View Full Version
Senin, 04 Dec 2017

Penyederhanaan Tarif Listrik Menguntungkan Siapa?

Oleh: Yanti Lazuardi

(Forum Muslimah Peduli Generasi dan Peradaban)

Polemik kelistrikan dinegara ini seolah tak kunjung usai. Pencabutan subsidi listrik untuk golongan 900 VA telah tuntas dilaksanakan pada bulan Juli 2017 yaitu terjadi penyetaraan dengan golongan non subsidi. Kali ini, masyarakat pelanggan listrik kembali disuguhi kebijakan sektor ketenagalistrikan yang kontroversial.

Pemerintah melalui Kementrian ESDM dan PT PLN (Persero) akan menerbitkan penghapusan daya listrik kelas bawah dengan penyatuan golongan listrik yang lebih tinggi. Pernyataan ini disampaikan oleh Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, di Kementerian ESDM, melalui keterangan resmi, Minggu (12/11/2017).

“Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama PT PLN (Persero) memastikan akan memulai era golongan pelanggan listrik rumah tangga non subsidi 4400 VA. Artinya golongan listrik 900 VA non subsidi, 1.300 VA, 2.200 VA, 3.300 VA bakal dihapus. 

Adapun, golongan pelanggan listrik 450 VA yang tercatat sebanyak 23 juta rumah tangga dan golongan 900 VA sebanyak 6,5 juta rumah tangga yang disubsidi oleh pemerintah tidak akan mengalami perubahan. Dengan demikian, ke depan golongan pelanggan rumah tangga hanya akan terbagi menjadi tiga bagian. Yakni, pelanggan listrik dengan subsidi (450 VA dan 900 VA), pelanggan listrik non subsidi 4400 VA dan 13000 VA.

Persoalannya, apakah kebijakan penyatuan ini akan menguntungkan rakyat yaitu para pelanggan listrik? Menurut pendiri Reforminer Institue Pri Agung Rakhmanto meskipun tarif sama, beban yang ditanggung bisa berbeda. Ini karena daya yang tersambung tidak sama. 

“Sehingga yang terjadi, penyatuan tarif ini akan membuat tagihan masyarakat lebih mahal. Karena semakin besar daya yang dimiliki, biaya bebannya semakin tinggi,” sebut dia di Jakarta, Sabtu (18/11). Kebijakan penyatuan tersebut hanya akan menguntungkan PLN saja, meski harus mengorbankan rakyat banyak. “Ini karena pendapatan perusahaan pelat merah itu akan bertambah dari penjualan listrik,” katanya.

Dengan kata lain motif dikeluarkannya kebijakan itu untuk membantu menyehatkan keuangan PLN saja. “ Ini karena target pendapatan yang ditetapkan berdasarkan asumsi penjualan listrik kemungkinan tidak akan tercapai,” kata dia.

Surat Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu lalu membuka mata publik terkait kondisi keuangan PT PLN. Dalam surat itu, Sri Mulyani menyoroti potensi gagal bayar PLN akibat proyeksi utang jatuh tempo yang semakin membengkak sementara kinerja keuangan semakin turun. Dalam suratnya, Sri Mulyani juga menghimbau Kementrian ESDM dan Kementrian BUMN untuk menurunkan biaya produksi listrik terutama di sisi energi primer serta mengevaluasi pembangunan pembangkit program 35.000 MW yang sangat berlebih dan tidak sesuai kebutuhan.

Motif Liberalisasi

PLN, selaku BUMN mempunyai tanggung jawab terhadap penyediaan  listrik dari hulu ke hilir. PLN bertanggung jawab untuk membangkitkan listrik dan mendistribusikan listrik pada pelanggan. Hanya saja, sejak terbit  UU no 15/1985 tentang Ketenagalistrikan, PLN bukan lagi satu – satunya pihak yang memiliki izin untuk mengelola kelistrikan pada sektor hulu, yakni pembangkitan listrik.

UU ini mengijinkan pihak swasta yaitu Independent Power Producer (IPP) untuk turut menyediakan pembangkit listrik di negeri ini. Eksistensi IPP diperparah dengan LoI antara pemerintah Indonesia dengan IMF pada tahun 1999, yang singkatnya bermakna liberalisasi sektor ketenagalistrikan.

Ilustrasinya, dalam prosesnya PLN melakukan power purpose agreement (PPA) dengan IPP. PLN akan membeli listrik dari IPP dengan harga yang ditentukan selama setidaknya 20 tahun. Dan celakanya, PLN tetap harus membayar ke IPP walau listriknya tidak terkonsumsi. Ditambah lagi mega proyek 35.000 MW rezim Jokowi melibatkan IPP pada sekitar 25.000 MW kapasitas pembangkitan listrik.

Sebagian besar proyek ini diadakan di Pulau Jawa yang notabene tidak kekurangan suplai listrik. Malah, dengan melesunya daya beli masyarakat, konsumsi listrik belakangan ini justru berkurang. Dampaknya, pembangunan pembangkit listrik di Pulau Jawa, apalagi oleh swasta, berimbas pada PLN sangat berpotensi bangkrut.

Wacana menaikkan daya listrik 4400 VA sebenarnya tidak lebih dari usaha putus asa agar listrik yang membanjiri jaringan listrik dapat terserap. PLN dan ESDM sudah tidak tahu lagi mencari dana dari mana. Tarif golongan 900 VA sudah dinaikkan sejak jauh – jauh hari, sulit untuk menaikkan tarif listrik lebih jauh lagi. Sedang efisiensi pembangkit listrik oleh PLN tidak akan berpengaruh pada penurunan biaya pokok pembangkitan, ditambah dengan terikatnya PLN pada PPA dan IPP.

Inilah yang sesungguhnya menjadi salah satu motif berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah yaitu untuk meliberalisasi sektor energi. Dalam Dokumen Blue Print Pengelolaan Energi tahun 2010 – 2025 disebutkan bahwa tantangan pengembangan energi nasional adalah harga energi belum mencapai nilai keekonomiannya. Oleh karena itu salah satu misi dari Kementrian ESDM adalah mendorong keekonomian harga energi dan mineral.

Namun, dampak dari liberalisasi sektor kelistrikan tidaklah ringan. Pertama, pelayanan masyarakat terkompromi. Dengan peran swasta  akan sangat memungkinkan kendali harga berada ditangannya. Dampaknya IPP bisa membentuk kartel-kartel yang bisa mengkatrol harga listrik menjadi 2–3 kali lipat dari harga sekarang. Kedua, hilangnya peran negara dalam pelayanan publik.

Listrik akan diperlakukan sebagai komoditas sehingga bisa diatur sesuai dengan pasar bebas. Inilah bukti pengkhianatan negara terhadap rakyatnya, karena ketundukan pemerintah pada skenario kaum neoliberal. Ketiga, keamanan energi akan sangat terkompromi. Sebagai distributor, PLN akan sangat bergantung pada IPP. Jika karena suatu hal IPP tidak suka dengan perlakuan negara maka IPP dengan mudah bisa mengancam akan memutus suplai listrik.

Inilah alasan mengapa liberalisasi sektor kelistrikan sangat berbahaya. Liberalisasi ini merupakan skenario negara imperialis Barat untuk menjajah dunia ketiga (baca Indonesia) secara ekonomi (melalui IPP dan PPA) dan politik (melalui lemahnya keamanan energi). Inilah wajah kapitalisme neoliberal yang hanya berpihak pada segelintir pemodal sembari menghisap darah 99% umat manusia lainnya. Masihkah kita pertahankan sistem ini?

Pengelolaan Listrik Berbasis Islam

Pengelolaan listrik negara tidaklah berjalan dengan sendiri, artinya pengelolaan listrik tersebut masih terkait dengan hal-hal lain, seperti sumber energi yang dipakai, investasi yang harus dikeluarkan negara, dukungan politik yang kuat oleh pemerintah dari pengaruh dan penjajahan asing dan lain sebagainya.

Oleh karena itu peran pemerintah hanya satu, yaitu bagaimana agar hak milik rakyat (umum) tersebut dapat dinikmati untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat. Dengan demikian wajib bagi pemerintah untuk mengurusi urusan rakyat termasuk dalam pengelolaan ketenagalistrikan.

Islam telah menegaskan bahwa listrik yang digunakan sebagai bahan bakar masuk dalam kategori “api” yang merupakan barang publik. Termasuk dalam kategori tersebut adalah berbagai sarana dan prasarana penyediaan listrik seperti tiang listrik, gardu, mesin pembangkit dan sebagainya. Rasulullah bersabda: “ Manusia berserikat pada tiga hal : air, api dan padang gembalaan.” [HR Muslim dan Abu Dawud].

Berdasarkan statusnya sebagai milik umum, maka sumber daya energi haram dikuasai individu/swasta, karena bisa menghalangi rakyat untuk menikmati haknya. Negaralah satu-satunya pihak yang berhak untuk mengelola sumber daya energi untuk kepentingan masyarakat.

Islam sebagai ideologi menawarkan mekanisme pengelolaan kelistrikan secara adil. Islam mengatur bahwa sumber daya energi yang jumlahnya melimpah adalah milik umat, dan yang berhak mengelolanya adalah negara. Ditutupnya peluang individu untuk menguasai sumber daya energi meniscayakan masyarakat mendapatkan akses penuh untuk menikmati sumber daya energi ini. Negara akan mengelola sumber daya energi dengan tetap memperhatikan faktor lingkungan dan hasilnya akan dikembalikan pada umat. 

Beberapa prinsip yang dapat dilakukan negara Khilafah dalam mengurusi sumber daya energi:

1. Negara memiliki kewenangan dan tanggung jawab penuh dalam pengelolaan pemenuhan hajat hidup publik. Mulai dari perencanaan hingga teknis.

Rasulullah saw bersabda: “ Imam adalah pengurus hajat hidup rakyat dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” [HR Bukhari]. Maka tidak dibenarkan mendistribusikan sebagian atau bahkan seluruh wewenang dan kekuasaan itu kepada masyarakat, swasta atau perusahaan sebagaimana menjadikan status PLN sebagai sebuah PERSERO dalam penyediaan listrik. Apalagi memecahnya dalam bentuk unbuilding vertical dimana bisa berdiri banyak perusahaan swasta di bagian pembangkit, transmisi, distribusi, dan ritel yang menjadi kepanjangan tangan negara.

2. Anggaran bersifat mutlak. Artinya ada atau tidak ada anggaran untuk pembiayaan kemaslahatan publik, maka tetap saja negara wajib mengadakannya.

Hal ini jika akibat ketiadaan anggaran tersebut justru akan mendatangkan mudharat bagi masyarakat. Rasulullah saw bersabda, “ Tidak boleh membahayakan dan membiarkan ditimpa bahaya.” [ HR Ibnu Majah dan Ahmad]. Hal ini menjelaskan mutlaknya pembelanjaan negara untuk pelayanan kebutuhan hajat hidup publik, seperti listrik, rumah sakit, BBM, sekolah, jalan umum, air bersih dan lain-lain.

3. Tidak dibenarkan menjadikan pelayanan hajat hidup publik dijadikan sebagai sumber pemasukan negara, sekalipun hanya satu rupiah.
Oleh karena itu, PLN tidak boleh mencari untung, namun murni hanya melayani saja. Sekalipun demikian, PLN boleh menjual listrik dengan harga murah namun sebatas untuk menutup biaya produksinya saja.

Adapun sumber – sumber pendapatan negara untuk biaya hajat hidup rakyat dapat diperoleh dari : ghanimah, khumus, fai’, kharaj, jizyah, tanah milik negara, ‘usyur, 1/5 harta rikaz, harta tanpa pewaris, dan harta milik umum lainnya (tambang minyak, gas, hasil laut, hutan dll). Dengan banyaknya sumber pemasukan negara ini kendala dana akan teratasi, sehingga memungkinkan PLN menyediakan listrik hingga mampu menjangkau daerah terisolir di negara ini tanpa peran swasta sama sekali.

4. Industri-industri penghasil barang milik umum semisal BBM, listrik, air bersih merupakan milik umum, karena mengikuti kaidah ushul, “ Status hukum industry mengikuti  apa yang diproduksinya.” Dalam kasus PLN barang yang diproduksinya adalah energi (listrik) masuk kategori “api” sehingga PLN berstatus milik umum dan harus melayani masyarakat serta tidak boleh diprivatisasi.

Penerapan syariah Islam dalam pengelolaan sektor energi inilah yang akan memastikan rakyat tidak terbebani dengan kebijakan–kebijakan yang muncul dari proyek libelarisasi energi. Negara akan membangun sendiri infrastruktur yang dibutuhkan dan dikembalikan ke dalam sistem tarif bukan mekanisme pasar. Tarif ini boleh tarif nol (gratis), tarif margin negative (subsidi), tarif margin nol (impas) maupun tarif margin positif (untung). Yang penting masyarakat bisa menjangkaunya.

Penyediaan daya dan kapasitas pembangkitan listrik dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Negara tidak asal membanjiri jaringan dengan listrik yang belum tentu akan dikonsumsi. Keamanan energi pun jauh lebih terjamin. Tidak ada yang bisa mendikte negara seperti yang terjadi di Nias.

Dengan demikian peluang penguasaan politik asing melalui sektor energi pun secara otomatis akan lenyap. Lebih dari itu, masyarakat akan menikmati suplai listrik yang murah, bersih, selamat, reliabel dan berkelanjutan dengan pengelolaan energi sesuai syariah. Wallahu a’lam bishowab. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version