semestinya tudingan itu diarahkan kepada mereka yang menolak Syariah, yang mendukung sekulerisme, liberalisme dan menjadi komprador negara Barat, korup serta gemar menjual aset negara kepada pihak asing, yang semua itu jelas-jelas telah menimbulkan kerugian besar pada bangsa dan negara ini!
Dan yang mengaku dirinya Pancasilais harusnya sadar bahwa musuh bangsa ini bukanlah Islam, melainkan kebatilan sekulerisme, liberalisme, dan penjajahan asing! Wallahu a’lam bish shawwab. [syahid/voa-islam.com]