View Full Version
Rabu, 22 Nov 2017

Dari Tiang Listrik hingga Tiang Agama, Islam Punya Jawabannya

Oleh: Alga Biru

Sepekan ini, tiang listrik jadi viral gara-gara kecelakaan 'mengenaskan' Setya Novanto (Setnov) yang mengakibatkan benjol bakpao di kepala. Saking bahayanya, Setnov digadang-gadang akan dirujuk ke Singapura, untuk mencegah gegar otak. Jangan sampai ia amnesia, bisa berabe kita! Indonesia gegar.

Dari peristiwa tersebut, muncullah banyak respon dari netizen. Aneka meme, sandiwara dan yang paling seru, tentu saja game ‘tiang listrik’ yang bisa mengurangi sakit kepala. Ini semua dilakukan karena sudah begitu geram dan 'putus asanya' masyarakat Indonesia dengan penegakan hukum atas korupsi di negeri ini. 

Korupsi adalah salah satu tantangan terbesar bangsa kita. Anda baru tahu jeleknya korupsi kalau Anda pintar berhitung. Katakanlah, korupsi terjadi di sektor kehutanan. Tata kelola hutan yang memihak kepada pelaku bisnis, misalnya. Pembakaran hutan untuk membuka lahan, sudah menjadi rahasia umum untuk kita ketahui bersama bahwa ada nuansa korupsi struktural Indonesia di sini. Pejabat korup bersiap memfasilitasi rakyak dengan mimpi buruk.   Lihat dampaknya!

Pada akhir Oktober 2015, hampir seperenam (43 juta) dari 258 juta penduduk Indonesia diperkirakan terkena dampak asap akibat kebakaran hutan di Sumatera Selatan. Ongkos penderitaan dan kematian ini  bisa lebih parah dari berita penyalahan obat alias narkotika. Belum termasuk biaya restorasi dua juta hectar lahan gambut yang diperkirakan menyentuh dana Rp25 triliun dalam jangka waktu Panjang (Kompas, 2016).

Kembali ke tiang listrik. Drama Setnov bergenre komedi ini mengalahkan  Antasari Azhar yang  berlangsung beberapa tahun silam. Yang ditakutkan dari genre komedi ini, kita terbiasa menontoni dan hilangnya nalar betapa horor tindakan korupsi di negara yang kita cintai. Sementara drama dimainkan, tiga BUMN strategis lepas kandang. Gosip naiknya listrik dan kebijakan mengerikan lainnya mewarnai lini masa. Jika dirunut-runut, kebijakan nyeleneh itu tak jauh-jauh dari mental korup pejabat negara.

Andai Setya Novanto hidup satu zaman dengan Pangeran Dipenogoro, dia pasti sudah ditimpuk pakai sendal kerajaan. Sketsa Pengeran Dipnegoro menciduk  lalu menampar Danurejo IV  selaku Patih Yogya yang korup, mengajarkan kita betapa tua usia korupsi di negeri ini. Korupsi itu bahaya, lagi-lagi bahaya. Perkara korupsi bahkan jadi item meletusnya Perang Jawa.

 

...Andai Setya Novanto hidup satu zaman dengan Pangeran Dipenogoro, dia pasti sudah ditimpuk pakai sendal kerajaan. Sketsa Pengeran Dipnegoro menciduk  lalu menampar Danurejo IV  selaku Patih Yogya yang korup, mengajarkan kita betapa tua usia korupsi di negeri ini...

Plus ca change, plus c’est la meme chose, demikian bunyi petuah Prancis. Secara tersirat artinya, semakin berubah semakin tetap sama. Bye bye revolusi mental. Setelah ‘kerja kerja kerja’, rezim ini menggelinding menjadi ‘ngutang ngutang ngutang’ di tahun ketiga pemerintahan. Jangan sampai lupa, kita tentu saja perlu membayar hutang (plus bunga) di bawah jargon ‘jual jual jual’ aset negara. Sebuah langkah fenomenal, yang belum pernah dilakukan siapa pun.

Tiang Agama

Agama adalah nasihat. Jika bukan pakai agama, apa jadinya hidup kita?  Dalam agama kita diberitahu bahwa salat adalah tiang agama. Salat mencegah perilaku keji dan mungkar. Pertanyaannya, jika ada orang salat tapi masih korupsi, itu bagaimana?  Disini kita harus mengerti bahwa memahami agama itu seharusnya tidak memakai logika, namun pakailah otak ini sebaik-baiknya.

Masih dari teks agama, dalam Al-Quran surah Al-Mukminum tercantum puja-puji tentang ‘beruntunglah orang beriman itu. Orang yang khusyu dalam salatnya’. Clear ya. Salat bukan sembarang sholat, melainkan salat yang ditegakkan sampai ia khusyu. Seberapa khusyu, tidak ada yang tahu. Tapi orang yang khusyu dalam salat, pasti mendapat kemujaraban salat, yaitu terjauhnya dari keji dan mungkar.

Tersebab kita tidak tahu seberapa khusyu salatnya seseorang, maka Islam tidak mencukupkan umatnya melakukan preventif dari ranah ritual alias modal sholat saja. Ada reformasi struktural, yang mau tidak mau, diubah dari tataran paling mendasar. Langkah paling radikal, mengubah dasar negara kalau memang mau Islam beneran. Pastinya banyak tidak setuju, atau belum sampai sana nalar kita.  Masih nyaman. Maklum, sholat kita juga sering ketinggalan, belum termasuk khusyu tidaknya . Namun sampai kapan kita membohongi diri, betapa jahili kehidupan kita selama ini.

Penerapan gaji insentif di luar gaji pokok, terbiasa dengan riswah alias suap, mark up anggaran, PNS yang anti-pecatable (alias susah dipecat atau diberhentikan) dan turunan lainnya. Itu masih seputar lingkaran korupsi. Belum sektor macam-macam yang saling terkait satu sama lain.

Islam itu mengatur dari bangun tidur sampai bangun negara. Menjaga tiang listrik sampai tiang agama. Kalau dalam tataran berislam, masih seperti prasmanan alias pilih-pilih, wajar kalau masyarakat kita lebih sering sakaw dari sehatnya. Salah satu gejala sakaw, drama Setnov dan sang tiang listrik yang jadi tumbal. Sayangnya ini bukan game virtual, melainkan kenyataan. Wallahu’alam [riafariana/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version